Seorang teman mempunyai kebiasaan olah raga jalan pagi. Pada suatu pagi, dia berangkat agak kesiangan. Kemudian, ia harus mampir ke satu tempat untuk suatu keperluan. Sehingga, setelah matahari hampir di atas kepala, ia masih harus menempuh jarak kurang lebih 1,5 km lagi untuk mencapai rumahnya.
Dia tengok arloji yang selalu melekat di tangannya. Waktu Adzan Dhuhur segera tiba. Kalau harus meneruskan langkah, bisa dipastikan akan kehilangan pahala jamaah shalat Dhuhur di masjid, yang hampir tidak pernah ia tinggalkan.
Dia berfikir sejenak, mencari alternatif. Ojeg, ya … naik ojeg dengan ongkos Rp 5.000,00. Tapi, karena lagi bokek uang lima ribu rupiah sangatlah bernilai. Pertarungan antara pahala shalat Dhuhur berjamaah vs lima ribu rupiah, hampir saja membatalkan niatnya mengejar berjamaah di masjid.
Setibanya di rumah, setelah bebersih seperlunya kemudian berwudhu, dia bergegas menuju masjid yang tidak jauh dari rumahnya.
Sepulang dari masjid, ada sesuatu yang dicarinya, tapi tidak segera ditemukan. Lemari-lemari, laci-laci, kotak-kotak penyimpanan dibuka-tutup berulang kali. Sudut-sudut rumah nyaris tidak ada yang luput dijamah. Belum juga ketemu.
Sampailah pada sebuah laci yang sehari-harinya hampir tak pernah disentuh. Di dalam laci itu, perhatiannya bukan lagi benda yang dicari, tapi malah tertarik dengan sebuah amplop. Diambilah amplop itu kemudian dibukanya. Apa isinya? Selembar uang lima puluh ribu rupiah. Ya, lima puluh ribu rupiah, sepuluh kali lipat dari yang telah ia belanjakan untuk ongkos ojeg.
Meskipun uang itu bukan milik siapa-siapa, milik dia juga, yang sudah dilupakan. Tetapi, karena ditemukannya pada saat kantong lagi kosong, maka sungguh sangat berarti. Menyenangkan, mendapatkan rizqi yang tidak disangka-sangka.
Kendati, sebenarnya yang lebih menggembirakan bukan karena mendapatkan limapuluh ribu rupiah itu. Melainkan, timbulnya kesadaran bahwa pengorbanannya untuk tukang Ojeg telah dibalas kontan sepuluh kali lipat.Â
"Mungkin Tuhan telah menegur, mengingatkan saya, Embah Minton", kata teman itu diakhir tuturannya.
"Kok bisa?" Tanya saya, minta penjelasan.
"Ya iya lah … dengan cara ini, Tuhan membuka mata batin saya supaya bisa menyaksikan kehadiran-Nya di balik semua yang ada. Tuhan mesti harus menyodorkan sesuatu yang begitu benderang ke muka saya."
Demikianlah cerita teman saya.
Semua itu terjadi bukan secara kebetulan. Tidak ada di dunia ini sesuatu yang kebetulan. Semuanya terjadi mengikuti skenario Allah.