Mohon tunggu...
Ekmal Medan
Ekmal Medan Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance Writer, Suka Motret dan Rebahan

...........

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Kisah Rigby dan The Beatles

30 Maret 2015   23:44 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:46 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_358216" align="aligncenter" width="492" caption="Aksi Rigby di Kompasiana foto: @ekmalmedan"][/caption]

LIMA anak muda tampak semangat melakukan checksound di studio Kompasiana, Jl Palmerah Barat, Jakarta Selatan, Jumat (27/3/2015) lalu. Lagu Blackbird dalam balutan music akustikterdengar dari balik pintu yang daunnya sedikit terbuka.

Blackbird singing in the dead of night
Take these broken wings and learn to fly
All your life
You were only waiting for this moment to arise…

Blackbird yang menurut beberapa pengamat merupakan karya masterpiece Paul Mcartney mengalun sendu di senja itu. Menguasai setiap sudut di lantai 6 Gedung kompas Gramedia. Para pemuda yang ber-Blackbird-ria itu adalah personelRigby, sebuah band baru dari Yogyakarta. Band yang berdiri pada 14 Februari 2012 ini terdiri dari Dika (vocal), Andy (drum), Lian (keyboard), Rio (bass) dan Teddy (guitar). Namun petang kemarin, posisi Teddy digantikan additional player karena berhalangan hadir.

Dika yang sore itu mengenakan kemeja lengan panjang bercorak luntur, terlihat menghayati bait demi bait Blackbird. Lagu yang bertutur soal kesetaraan kaum kulit hitam di era rasisme di Amerika Serikat. Menurut saya gaya akustik Rigby membuat lagu ini sangat hidup, dan sukses memperkaya warna Beatles. Secara teknikal Rigby punya kekhasan, genuine… mereka punya kekuatan untuk menjadi diri mereka sendiri.

Dengan kekuatan itu, tidak heran jika Rigby bisa masuk Top Ten Finalist di ajang Meet The Labels edisi 2013. Live audition itu mempertemukan mereka dengan Jan Djuhana, Senior A&R Universal Music Indonesia.

Walau nampak semangat dan begitu menghayati Blackbird, namun tidak ada yang mengira kalau personel Rigby baru beberapa jam tiba di Jakarta. Menggunakan kereta api malam, mereka susah payah berangkat dari Yogyakarta demi mensukseskan diskusi Kompasiana Ngulik bersama MeetTheLAbels. Diskusi bertema Ngobrolin Industri Musik di Era Digital itu dipandu Nadya Fatira dan juga menghadirkan Iman dari Universal Indonesia.

Menurut Iman, Rigby hadir di era digital. Sebuah era yang mudah sekaligus sulit bagi para pemusik. Disebut mudah, karena zaman digital membuat proses rekaman lebih simpel juga cepat. “Berbeda dengan zaman 70-an hingga 90-an, dimana untuk nyari studio rekaman saja harus antre,”tutur Iman.

[caption id="attachment_358214" align="aligncenter" width="432" caption="Logo Rigby"]

14277322131951813064
14277322131951813064
[/caption]

Namun Rigby dan band-band seangkatannya, juga dihadapkan pada sebuah tantangan. Era digital membuat pembajakan semakin menggila. Berlalunya era kaset berpita, dan hadirnya teknologi kompresi membuat pembajakan semakin mudah. Ujung-ujungnya bisa ditebak, penjualan CD/DVD seniman sekarang cengap-cengap.Terjun bebas.

Band-band saat ini, akan sangat sulit mengulangi sukses para pendahulunya di tahun 90-an hingga awal dekade 2000-an. Era yang disebut-sebut para pelaku industri rekaman sebagai zaman keemasan musik tanah air. Saat itu penjualan karya-karya pemusik lokal, seperti Dewa 19, Nike Ardila, Iwan Fals, Jamrud, Sheila On 7 bisa tembus dua juta kopi!

