Mohon tunggu...
Embay Supriyantoro
Embay Supriyantoro Mohon Tunggu... -

Just Ordinary man

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kebohongan

27 Agustus 2012   03:27 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:17 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ulama, umara, dan orang kaya merupakan tiga pilar penyangga keadilan dan kebenaran. Secara simbolik, ketiganya menjadi penjaga pintu neraka agar tak seorang pun masuk ke sana. Ulama, umara, dan orang kaya, pelindung masyarakatnya.

Dalil moralistik-idiilnya jelas: bila tiga golongan ini baik, maka baik pula masyarakatnya. Ulama menjadi teladan akhlak mulia dan mencerminkan pepatah: orang pandai tempat bertanya. Orang bijak itu perumus fatwa.

Tapi mengapa banyak ulama ikut rebutan kursi dengan segenap implikasi jahiliah-nya? Ini merusak moral umat (manusia).

Umara, pemegang kendali hidup masyarakat dan negara, mengemban sifat amanah dan jujur, dan bukan sibuk menjaga singgasananya sendiri, dengan risiko bohong, zalim, dan keji, yang sudah menjadi kelaziman di sini.

Orang kaya menyangga tugas etis dan sosial menjadi dermawan, seperti tercermin dalam pepatah orang kaya tempat meminta. Maka, terkutuklah orang yang menyembunyikan kekayaannya karena takut dituntut jaksa.

Ketiga pilar ini ternyata bohong. Banyak ulama tak peduli akan kebobrokan moral masyarakatnya. Penguasa bersumpah memanggul amanat penderitaan rakyat, tapi tak sensitif terhadap derita mereka.

Orang kaya banyak yang berlagak sederhana, memakai kaos dan sendal, atau sepatu murahan, demi menghindari proposal permintaan sumbangan seminar. Dirinya sendiri pun dibohongi.

Sebagian malah gigih menjadi penguasa, tanpa merasakan adanya dilema etis maupun moral, karena etika dan moralitas bukan ukuran hidup mereka.

Apa boleh buat. Inilah tekanan kondisi struktural yang memaksa kita menyadari bahwa dunia memang bukan surga. Itu pun bagi yang percaya bahwa surga itu ada.

Bila dipetakan secara kategoris, maka di masyarakat kita temukan tiga jenis kebohongan. Pertama, kebohongan politik, yaitu suatu jenis tindakan biasanya oleh tokoh, terutama tokoh politik yang sengaja menyembunyikan kebenaran tentang suatu perkara. Tujuannya untuk penyelamatan politis seseorang. Di pengadilan, atau dalam pemeriksaan, kebohongan ini menang, tapi rasa keadilan umum terluka dan dibiarkan telantar tanpa pembelaan.

Dari dulu, hingga kini, juga di sini, orang kuat selalu selamat.

Saudara, sahabat atau kepercayaannya ikut aman, dan kebohongan mereka berubah menjadi kebenaran. Kebohongan inilah yang bikin negeri kita bangkrut secara total hingga kita kehilangan harga diri.

Dalam dunia politik memang banyak tokoh baik dan jujur, tapi itu hanya cerminan moralitas individual. Dengan begitu, anggapan bahwa dunia politik itu bohong, dan culas, bukan sikapgebyah uyah, melainkan penilaian mendasar, sahih, kuat, terpercaya.

Kedua, kebohongan ilmiah, yaitu perilaku culas kaum ilmuwan, yang menggelapkan data, mengemukakan data fiktif, palsu, manipulatif, atau mengklaim pemikiran dan hasil ijtihat pihak lain sebagai milik dan karyanya.

Ini berbahaya bagi bukan saja dunia ilmu yang karena itu tak bakal bisa berkembang melainkan juga bagi penegakan hukum dan etika sosial karena hal itu bisa menjadi ancaman keadilan dan kebenaran. Kalau sekadar angka dan data saja dicuri, konon pula setumpuk uang rakyat yang lebih menggiurkan. Orang macam ini menjadi sangat terlatih untuk bohong. Dan, potensial merusak masyarakat.

Ketiga, kebohongan pribadi, yang datang dari orang per orang, dan membohongi orang lain. Ternyata, pergaulan itu licin dan mudah melukai trust yang semula tampak anggun memahkotai sebuah persahabatan di kantor atau di masyarakat.

Salahnya, kita sering cepat percaya akan kebaikan orang. Kita lalu kaget setelah kita dibohongi oleh orang yang untuk waktu lama pernah kita anggap sahabat.

Ini terjadi tidak mendadak. Sinyal lembut sudah ada sejak lama. Tandanya? Biasanya orang itu gigih menempatkan menang-kalah, bukan benar-salah, sebagai ukuran.

Tujuan hidupnya mencari kemenangan dan bukan kebenaran. Bohong tak dianggap masalah. Lalu, diam-diam, bohong menjadi kebiasaan rutin yang tak terasa, tapi sebetulnya itu tindakan tiranis dan menindas.

Negeri kita bangkrut karena kebohongan para tokoh. Kita marah pada mereka, tapi lupa, tiap tokoh datang dari masyarakat kita juga. Maka, demi perbaikan, kita harus membenahi basis sosial di bawah, dengan pendidikan yang membentuk watak jujur, lurus, amanah, lewat cara hidup di keluarga, di kantor, di masyarakat, dan di sekolah, dengan kontrol sosial dan penegakan etika secara tegas. Dan kita memiliki cadangan tokoh-tokoh yang berkualitas.

Sikap kita pun jelas, kebohongan itu racun moral dan patologi sosial yang merusak. Para tokoh masa depan tak boleh terkena radiasi kebohongan macam itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun