Mohon tunggu...
Pascalis Muritegar EmbuWorho
Pascalis Muritegar EmbuWorho Mohon Tunggu... Lainnya - Thinking Creature

Menulis adalah Senjata.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sikap Masyarakat Indonesia dan Pentingnya Psikolog di Masa Pandemi

16 Januari 2021   03:50 Diperbarui: 16 Januari 2021   07:32 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Andaikan Sigmund Freud, tokoh aliran Psikoanalisis dalam psikologi, masih hidup dan datang ke Indonesia, bingunglah dia. Bukan karena nilai tukar rupiah yang kian melemah, bukan karena UU yang kontroversial, bukan pula karena pembebasan Abu Bakar Ba'asyir; melainkan karena di tengah wabah ini masih banyak warga yang tidak mengindahkan himbauan dan ajakan untuk menjaga kesehatan, khususnya protokol kesehatan COVID-19. 

Entah berapa banyak pertanyaan yang akan muncul di kepalanya. Teorinya seolah dipatahkan oleh sebagian masyarakat Indonesia, membuat dirinya perlu mengkaji ulang gagasannya. 

Teori yang ia perkenalkan sebagai kecemasan realitas itu bicara mengenai kecemasan yang bersumber dari adanya rasa takut sebagai suatu mekanisme pertahanan hidup dasar. Takut ini terjadi sebagai respon terhadap suatu hal atau kejadian tertentu, contohnya rasa sakit atau ancaman bahaya. Kenyataannya, teori ini seolah tidak berlaku di Indonesia.

Di Indonesia kasus positif bertambah terus, bahkan sudah menyentuh angka 800.000-an, tapi tetap saja ada banyak warga yang bandel. Pandemi rancangan elit global lah, virus tidak berbahaya lah, vaksin dipasangi chip lah, tidak mau pakai masker, menolak di tes lah, adalah beberapa dari sekian banyaknya persepsi dan perilaku masyarakat beberapa bulan ke belakang.

Padahal menurut Freud, manusia sewajarnya melakukan berbagai upaya untuk bisa menjauh dari apa saja yang mengancamnya. Dia juga menyebutkan bahwa manusia secara otomatis akan selalu mencari kesenangan dan kebahagiaan, sehingga kematian dan rasa sakit, yang salah satunya diakibatkan oleh virus, dapat merenggut kesenangan tersebut. 

Berdasarkan pandangan ini, respon otomatis masyarakat Indonesia menghadapi ancaman virus seharusnya adalah melakukan kegiatan-kegiatan yang menjaga kekebalan tubuh dan mengurangi potensi dirinya tertular. Namun ternyata tidak seperti itu.

Sejak awal, saat kabar COVID-19 menyebar ke beberapa negara merebak, banyak orang masih santai saja. Setelah itu, kasus pertama positif COVID-19 di Indonesia merebak, banyak orang masih santai saja. Bahkan ketika korban terus bertambah, berita-berita menyiarkan jumlah orang meninggal dan terjangkit membludak, banyak orang masih santai juga. Hal ini kemudian menyebabkan protokol kesehatan dan himbauan lainnya dipinggirkan. 

Contohnya, dilansir dari Kompas.tv, di Jakarta yang telah diberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dari 10 April 2020 lalu, jalanan dan transportasi umumnya masih saja ramai. Bahkan, belakangan ada kasus yang menggemparkan negara ini, yaitu ada artis yang setelah disuntik vaksin malah party dengan mengumpulkan massa.

Sekarang, berbagai pemberitaan bertambahnya kasus COVID-19 masih saja masif. Seharusnya ini menjadi stimulus untuk mengarahkan masyarakat bereaksi, melaksanakan imbauan yang selama ini masih diabaikan. Namun nyatanya tidak demikian, makin ke sini masyarakat justru makin tidak peduli. Fakta telah membelakangi Freud. Bingunglah dia. Bagaimana agar dapat memahami sebagian manusia Indonesia?

Perilaku Sebagai Manifestasi Pikiran 

Pandangan dan contoh Freud tentang kecemasan pada realita yang berimplikasi pada tindakan tersebut nampaknya kurang memperhatikan manusia Indonesia yang telah "dibentuk" sedemikian rupa oleh berbagai hal. Ideologi, lingkungan, kebudayaan, keluarga, agama, media; semuanya membentuk manusia-manusia di Indonesia.

Pertama, virus ini adalah musuh tidak terlihat dan nampaknya masyarakat "terlampau kritis" untuk bisa percaya begitu saja. Apa perlu negara membagi-bagikan mikroskop ke seluruh warga agar kita semua bisa melihat langsung virus corona? Apakah memang orang bisa lebih mudah percaya dengan keberadaan makhluk-makhluk tak kasat mata dibandingkan pada virus?

Kedua, bahwa ada masyarakat Indonesia yang sebenarnya percaya COVID-19 nyata dan berbahaya, tapi dia merasa dirinya sehat-sehat saja serta berserah kepada Tuhan apapun yang terjadi. Mungkin saja ini bukan karena tidak jalannya logika (alias bebal) orang tersebut, melainkan karena budaya dan cara pandang tertentu.