Soal kemudahan produksi diakui Rigby. Menurut Dika, era digital membuat proses pembuatan sampel demo bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja. “Cukup dengan perekam digital bahkan handphone. Jadi begitu ada inspirasi langsung take..tidak perlu menunggu ke studio. Di rumah juga bisa,” kata Dika.

Menghadapi pembajakan, menurut Dika dia dan bandnya menyerahkan sepenuhnya ke pemerintah. Seperti para seniman lainnya, Rigby pun berharap penegakan hukum jadi kunci utama penuntasan kasus yang sudah menahun ini. Jika hukum tegak, pembajakan di Indonesia bisa diminimalisir seperti yang terjadi di Malaysia dan Singapura.

[caption id="attachment_358207" align="aligncenter" width="576" caption="Sampul Official Facebook Rigby"]

14277315071489591909
14277315071489591909
[/caption]

Sementara Iman mewakili major label, menegaskan mereka akan terus berkarya. Meski pembajakan merajalela dan menggerus pendapatan seniman Indonesia, namun Universal Indonesia bertekad terus melahir karya-karya terbaik. “Harus tetap ada yang mengisi konten hiburan untuk masyarakat. Harus ada karya-karya bermutu untuk Indonesia,” tegas Iman.

Selain menunggu ketegasan pemerintah memainkan pedang hukum, Universal juga mengedukasi masyarakat agar segera meninggalkan produk bajakan. Mendengar musik lebih asyik jika pakai CD original. Komposisi musik lebih bening, suara lebih nendang, dan awet.

Iman lewat diskusi Kompasiana menuturkan, sebuah album bahkan single dibuat dengan modal besar. Ada proses produksi yang panjang, ada hak-hak penyanyi juga band yang harus dibayar. Para artis mereka pun berjuang habis-habisan untuk menelurkan karya. Prosesnya tidak mudah.

Rigby misalnya, selain harus pulang pergi Yogya – Jakarta dengan kereta api, juga rela menginap di sebuah kamar di kawasan Pondok Pinang. Di kamar yang berada di lantai 5, tanpa AC itu lima personel Rigby berpanas-panas menggarap single mereka, “Tuhan jangan Lama-lama,”. Single penuh perjuangan ini akhirnya dirilis 11 Februari 2015 lalu.

“Masyarakat harus tahu perjuangan juga pengorbanan mereka. Sehingga akhirnya mau menghargai dan membeli single asli dan bukan bajakan,” tutur Iman yang juga membiasakan membeli cd-cd asli sebagai bentuk apresiasi. Meski sebagai orang major label dia bisa saja minta gratisan.

Selain lewat edukasi, dan melobi pemerintah lewat ASIRI, menurut Iman pihaknya melakukan sejumlah terobosan agar tetap bisa hidup di zaman pembajakan. Untuk mempertahankan penjualan agar tidak merugi, Universal gencar mempromosikan karya lewat 500-an stasiun radio, serta Youtube (setelah video diberi watermark dan digunting di beberapa bagian).

Untuk penjualan single atau album, selain mengandalkan toko-toko konvensional, Iman menggandeng itunes, atau restoran cepat saji. Meski belum mampu mengembalikan kejayaan seperti era 90-an, namun kreatifitas marketing ini setidaknya berhasil mengimbangi dahsyatnya pembajakan.

Begitulah hebatnya perjuangan Rigby juga band lain di era digital ini. Seperti lagu Blackbird, Rigby harus terus terbang menuju cahaya meski dalam kelamnya malam. Terus menghibur pecinta music tanah air, meski kondisi sangat-sangat tidak ideal. Semangat berkarya di tengah ganasnya pembajakan.

Blackbird fly
Blackbird fly
Into the light of the dark black night…

Dan bait-bait itu pun kembali merdu meluncur dari mulut Dika sebagai penutup diskusi.(*)

* Tulisan ini disertakan dalam lomba Blog Review Ngulik Kompasiana

[caption id="attachment_358209" align="aligncenter" width="384" caption="Suporter Rigby"]

14277315981042862605
14277315981042862605
[/caption]

*sumber foto-foto official FB Rigby

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun