Mohon tunggu...
Darryl Hilmy
Darryl Hilmy Mohon Tunggu... Lainnya - Undergraduate Student in Political Sciences Department, Faculty of Social and Political Sciences, University of Indonesia

A fan of Liverpool Football Club, Boston Celtics and Boston Red Sox. An enthusiast in pop culture especially music. Also likes cars, model kits, technology and food. I write for fun.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Omnibus Law dan Buruh Perempuan: Sebuah Perspektif

15 November 2020   15:01 Diperbarui: 15 November 2020   15:10 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selain itu, Elma Adisya dari Magdalene.co menyatakan bahwa Omnibus Law merupakan undang-undang yang berpotensi menghilangkan lapangan kerja bagi buruh kontrak perempuan, merusak lingkungan hidup dan berpotensi menimbulkan bencana alam karena kerusakan lingkungan dari investasi (Adisya, 2020).

Diberlakukannya Omnibus Law dan dampaknya terhadap perempuan tentu sejalan dengan pemahaman Fraser (1992) mengenai perlunya perempuan untuk terlibat dalam penyusunan kebijakan. Apabila perempuan tidak dilibatkan secara aktif, maka hasil dari kebijakan-kebijakan publik akan berdampak negatif pada kelompok perempuan sendiri. 

Sayangnya, posisi Puan Maharani sebagai ketua DPR sepertinya tidak dimanfaatkan untuk menciptakan kebijakan pro-perempuan. Sebaliknya, pemahaman Cable (1992) terbukti ketika banyak kelompok perempuan seperti LSM SP mengkritik Omnibus Law karena Omnibus Law dianggap merugikan kelompok perempuan. 

Adanya dorongan bagi perempuan untuk menentang kebijakan yang merugikan mereka merupakan motivasi tersirat bagi kelompok perempuan untuk melakukan gerakan penentangan tersebut. 

Gerakan kelompok perempuan merupakan sesuatu yang penting dilaksanakan oleh perempuan untuk menghindari dampak-dampak negatif yang berpotensi muncul dari pengesahan dan pemberlakuan Omnibus Law.

Sejalan dengan teori gerakan perempuan menurut Cable dan kritik teori gender/nation-state menurut Fraser, keterlibatan perempuan dalam penyusunan kebijakan merupakan salah satu hal yang sangat penting, baik dalam posisi publik maupun melalui gerakan-gerakan sosial seperti protes dan kritik. 

Sayangnya, Omnibus Law sekarang sudah disahkan sehingga berpotensi mengancam keberlangsungan hidup perempuan terutama dari kelompok buruh. Diberlakukannya Omnibus Law ini menjadi tanda kegagalan pemerintahan dalam menampung kepentingan dan keinginan kelompok perempuan yang merasa dirugikan dengan banyak poin dalam kebijakan-kebijakan tersebut. 

Sekarang, yang bisa dilakukan oleh perempuan sebagai bagian dari civil society adalah mengkawal dan mengawasi pelaksanaan Omnibus Law untuk memastikan tidak ada represi yang lebih parah dari dampak yang sudah, dan akan, dibawa oleh Omnibus Law.

Penulis: Muhammad Darryl Hilmy
Mahasiswa S1 Ilmu Politik FISIP UI

Jakarta, 15 Novermber 2020

Daftar Pustaka

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun