Di sebuah sudut kota yang terlupakan seorang wanita muda terpaksa menjual tubuhnya demi menyambung hidup. Bukan karena dia ingin tapi karena keadaan yang memaksa. Di tengah gemerlapnya kehidupan metropolitan yang dibanggakan pemerintah ada bagian masyarakat yang tenggelam dalam gelapnya kemiskinan. Wanita itu  seperti banyak lainnya hanyalah korban dari sistem yang tak berpihak pada mereka yang lemah. Ironis di negara yang selalu membanggakan moralitas, agama, dan budaya, ada perempuan yang harus melacurkan diri demi bertahan hidup.Â
ingat bahwa Wanita itu bukan sekadar angka dalam statistik kemiskinan. Ia adalah wajah nyata dari kebijakan ekonomi yang gagal. Sistem ekonomi yang hanya menguntungkan segelintir orang telah memaksa mereka yang di bawah seperti mereka untuk memilih antara kelaparan atau menggadaikan harga diri. Di tengah kampanye besar-besaran untuk Indonesia Emas dan visi kesejahteraan, realitas yang dialaminya sangat kontras yaitu tidak ada lapangan pekerjaan yang layak, biaya hidup semakin tinggi, dan bantuan sosial hanya sekadar janji.
 Lebih ironis lagi  politik negeri ini dipenuhi retorika kemakmuran dan janji untuk memberantas kemiskinan. Tapi di balik semua janji itu, siapa yang sebenarnya diperjuangkan oleh para politisi? Mereka sibuk berebut kekuasaan dan merancang kebijakan yang memperkaya diri sendiri sementara rakyat seperti wanita ini tak pernah disentuh oleh kebijakan itu. Pemerintah berbicara soal pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik tetapi bagi perempuan ini, stabilitas itu hanyalah ilusi. Pertumbuhan ekonomi yang diagungkan itu hanya dapat dinikmati oleh para elit politik dan pengusaha besar  bukan oleh mereka yang berada di bawah garis kemiskinan.
  Dalam konteks sosial, stigma dan cemoohan selalu diarahkan kepada para wanita yang melacur. Masyarakat cepat menuding menghakimi tanpa mengetahui bahwa pilihan mereka adalah akibat dari ketidakadilan sistemik. Di satu sisi kita berbicara soal budaya yang menjunjung tinggi kehormatan dan martabat perempuan, tapi di sisi lain, sistem sosial kita justru mengabaikan perempuan seperti dia yang berada di titik paling rentan. Dalam budaya yang katanya mengagungkan nilai-nilai tradisional, mengapa banyak perempuan masih terjebak dalam kemiskinan struktural yang membuat mereka harus memilih jalan hidup yang penuh kehinaan?
 Â
Kisah wanita yang terpaksa menjual tubuhnya ini adalah cermin buram dari kegagalan bangsa. Di tengah gemuruh kebanggaan terhadap budaya, agama, dan politik, kita lupa bahwa ada manusia yang dikorbankan oleh sistem yang tak adil. Pemerintah, yang seharusnya menjadi pelindung dan penjamin kesejahteraan, malah membiarkan ketidakadilan ini terus terjadi. Sistem ekonomi kapitalis yang diterapkan hanya memperkaya segelintir orang, sementara mereka yang di bawah harus berjuang sendiri di tengah gelombang kemiskinan.
Sementara politisi sibuk berdebat di parlemen, wanita ini berdiri di pinggir jalan, menghadapi pilihan-pilihan hidup yang tak seharusnya ada. Sementara para pemimpin agama memberikan ceramah panjang soal moralitas, wanita ini terus berjuang untuk bertahan hidup meski harus menggadaikan harga dirinya. Sementara masyarakat terus merayakan budaya dan tradisi, mereka gagal melihat perempuan-perempuan yang tersisih oleh struktur sosial yang tak memberi ruang bagi mereka untuk berkembang. Pertanyaan besar yang harus kita tanyakan adalah ,bagaimana mungkin negara yang bangga dengan kekayaannya, baik alam maupun budaya, membiarkan rakyatnya terjebak dalam situasi yang begitu memalukan? Bagaimana mungkin kita berbicara soal 'Indonesia Emas' jika masih ada perempuan yang terpaksa menjual tubuhnya karena kemiskinan?
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI