Di bawah langit yang luas dan pegunungan yang memeluk lembah Chiangmai, kami berdiri bersama. Seperti embun pagi yang menggantung di dedaunan, perjalanan ini dimulai dengan harapan, kerinduan, dan pertanyaan-pertanyaan yang menggema di dasar jiwa kami , Benarkah Tuhan memberkati kami? Â Kami berasal dari berbagai sudut Asia Pasifik, membawa bahasa, warna, dan cerita yang berbeda. Namun, di lembah ini, kami dipanggil oleh suara yang sama suara yang tidak terlihat, tetapi terasa begitu dekat, seperti angin lembut yang mengelus pipi di pagi hari. Suara itu adalah undangan dari Dia yang selalu setia, yang menyentuh hati kami dan membawa kami ke dalam perjalanan ini. Â Ketika langkah pertama kami menapaki tanah Chiangmai, hati kami penuh dengan keraguan. Apakah kisah ini benar-benar awal dari sesuatu yang besar? Di sinilah kami melihat salib kecil yang digenggam oleh setiap missionaris cilik bukan hanya sebuah tanda, tetapi cahaya yang menuntun kami menuju kebenaran. Salib kecil itu bukan sekadar simbol penderitaan, tetapi juga pengharapan; bukan hanya lambang pengorbanan, tetapi juga kasih yang abadi.Â
Â
 Perjalanan di Lembah Harapan Hari-hari di lembah ini adalah hari-hari penuh pelajaran. Setiap langkah kami terasa seperti dituntun oleh tangan yang tidak terlihat, dan setiap percakapan di antara kami seakan diselingi oleh bisikan kasih Tuhan. Kami belajar untuk memahami bahwa kepemimpinan bukan tentang kekuasaan, tetapi tentang melayani. Dan untuk melayani, kami harus terlebih dahulu mengenal diri kami sendiri. Â
  Malam itu, di bawah langit yang dipenuhi bintang, kami duduk melingkar. Sebuah lilin kecil menyala di tengah, menyinari wajah-wajah yang penuh rasa ingin tahu dan kerinduan. Seorang pembimbing, dengan suara yang lembut tetapi penuh wibawa, berkata, Pemimpin sejati adalah mereka yang tahu bagaimana mencintai dengan tulus. Salib kecil yang kalian bawa bukan hanya beban, tetapi juga panggilan untuk menyebarkan cinta di dunia yang sering kali melupakan cinta itu sendiri.Kata-kata itu menusuk ke dalam hati kami. Apakah kami mampu? Apakah kami, yang penuh dengan kelemahan, benar-benar dipanggil untuk tugas ini? Namun, di dalam keraguan itu, kami merasakan kehangatan dimana sebuah pengakuan bahwa Tuhan tidak memanggil yang sempurna, tetapi menyempurnakan mereka yang Ia panggil.
 Â
                   Â
Menyatu dalam Keberagaman
Di lembah ini, kami menemukan keindahan dari keberagaman. Setiap hari, kami berbagi cerita tentang tanah air kami, tentang tradisi, perjuangan, dan harapan kami. Ada yang datang dari pulau-pulau kecil di Pasifik, ada yang dari desa-desa terpencil di Asia Selatan, dan ada pula yang berasal dari kota-kota besar yang sibuk di Asia Timur.  Di antara kami, ada perbedaan bahasa, budaya, dan cara pandang. Namun, saat doa dipanjatkan, kami menjadi satu. Kami menyadari bahwa meskipun kami berasal dari latar belakang yang berbeda, panggilan kami tetap sama: untuk menjadi terang di dunia yang gelap, untuk membawa kasih Tuhan kepada mereka yang haus akan cinta sejati.  Salah satu momen yang tak terlupakan adalah ketika kami menanam pohon bersama. Setiap kelompok diberikan satu bibit kecil, yang harus ditanam dan dirawat selama program pelatihan ini. Saat kami menggali tanah, mencangkul, dan menanam, kami menyadari bahwa tugas kami sebagai pemimpin adalah seperti tugas seorang petani menanam dengan penuh kesabaran, menyiram dengan cinta, dan mempercayakan pertumbuhan kepada Sang Pencipta. Â