Sebagai contoh, di Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) ada suatu daerah yang saat terjadi gempa masyarakatnya malah keluar rumah dan melambaikan tangan ke langit. Ini diakibatkan adanya kepercayaan bahwa gempa adalah cara Tuhan saat sedang ingin mengetahui apakah umatnya masih ada atau tidak, sehingga Dia mengguncang bumi. Jadi, pandangan ini membuat mereka memandang gempa bumi bukan sebagai suatu ancaman, melainkan hanya suatu bentuk komunikasi Tuhan dan manusia saja.

Apakah kecemasan realitas yang dirumuskan Freud ada pada mereka? Jawabannya tidak. Fenomena ini membuktikan bahwa banyak faktor, salah satunya budaya, yang membentuk pikiran dalam menginterpretasi suatu informasi, menentukan sikap, dan akhirnya memanifestasikannya ke dalam perilaku.

Tan Malaka dalam bukunya "Materialisme, Dialektika, Logika", mengatakan bahwa masyarakat Indonesia di-ninabobo-kan oleh pandangan-pandangan kontra revolusioner seperti nrimo. Nrimo adalah "Ah yasudah tidak apa-apa, mau bagaimana lagi". Dengan kata lain, pasrah terhadap keadaan. Pandangan terlalu nrimo ini pun membuat banyak masyrakat merasa tidak terjadi apa-apa dan hidupnya aman-aman saja.

Budaya seperti ini tentu memiliki sisi baik dan buruk. Baiknya adalah masyarakat menjadi tidak terlalu merasa tertekan dengan suatu kondisi, namun buruknya adalah menjadi kurang realistis memandang sesuatu. Dengan adanya pengaruh budaya ini kemudian membuat banyak masyarakat tidak bisa memahami fenomena wabah dengan logis dan bertindak sebagaimana mestinya. 

Ibarat obat, cara pandang seperti ini akan menjadi baik bila dikonsumsi dalam dosis yang pas dan waktu yang tepat. Bila dosis dan waktunya tidak tepat, maka pandangan nrimo ini bisa sangat berbahaya. Jelas saat berhadapan dengan virus bukan waktu yang tepat untuk nrimo dan tidak peduli dengan keadaan.

Psikologi dalam Penanganan Wabah, Perlu?

Peran media dan pemerintah dalam mengampanyekan protokol tentu saja tidak terlalu efektif, karena sifatnya hanya informasi saja. Padahal menurut transtheoretical model, salah satu teori psikologi, mendapat informasi hanyalah tahap awal dari perubahan perilaku, selanjutnya diperlukan dorongan dari lingkungan dan berbagai lagkah lain agar individu dapat mengubah perilakunya.

Bisa disimpulkan bahwa seharusnya strategi yang dilakukan pemerintah adalah memberikan intervensi besar-besaran kepada masyarakat. Intervensi ini ditujukan sebagai tindakan dalam rangka menimbulkan perubahan pada sistem atau proses manusia. Metodenya bisa berupa program edukasi atau kegiatan warga di lingkungan masing-masing guna menciptakan perilaku-perilaku yang sesuai dengan protokol.

Psikologi menurut aliran Behaviorisme adalah cabang ilmu yang mempelajari tentang perilaku. Orang-orang yang mendalami psikologi, dalam konteks ini psikolog, bisa mengintervensi pikiran dan perasaan  orang yang kemudian akan berefek pada perilakunya juga. 

Psikolog terbagi sesuai bidang yang didalami, salah satunya adalah psikolog sosial. Seorang psikolog sosial bukan hanya sekadar membuat intervensi asal-asalan, namun merancang langkah, metode dan media yang digunakan, lama waktu, serta pihak-pihak yang dilibatkan secara matang.

Pendekatan intervensinya bisa berbeda-beda tiap daerah, disesuaikan dengan kultur masyarakatnya; sehingga dibutuhkan bantuan yang besar agar kegiatan dapat terlaksana. Pemerintah sebagai organisasi yang mengurusi nasib masyarakat perlu mempertimbangkan perubahan perilaku nasional ini untuk melawan wabah, dengan tentunya melibatkan para psikolog sosial untuk melakukan asesmen dan rancangan intervensi.

Oleh karenanya, menurut saya diperlukan upaya untuk mengintervensi pikiran manusia-manusia di Indonesia untuk meningkatkan imunitas selama masa pandemi ini. Kemudian, pihak yang perlu dilibatkan di sini bukan hanya tenaga kesehatan saja, melainkan juga psikolog, khususnya psikolog sosial. Peran dari psikolog sosial ini bukan hanya memberikan bantuan konseling bagi orang yang telah terkena COVID-19 saja, namun juga merancang intervensi bagi masyarakat agar dapat meningkatkan imunitas melalui perilaku-perilaku spesifik seperti diatur dalam protokol kesehatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun