Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Indonesia tentu saja memiliki mimpi besar untuk bisa mengejar national holding company-nya negara-negara tetangga, seperti Temasek milik Singapura atau Khazanah milik Malaysia. Dua national company milik negara tetangga tersebut tentu saja dapat menjadi raksasa karena tidak dijahili oleh pihak-pihak luar.
Intervensi terhadap BUMN datang dari pihak luar seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), ataupun dari birokrasi pemerintah sendiri. Sebagai contoh pengangkatan direksi haruslah melalui fit and proper test oleh DPR, dimana hal tersebut sarat akan benturan kepentingan satu sama lain.
Meskipun BUMNÂ memiliki peran sebagai penyelenggara pelayanan public, di sisi lain BUMN juga berperan sebagai penghasil keuntungan bagi negara. BUMN diharapkan menjadi motor pertumbuhan ekonomi di tanah air.
Untuk menjadikan national holding company-nya menjadi raksasa dan memiliki penghasilan besar, negara-negara maju menerapkan 3 formula kebijakan yakni depolitisasi, debirokratisasi dan penetapan aset yang dipisahkan dari aset negara.
Hasilnya bisa dilihat pada Temasek Singapura yang pada 1998 nilainya hanya sepersepuluh BUMN Indonesia. Sekarang Temasek sudah melebihinya. Di Malaysia ada Petronas yang mampu meghasilkan US$ 20 setahun. Di Tiongkok terdapat 128 BUMN yang dibentuk pada 2003 dan mampu menghasilkan US$ 208 miliar pertahun. Bandingkan dengan 119 BUMN di Indonesia yang hanya menghasilkan US$ 10 miliar.
Beberapa bulan ini, pemberitaan di tanah air ramai tertuju pada BUMN Pelabuhan yakni PT. Pelindo II (IPC). Permasalahan dimulai ketika adanya masalah dwelling time di pelabuhan yang disinyalir akibat dari lamanya operasional bongkar muat barang/kontainer, namun ternyata masalah sebenarnya terletak pada lamanya proses birokrasi yang kewenangannya ada di beberapa instansi terkait.
PT Pelindo II mendapatkan penghargaan Best Corporate Bonds dari The Asset Magazine. Pengargaan itu atas tindakan korporat mendapatkan global bond internasional sebanyak 1,6 miliar USD. Global bond yang digunakan Pelindo II untuk membangun 1 pelabuhan baru di Sorong Papua, dan pengembangan 4 pelabuhan lainnya untuk mendukung program tol laut yang dicanangkan oleh pemerintah.
 Politisasi DPR
DPR yang beberapa bulan ini membentuk Pansus Hak Angket Pelindo II terlihat sangat bersemangat untuk menyelidiki permasalahan yang terjadi di Pelindo II. Berdalih menggunakan fungsi konstitusional Pansus Pelindo bersemangat mencurahkan segala energinya untuk mencari-cari kesalahan yang ada di Pelindo II ini.
Sejatinya DPR memiliki beberapa fungsi seperti Legislasi, Budgeting dan Pengawasan. Mari kita lihat dalam satu tahun terakhir capaian program legislasi nasional berada pada titik yang amat mengkhawatirkan. Dari 37 rancangan undang undang (RUU) yang disepakati sebagai prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015, sampai sejauh ini, belum sampai 20% yang berhasil menjadi undang undang. Kalau secara kuantitas saja DPR masih jauh dari target pemenuhan Prolegnas, maka menghasilkan undang undang yang berkualitas pun rasanya akan jauh lebih sulit lagi.
Selama ini fungsi legislasi terabaikan, DPR lebih menyibukan diri untuk menggunakan fungsi konstitusional lainnya yakni fungsi pengawasan. Padahal fungsi pengawasan selama ini secara empiris terlihat sangat menimbulkan kegaduhan ditambah lagi penggunaan fungsi inipun tidak jelas pangkal ujungnya alias seringkali lenyap begitu saja tanpa diketahui masyarakat.
Terlihat jelas dari kesimpulan rapat Pansus Hak Angket Pelindo II mempunyai keinginan kuat untuk melengserkan Direktur Pelindo II RJ. Lino Menteri Negara BUMN Rini Soemarmo.
Padalah secara terang benderang hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyangkut perpanjangan kontrak di JICT. Dalam hasil auditnya nomor 48/AUDITAMA VII/PDTT/12/2015 yang diterima Pelindo II pada tanggal 1 Desember 2015, BPK tidak menyebut adanya kerugian negara dalam perpanjangan kontrak JICT. Sepertinya Pansus mengabaikan fakta-fakta ini dan tetap bersikukuh ada pelanggaran prosedur meskipun hal tersebut tidak terbukti dan terkesan dibuat-buat.
BPK hanya meminta kepada Pelindo II untuk segera mengambil alih kontrol manajemen di PT JICT. Dan Permintaan BPK tersebut sejatinya sudah dijalankan oleh Pelindo II. Sejak 6 Juli 2015 kepemilikan saham Pelindo II telah berubah, dimana Pelindo menguasai 50,9% saham, HPH 49% saham dan Kopegmar 0,1% saham. Perubahan kepemilikan saham itu dilakukan menyusul right issue yang dilakukan JICT, dimana Pelindo II menjadi mayoritas. Sejalan dengan perubahan kepemilikan saham, Pelindo II telah mengganti direksi dan komisaris di JICT pada 6 Juli lalu.
Sekali lagi terlihat jelas bahwa BUMN sangat rentan akan intervensi luar dalam hal ini DPR. Pada kasus Pelindo II, Pansus Hak Angket Pelindo II terkesan mencari-cari alasan yang sebenarnya sudah jelas ada muatan politis dibalik segala macam tingkah polah jahilnya. Kalau terus dijahili kapan BUMN kita maju? (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H