Mohon tunggu...
Pascalis Muritegar EmbuWorho
Pascalis Muritegar EmbuWorho Mohon Tunggu... Lainnya - Thinking Creature

Menulis adalah Senjata.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Orbafobia di Balik Demo Omnibus Law

16 Januari 2021   01:24 Diperbarui: 16 Januari 2021   07:41 576
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Upaya menolak Omnibus Law Undang-Undang (UU) Cipta Lapangan Kerja, yang kemudian diubah namanya menjadi Cipta Kerja, seolah tidak pernah absen sepanjang tahun 2020 lalu. Mulai dari forum diskusi hingga demonstrasi terus digalakkan di berbagai penjuru Indonesia. Fenomena ini bisa dipahami tentang betapa kritis dan reaktifnya masyarakat Indonesia pada kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Alasannya ada dua. Pertama, karena ini menyangkut ekonomi dan kepentingan. Kedua, karena menurut nalar orang-orang beberapa pasal di dalam UU ini bisa merugikan berbagai pihak.

Penolakan UU ini datang dari berbagai pihak. Dilansir dari Tirto.id, RUU Cipta Kerja dinilai berbagai pihak akan merugikan rakyat Indonesia, terutama buruh atau pekerja, merusak lingkungan hidup, mengabaikan HAM, dan lain sebagainya. Sehingga berbagai pihak dari kaum buruh hingga kaum intelektual individu dan kelompok yang tergerak dengan gigihnya melancarkan upaya-upaya untuk menghadang UU ini disahkan.

Contohnya, dilansir dari Lembaga Pers Mahsiswa (LPM) Psikologi Jurnalistik, pada 11 Maret 2020 lalu terjadi aksi demonstrasi penolakan UU Cipta Kerja ini di Semarang, Jawa Tengah. Koordinator lapangan aksi menyebutkan bahwa ternyata buruh pun mengikuti diskusi-diskusi yang diadakan kampus yang kemudian dijadikan sebagai 'kekuatan' demo tersebut. 

Tidak selesai di situ, pasca UU ini disahkan pun demonstrasi pecah di berbagai daerah bulan Oktober 2020 lalu. Organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dari berbagai kampus dan masyarakat turut menyatakan mosi tidak percaya terhadap pemerintah karena kebijakan tersebut. Jadi, apa yang sebenarnya melatarbelakangi ini semua?

Sebelum masuk pada inti pembahasan, perlu diluruskan bahwa di sini tidak akan ada kesimpulan bahwa demo salah dan Omnibus Law benar, ataupun sebaliknya, melainkan lebih kepada membaca kondisi psikologis dan sosiologis dari fenomena ini saja.

Fobia dalam Mosi Tidak Percaya   

Dilansir dari Tirto.id, pada tahun 2010 seruan mosi tidak percaya juga menerpa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pemicunya adalah skandal Bank Century yang menggemparkan negeri ini. Artinya, kebiasaan masyarakat Indonesia mengeluarkan mosi tidak percaya ini sudah bertahan setidaknya sejak 10 tahun lalu. Tujuannya adalah untuk menyatakan ketidaksetujuan dan melawan suatu kebijakan.

Ketidakpercayaan pada kebijakan tersebut menurut saya salah satunya disebabkan pengalaman buruk masyarakat di masa lalu. Tiap negara pasti punya masa kelamnya sendiri, oleh karenanya tiap masyarakat punya ketakutannya sendiri. Dalam sejarah Indonesia, masa kelam yang menimbulkan ketakutan berskala nasional terbesar adalah G30S PKI dan pemerintahan orde baru alias Orba, era presiden Soeharto.

Bisa kita amati ada ketakutan besar masyarakat pada dua hal ini. Pertama ketakutan PKI bangkit, kedua ketakutan Orba terulang kembali. Contohnya, setiap kali menjelang kontestasi politik di Indonesia isu 'keluarga PKI' dan kekejaman organisasi ini selalu digaungkan untuk merusak citra salah satu pihak. Contoh lain adalah tiap lahir kebijakan yang merugikan, masyarakat akan cenderung menyamakannya dengan orba. Pasti. 

Bila ditinjau dari sisi pikologi, pengalaman buruk masa lalu yang membentuk fobia bukan hanya didapati pada individu saja, namun bisa juga pada kelompok-kelompok. Peristiwa buruk yang kemudian menyisakan ketakutan atau ketidaknyamanan pada kelompok tertentu bisa juga menimbulkan fobia yang sifatnya kolektif, salah satunya pada kelompok masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun