Mohon tunggu...
Embah Minton
Embah Minton Mohon Tunggu... Lainnya - Pensiunan

Membaca, merenung, kemudian menulis ...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Setahun Jokowi Ma'ruf; Rindu Rujuknya "Cebong" dan "Kadrun"

25 Oktober 2020   22:39 Diperbarui: 25 Oktober 2020   22:43 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Download dari dok. Setneg

Adakah yang lebih menggembirakan kita sebagai Anak Bangsa, melebihi rujuknya "Cebong" dan "Kadrun"? Perseteruan antara keduanya, utamanya yang mengemuka di media sosial (medsos) cukup memprihatinkan. Keutuhan Bangsa Indonesia bisa-bisa menjadi taruhannya.

Sebenarnya tidak sampai hati menyebut saudara sebangsa dengan parapan yang buruk itu. Tetapi, bagaimana lagi kedua istilah itu sudah akrab, ngetren, dan populer  di jagat medsos. Jadi, maaf terpaksa saya menggunakan dua nama ejekan itu dalam tulisan ini. 

Omong-omong, sejak kapan kedua istilah tersebut muncul? Istilah Cebong dan Kampret muncul tahun 2018, menyusul Kadrun sekitar Mei tahun 2019, kata Ismail Fahmi dalam tulisan Afdal Namakule yang dimuat dalam Fajar Indonesia (FIN), tanggal 13 Agustus 2020, yang berjudul "Ismail Fahmi Beberkan Awal Mula Istilah Kampret, Cebong dan Kadrun". Pernyataan Fahmi ini berdasarkan hasil analisisnya melalui Drone Emprit, suatu alat hasil inovasi dia yang berfungsi memantau dan menganalisis medsos dengan memanfaatkan teknologi big data.

Mengapa saya menaruh harapan kepada Bapak Joko Widodo (Jokowi) dan Bapak Ma'ruf Amin pada awal tahun kedua pemerintahannya sekarang ini, segera memfasilitasi rujuknya Cebong dengan Kadrun? 

Menurut hemat saya mendamaikan dua kelompok yang berseteru ini sebaiknya menjadi prioritas, setelah penanganan pandemi Covid-19 tentunya. Karena,  meskipun  kelihatan sepele, hanya olok-olokan atau bullyan. Tetapi, terkadang sampai keterlaluan, hingga menyinggung harga diri personal bahkan organisasi atau institusi. Yang paling aktual adalah  kasus Gur Nur yang dituduh telah menghina NU.

Bila berkembang lebih jauh persoalan seperti itu bisa berakibat fatal. Bisa timbul masalah yang lebih besar. Sesuatu yang kita takutkan, yang tidak kita inginkan bisa saja terjadi. Anyaman keutuhan Bangsa terganggu hingga bisa terjadi disintegrasi Bangsa.

Atau setidak-tidaknya menimbulkan iklim yang tidak kondusif bagi jalannya roda pemerintahan Jokowi Ma'ruf. Kalau saya membayangkan, betapa repot beliau berdua bekerja dalam iklim seperti itu. 

Ibaratnya bekerja dalam ruangan yang sempit, kotor, pengap dan berisik. Tentu akan merasa terganggu, tidak nyaman, sulit fokus dan yang pasti bakalan berakibat tidak maksimal pada kualitas hasil. 

Lantas, bagaimana mengakurkan dua kelompok yang sedang bersitegang dengan tensi yang terus meningkat tersebut? Terus terang, dalam masalah  ini saya tidak meragukan kepiawaian Presiden Jokowi menyelesaikannya.

Namun, boleh kan disini saya mencoba berandai-andai. Biar tidak dibilang bisanya hanya menuntut atau berharap saja, tetapi tidak memberikan solusi.  Masukan yang hendak dikemukakan ini bercermin pada peristiwa historis yang relevan dengan kontek masalah yang sedang dibicarakan. Yaitu ancaman disintegrasi Bangsa.

Catatan sejarah apakah itu? Bagi para sahabat, apa yang terlintas di benak dalam kaitannya dengan kehidupan berbangsa dan bernegara bila telah tiba bulan Oktober seperti sekarang ini? Biasa-biasa saja atau ada sesuatu yang terasa istimewa?

Ya, Sumpah Pemuda, peristiwa surprise, yang berlangsung pada tanggal 28 Oktober 1928. Kadang saya berpikir, setengah tidak percaya, dengan sarana minimal dan suasana yang tidak bersahabat kala itu, konggres pemuda se-Hindia Belanda bisa diselenggarakan.

Mereka, para pemuda itu berasal dari tempat yang berjauhan. Dari berbagai wilayah yang tersebar di kepulauan Nusantara, lengkap dengan beraneka ragam perbedaannya. Dalam kondisi sarana transportasi dan komunikasi yang masih sangat terbatas. Ditambah lagi, dalam suasana tekanan oleh penjajah Belanda.

Tetapi, semangat untuk mewujudkan negara Indonesia, telah menjadi perekat antar mereka, membuang jauh segala perbedaan. Kemudian terselenggara konggres Pemuda, yang  menelorkan sesuatu yang fenomenal, Sumpah Pemuda. Suatu penegasan cita-cita berdirinya negara Indonesia, yang tercermin dalam ikrar bersama yang berisi tiga komitmen. Bertanah air satu Indonesia; berbangsa satu bangsa Indonesia; dan menjunjung bahasa persatuan Bahasa Indonesia.

Lantas, nilai-nilai apa yang bisa dipetik dari peristiwa Sumpah Pemuda itu guna diaplikasikan pada persoalan kekinian, yaitu ancaman keretakan bangsa?

Nilai-nilai berikut ini kiranya bisa diangkat, yaitu: keinginan kuat untuk bersatu; singkirkan ego kelompok; pupuk rasa kasih sayang; menggapai tujuan bersama; waspada ancaman terhadap persatuan.

Manakala kedua belah pihak yang berseberangan bersedia menghargai nilai-nilai tersebut. Kemudian masing-masing menurunkan intensitas emosinya. Maka, terbukalah kemungkinan dialog mencari titik temu, duduk bersama menyelesaikan masalah.

Dalam tulisan saya sebelumnya yang berjudul Pancasila; "Ideologi" Kasih Sayang, saya sindir mereka yang tidak mau rujuk berarti "bukan Pancasila".

Bagi para pemuda---sebagai pewaris negeri---hal ini amatlah penting. Supaya pekerjaan mereka pada masa mendatang tidak menjadi rumit. Ibarat menerima warisan baju yang compang camping, tentu malu memakainya. Maka, apakah tidak lebih baik dijahit dari sekarang, sehingga pada saatnya nyaman dikenakan.

Silakan torehkan tinta emas seperti yang dilakukan para pendahulu perintis kemerdekaan dengan karyanya yang menyejarah, ikrar yang kemudian dinamai Sumpah Pemuda itu. Kini, bisa saja dicetuskan Sumpah Cebong dan Kadrun 2020. Maaf, Sumpah Pemuda Milineal 2020.  

Begitu juga, bagi  Jokowi Ma'ruf tentu berkepentingan akan hal ini, demi mereka bisa menjalankan roda pemerintahan pada sisa masa jabatannya dengan  mulus.

Akhirnya, harapan saya tidak lama lagi Jokowi Ma'ruf bisa mendorong atau setidaknya memfasilitasi rujuknya Cebong dan Kadrun. Siapa tahu ini bisa menjadi pintu masuk ke arah rujuk nasional, rekonsiliasi nasional  atau apa kek namanya, yang penting saling memaafkan.

Hidup rukun, bersatu, bersama-sama, berjamaah, gotong royong membangun negeri. Jayalah Indonesia.

Bukankah ini yang sama-sama kita rindukan?

Salam Kompasiana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun