Mohon tunggu...
Pascalis Muritegar EmbuWorho
Pascalis Muritegar EmbuWorho Mohon Tunggu... Lainnya - Thinking Creature

Menulis adalah Senjata.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Orbafobia di Balik Demo Omnibus Law

16 Januari 2021   01:24 Diperbarui: 16 Januari 2021   07:41 576
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180520211210-22-299814/foto-panas-gelombang-reformasi-20-tahun-lalu

Upaya menolak Omnibus Law Undang-Undang (UU) Cipta Lapangan Kerja, yang kemudian diubah namanya menjadi Cipta Kerja, seolah tidak pernah absen sepanjang tahun 2020 lalu. Mulai dari forum diskusi hingga demonstrasi terus digalakkan di berbagai penjuru Indonesia. Fenomena ini bisa dipahami tentang betapa kritis dan reaktifnya masyarakat Indonesia pada kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Alasannya ada dua. Pertama, karena ini menyangkut ekonomi dan kepentingan. Kedua, karena menurut nalar orang-orang beberapa pasal di dalam UU ini bisa merugikan berbagai pihak.

Penolakan UU ini datang dari berbagai pihak. Dilansir dari Tirto.id, RUU Cipta Kerja dinilai berbagai pihak akan merugikan rakyat Indonesia, terutama buruh atau pekerja, merusak lingkungan hidup, mengabaikan HAM, dan lain sebagainya. Sehingga berbagai pihak dari kaum buruh hingga kaum intelektual individu dan kelompok yang tergerak dengan gigihnya melancarkan upaya-upaya untuk menghadang UU ini disahkan.

Contohnya, dilansir dari Lembaga Pers Mahsiswa (LPM) Psikologi Jurnalistik, pada 11 Maret 2020 lalu terjadi aksi demonstrasi penolakan UU Cipta Kerja ini di Semarang, Jawa Tengah. Koordinator lapangan aksi menyebutkan bahwa ternyata buruh pun mengikuti diskusi-diskusi yang diadakan kampus yang kemudian dijadikan sebagai 'kekuatan' demo tersebut. 

Tidak selesai di situ, pasca UU ini disahkan pun demonstrasi pecah di berbagai daerah bulan Oktober 2020 lalu. Organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dari berbagai kampus dan masyarakat turut menyatakan mosi tidak percaya terhadap pemerintah karena kebijakan tersebut. Jadi, apa yang sebenarnya melatarbelakangi ini semua?

Sebelum masuk pada inti pembahasan, perlu diluruskan bahwa di sini tidak akan ada kesimpulan bahwa demo salah dan Omnibus Law benar, ataupun sebaliknya, melainkan lebih kepada membaca kondisi psikologis dan sosiologis dari fenomena ini saja.

Fobia dalam Mosi Tidak Percaya   

Dilansir dari Tirto.id, pada tahun 2010 seruan mosi tidak percaya juga menerpa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pemicunya adalah skandal Bank Century yang menggemparkan negeri ini. Artinya, kebiasaan masyarakat Indonesia mengeluarkan mosi tidak percaya ini sudah bertahan setidaknya sejak 10 tahun lalu. Tujuannya adalah untuk menyatakan ketidaksetujuan dan melawan suatu kebijakan.

Ketidakpercayaan pada kebijakan tersebut menurut saya salah satunya disebabkan pengalaman buruk masyarakat di masa lalu. Tiap negara pasti punya masa kelamnya sendiri, oleh karenanya tiap masyarakat punya ketakutannya sendiri. Dalam sejarah Indonesia, masa kelam yang menimbulkan ketakutan berskala nasional terbesar adalah G30S PKI dan pemerintahan orde baru alias Orba, era presiden Soeharto.

Bisa kita amati ada ketakutan besar masyarakat pada dua hal ini. Pertama ketakutan PKI bangkit, kedua ketakutan Orba terulang kembali. Contohnya, setiap kali menjelang kontestasi politik di Indonesia isu 'keluarga PKI' dan kekejaman organisasi ini selalu digaungkan untuk merusak citra salah satu pihak. Contoh lain adalah tiap lahir kebijakan yang merugikan, masyarakat akan cenderung menyamakannya dengan orba. Pasti. 

Bila ditinjau dari sisi pikologi, pengalaman buruk masa lalu yang membentuk fobia bukan hanya didapati pada individu saja, namun bisa juga pada kelompok-kelompok. Peristiwa buruk yang kemudian menyisakan ketakutan atau ketidaknyamanan pada kelompok tertentu bisa juga menimbulkan fobia yang sifatnya kolektif, salah satunya pada kelompok masyarakat.

Meski dikenal sebagai masa berjayanya pembangunan di Indonesia, isu ekonomi pun acap kali menerpa orde baru. Presiden kedua Indonesia ini pernah terseret kasus penyelewengan dana dan pembukaan penanaman modal asing. 

Dilansir dari Detik.com, pada saat itu Pak Harto ini menjadi ketua Yayasan Supersemar dan menyelewengkan dana yang seharusnya digunakan sebagai beasiswa sekolah dan pendidikan, justru dibelokkan untuk perusahaan swasta dan investasi diberbagai bidang. Tidak hanya itu, dilansir dari Kompas.com, UU Penanaman Modal Asing (PMA) yang disahkan pada tahun 1967 menandakan dimulainya era liberalisasi dan kapitalisasi Indonesia pada masa orba.

Bangunan memori yang menimbulkan fobia, yang kemudian dimanifestasikan dalam mosi tidak percaya, ini identik dengan pistantrofobia atau fobia memberi kepercayaan pada suatu orang atau kelompok. Fobia tersebut dicirikan dengan ketakutan memberi kepercayaan, bersikap sensitif, serta selalu berpikiran negatif terhadap seseorang atau suatu kelompok. Dampak dari fobia ini pun tidak main-main, bahkan dalam satu penelitian di Bangladesh menyebutkan bahwa fobia ini dapat menimbulkan perilaku melanggar hukum pada masyarakat di sana.

Orba yang identik dengan kematian demokrasi dan ketidakadilan, termasuk ketidakadilan di bidang ekonomi, seolah menunjukkan pengkhianatan negara kepada rakyatnya. Hal ini pun kemudian membuat masyarakat takut memberi kepercayaan pada pemimpin-pemimpin berikut di negaranya. Semuanya jadi ekstra was-was.

Fenomena tersebut sudah bisa kita jumpai hari-hari ini. Masyarakat Indonesia jadi lebih sensitif dan sulit menaruh kepercayaan pada pemerintah saat ini, termasuk dalam hal kebijakan Omnibus Law. Bisa kita simpulkan bahwa mosi tidak percaya karena UU yang dianggap akan memuluskan tenaga kerja serta investor asing melenggang ke Indonesia merupakan bukti kuat adanya fobia jenis baru yang hanya ada di Indonesia, Orbafobia.

https://hits.grid.id/read/482085353/jangan-kaget-kondisi-indonesia-tahun-ini-pernah-diramal-mantan-presiden-soeharto-sebelum-meninggal?page=all
https://hits.grid.id/read/482085353/jangan-kaget-kondisi-indonesia-tahun-ini-pernah-diramal-mantan-presiden-soeharto-sebelum-meninggal?page=all

Orbafobia, Dirawat atau Dilawan?

Orbafobia ini sangat terasa di tengah masyarakat Nusantara saat ada pelatuknya. Misalnya ketika terdapat kebijakan yang merugikan, sikap 'pura-pura tidak dengar' dari pemerintah, atau perilaku represif dari aparat. 

Fobia ini juga terjadi di salah satu universitas di Indonesia. Pasca pengesahan Omnibuslaw UU Cipta Kerja, BEM salah satu fakultas mengunggah foto dengan gambar presiden Joko Widodo, ketua DPR Puan Maharani, dan sejumlah tokoh lain serta dibubuhi tulisan 'Orde (Paling) Baru'.

Pelestarian orbafobia semacam ini saya lihat masih ada hingga kini, era reformasi. Penanaman fobia ini di kalangan mahasiswa sangat terasa, seperti dengan memperdengarkan lagu-lagu perjuangan mahasiswa, cerita demonstrasi 1998, dan cerita kebobrokan masa orba. Bahkan, tidak jarang ada candaan "Eh, jangan ngomong gitu, nanti hilang loh," yang menggambarkan ketakutan akan diculik atau dibunuh karena mengkritik pemerintah, dimana fenomena itu sering terjadi di masa orba.

Meski perasaan takut membuat kita menjadi lebih peka, namun biar bagaimanapun orbafobia ini bisa disembuhkan. Bukan dengan pemerintah melarang masyarakat membahas keburukan orba dan menyamakannya ini dengan rezim sekarang, melainkan dengan membiarkan waktu bekerja sebagaimana mestinya. Waktu dapat 'memberi jarak' antara masyarakat dengan pengalaman buruk masa orba, sehingga kita dapat melihat segala sesuatunya dengan lebih jelas.

Sekarang, kesembuhan orbafobia pelan-pelan di sisi lain bisa kita lihat dari perilaku masyarakatnya. Soeharto yang dulu hanya dilihat buruknya oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, belakangan malah wajahnya terpampang di mana-mana dan sambil tersenyum berkata "Piye le? Isih penak jamanku to?", artinya "Bagaimana nak? Masih lebih enak zamanku kan?" Bahkan mantan ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD di acara Indonesia Lawyers Club (ILC) tahun 2016 lalu mengaku bahwa dirinya dulu juga menginginkan orba segera berakhir, namun ternyata ada hal-hal yang lebih baik pada masa Soeharto dibandingkan sekarang.

Jadi, dalam memahami perilaku masyarakat yang sangat reaktif pada kebijakan seperti Omnibus Law UU Cipta Kerja ini bukan sekadar adanya masalah pada pemerintahan sekarang saja, tapi juga karena luka di masa lalu yang tidak disembuhkan dan menjadi fobia.

Seperti fobia lainnya, Orbafobia ini juga bisa diatasi. Bukan dengan melakukan tindakan represif pada masyarakat, melainkan membuka berbagai ruang diskusi dan membiarkan waktu membawa bangsa Indonesia melakukan perjalanannya sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun