[caption caption="Pasang Bendera biar dibilang nasionalis"][/caption]
Setiap perayaan peringatan kemerdekaan RI saya selalu membandingkan pada masa saya kecil dan masih tinggal di kampung. Minimal seminggu sebelum tanggal 17 Agustus wajah kampung berubah. Pagar bambu berwarna putih, gapura gapura desa bercat baru, bendera merah putih berkibar di setiap halaman rumah warga. Terdengar suara suara latihan berbagai kesenian yang akan di tampilkan di malam perayaan. Ada reog, band, sampai gerak dan lagu. Semua elemen masyarakat antusias menyambutnya. Dari kelompok masyarakat, pelajar, pegawai negeri dan swasta semuanya menyiapkan yang terbaik. Yang tidak tidak kalah seru adalah pawai arak arakan. Atau masyarakat sering menyebutnya karnaval. Dan yang paling dinanti nanti adalah lomba panjat pinang.
Semua cerita tujuh belasan menjadi nostalgia yang indah bagi yang mengalaminya.
Dari awal tahun 2000 hingga sekarang semarak perayaan kemerdekaan RI jauh dari meriah. Tidak ada lagi lomba lomba, tidak ada lagi arak arakan karnaval, tidak ada lagi pentas seni. Wajah desapun tetap muram tak berhias. Cuma bendera usang melambai lambai dari beberapa rumah warga.
Era reformasi merubah telak pandangan sebagian besar warga tentang makna kemerdekaan. Perayaan peringatan dipandang tidak penting lagi. Bahkan sekedar mengibarkan bendera.
Jika ada Bendera yang dikibarkan didepan rumahpun hanya sebatas biar gak dibilang Gak Nasionalis sama tetangga. Nilai nilai semangat perjuangan yang selalu di doktrin kan oleh orde baru sudah tak berbekas lagi.
Bukan meriah perayaan, bukan ramainya kibaran bendera, namun rasa memiliki, rasa peduli masyarakat kepada negaranya paling penting.
Jika warga negara sudah tak peduli lagi sama negaranya, akan bagaimana masa depan negara tersebut?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H