Mohon tunggu...
Pascalis Muritegar EmbuWorho
Pascalis Muritegar EmbuWorho Mohon Tunggu... Lainnya - Thinking Creature

Menulis adalah Senjata.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perkara Mimpi Babe Haikal dan Stagnasi Budaya Indonesia

31 Desember 2020   03:22 Diperbarui: 31 Desember 2020   04:56 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://news.detik.com/berita/d-5295978/bercerita-mimpi-bertemu-rasulullah-haikal-hassan-dipolisikan

Haikal Hassan alias Babe Haikal mengaku bermimpi bertemu Rasulullah SAW pada 9 Desember 2020. Tak lama berselang, ada orang yang melaporkannya ke polisi atas pengakuan tersebut. Polda Metro Jaya menjadwalkan pemeriksaan terhadap Babe Haikal terkait cerita mimpinya tersebut pada Rabu 23 Desember 2020.

Orang yang melaporkannya adalah Sekretaris Jenderal Forum Pejuang Islam, Husein Shihab. Laporan itu dia layangkan ke Polda Metro Jaya atas dugaan menyebar berita bohong. Husein menilai cerita mimpi Babe Haikal cukup berbahaya karena diyakini bisa menggiring opini masyarakat.

Masalah ini seolah bukan yang pertama di Indonesia. Menilik kembali awal tahun 2020 ini Indonesia juga dihebohkan dengan kasus munculnya raja-raja baru. Diantaranya adalah Totok dari Keraton Agung Sejagat dan Rangga dari Sunda Empire. Para petinggi kerajaan fiktif ini dipolisikan karena dianggap melakukan penipuan, penyebaran berita bohong, dan pencemaran nama baik.

Masalah Babe dan kerajaan-kerajaan ini bisa ditinjau dari aspek sosial. Secara sosiologis, kejadian-kejadian ini punya pola kesamaan. Kesamaan pertama adalah keyakinan atau kejadian yang dianggap suatu kebohongan oleh kelompok tertentu. Kedua, kasus ini juga dipermasalahkan karena dianggap mengganggu stabilitas suatu kelompok atau organisasi. 

Babe Haikal dilaporkan karena dia menceritakan mimpinya saat pemakaman anggota FPI yang jadi korban tembakan aparat, padahal saat ini FPI dianggap sebagai musuh negara. Coba kalau cerita itu keluar tidak di saat seperti ini, tentu tidak akan diperkarakan. Sementara itu, para petinggi kerajaan fiktif dilaporkan karena dianggap meresahkan masyarakat sekitar.

Dampak Perkembangan Logika 

Secara kultural ini membuktikan kemungkinan mengarahnya Indonesia pada stagnasi kebudayaan. Padahal sejak dulu pun tidak sedikit berkembang cerita yang kalau disampaikan di zaman sekarang bisa dianggap sebagai berita bohong. Bahkan boleh dibilang mayoritas awal kemunculan suatu kepercayaan adalah dari cerita yang sangat sulit untuk dibuktikan kebenarannya.

Salah satu contohnya adalah mitos batu berbentuk jejak kaki yang dianggap bekas kaki tokoh wayang Bima Sena di Yogyakarta. Di Gunung Kidul, batu yang dianggap bekas jejak kaki Bima tersebut dikeramatkan oleh warga sekitar. Alih-alih diamankan polisi, batu ini malah dijaga oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya DIY.

Ini menandakan adanya peningkatan ketajaman dan daya kritis logika masyarakat di era digital. Indonesia yang turut terseret dalam derasnya arus kapitalisme tidak bisa menolak masuknya teknologi dan akhirnya sirkulasi informasi semakin baik. Dari sini cara pikir masyarakat pun semakin terbentuk, yaitu mendasarkan segala sesuatu pada kebenaran empiris atau bisa dibuktikan.

Meski demikian, perlu kita akui juga bahwa ini bisa jadi penanda awalnya stagnasi kebudayaan di Indonesia. Melaporkan orang ke polisi hanya karena ceritanya bisa menunjukkan ketidakterbukaan masyarakat Indonesia pada sesuatu yang baru, entah itu agama ataupun kebudayaan. Dengan kata lain, legenda dan sistem kepercayaan baru akan sangat sulit tumbuh di sini.

Kurang Holistiknya Pandangan

Pertanyaannya haruskah kita bereaksi secara berlebihan atas masalah seperti ini? Dalam melihat kasus Babe Haikal dan kerajaan-kerajaan fiktif ini bisa diambil dari sudut pandang psikologi dan hukum. Pertama, secara psikologis orang-orang ini tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Fakta bahwa mereka adalah suatu produk sosial masyarakat tidak bisa diabaikan begitu saja. 

Psikologi sosial memandang pengamatan seseorang terhadap lingkungan dapat mempengaruhi perilakunya. Babe yang tumbuh dengan dari lingkungan beragama Islam menyimpan ketidaksadaran kolektif di otaknya mengenai sosok Nabi. Raja-raja fiktif tumbuh di lingkungan feodal seperti di Jawa ini menyimpan ketidaksadaran kolektif tentang agungnya hidup kerajaan.

https://www.liputan6.com/news/read/4156121/headline-munculnya-keraton-agung-sejagat-demi-eksistensi-atau-penipuan
https://www.liputan6.com/news/read/4156121/headline-munculnya-keraton-agung-sejagat-demi-eksistensi-atau-penipuan
Dalam hal ini tidak ada yang perlu untuk disalahkan. Mereka adalah perwajahan dari orang-orang yang tumbuh di lingkungan masyarakat Indonesia yang menganut agama dan masih percaya pada kerajaan-kerajaan. Apabila kemudian hal ini dipermasalahkan, justru akan menimbulkan kesan bahwa ini adalah persoalan politik orang-orang yang berkepentingan saja.

Kedua, secara hukum pasal dan peraturan yang digunakan untuk menjerat orang-orang ini pun hampir sama. UU ITE dan KUHP dengan pasal seputar penyebaran berita bohong, membuat onar, pencemaran nama baik, dan penipuan pun diangkat terus. Peraturan-peraturan ini pun perlu dievaluasi dan diperjelas batasannya agar tidak digunakan dengan semena-mena.

Khusus untuk pelaporan Babe Haikal ini menurut saya sesuatu yang tidak berguna. Kenapa demikian? Karena untuk kebenarannya sangat sulit untuk dibuktikan. Baik kebenaran mimpinya atau kebenaran bahwa cerita mimpi ini menyebabkan keonaran dan kebencian. 

Bagaimana polisi akan membuktikan kebenaran mimpi seseorang? Kalau pembuktian itu nantinya diambil dari jawaban Babe sendiri, lalu bagaimana membuktikan kebenaran perkataannya? Selanjutnya adalah bagaimana megukur cerita mimpi Babe ini menyebabkan keonaran? Menanyai setiap orang yang mendengar cerita ini?

Banyak pertanyaan yang susah untuk dijawab dan kemudian dijadikan acuan mencari kebenaran. Kasus-kasusnya pun terkesan tidak terlalu penting untuk diperkarakan secara hukum dan diurusi oleh negara. Oleh karenanya diperlukan pandangan secara holistik dan dijadikan evaluasi tentang bagaimana mengelola sistem sosial-budaya masyarakat Indonesia. (***)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun