Mohon tunggu...
Bayu Sasongko
Bayu Sasongko Mohon Tunggu... karyawan swasta -

wong jogja yang glidhig di jakarta. Menulis untuk berbagi. Dapat juga dibaca di www.bukubebas.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hidup Dengan Sampah

19 Juni 2012   06:45 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:47 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Delapan tahun saya glidhig di Jakarta. Glidhig adalah istilah di kampung saya untuk menyebut orang bekerja. Alhamdulillah, akhirnya saya bekerja juga. Ini sebagai tebusan saya terhadap orang tua. Hehehe...ya ..saya tidak selesai kuliah di UGM, yang waktu itu satu kampung hanya 2 orang yang kuliah di UGM, salah satunya saya.

Tahun 2003 saya di bulan Juli, saya mulai berjuang melawan panasnya jakarta. Karena kesan pertama saya tentang  jakarta adalah puanasnya. Yang kedua adalah bau got. Beradaptasi dengan 2 hal itu benar benar membuat saya stress. Setiap pagi bau harum got harus saya hirup. Bau semacam itu tidak pernah saya junpai di kampung saya. Juga suhu udara yang ekstra hot. Bangun tidur bukannya seger tapi capek, kehausan, badan lengket oleh keringat. Namun lama kelamaan saya bisa menikmatinya.

Sampai tahun 2005 saya belum menemui yang namanya macet, karena saya kost dekat dengan kantor. Setelah saya berkeluarga saya dan istri pindah kontrakan ke daerah Jatimakmur, Pondok gede. Nah, disini saya mulai merasakan stressnya macet berangkat kerja. Setiap pagi dan sore saya naik angkot untuk berangkat dan pulang kerja. Dan sudah pasti, kemacetan selalu saya temui. Akhirnya berhasil dinikmati juga.

Yang belum bisa menikmati adalah hidup dengan sampah dimana mana. Hidup berkeluarga ternyata menghasilkan sampah yang banyak. Awlanya bingung buang sampah di mana. Akhirnya setelah sowan Pak RT terdapat solusi, bayar iuran 20000/bulan, sampah nanti diambil tukang sampah. Tetapi dari ratusan warga RT tempat saya tinggal, yang bayar iuran sampah tidak ada separuhnya. Dan warga yang nggak bayar buang sampah di kebun kosong. Kebun kosong itu letaknya di depan rumah, seberang jalan. Dan setiap pagi bau semerbak sampah masuk dalam rumah.

Persoalan Jakarta yang tak pernah selesai, Panas kepanasan, hujan kebanjiran, sampah dimana mana. Sebagai pendatang saya juga kewalahan ngasih contoh perilaku buang sampah pada tempatnya. Tempat sampah yang saya taruh di halaman aja ilang sama pemulung.

Mulailah dari diri sendiri dan keluarga untuk membiasakan buang sampah pada tempatnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun