Mohon tunggu...
Emanuel Odo
Emanuel Odo Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Penulis Lepas pecanduan kopi

Mengamati

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Budaya Sopan Santun yang Membungkam Kejujuran: Antara Etika dan Ketakutan Berpendapat.

23 September 2024   22:37 Diperbarui: 24 September 2024   04:18 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di Indonesia sopan santun adalah salah satu nilai budaya yang sangat dijunjung tinggi. Sikap menghormati dan  menjaga perasaan orang lain dan berbicara dengan penuh kehati-hatian menjadi norma yang dianggap penting dalam setiap interaksi sosial. Namun dalam praktiknya budaya ini sering kali berubah menjadi penghalang untuk mengekspresikan kejujuran dan berpendapat secara bebas. Tak jarang demi menjaga  sopan santun orang lebih memilih diam atau berbicara dengan nada yang ambigu agar tidak dianggap menyinggung pihak lain. Fenomena ini melahirkan sebuah paradoks dalam masyarakat yaitu antara etika menjaga kesantunan dan ketakutan untuk berbicara jujur.

a. Fenomena Orang Indonesia dalam Berpendapat
 Sikap sungkan atau tidak enakan merupakan hal yang umum dalam pergaulan masyarakat Indonesia. Contoh nyatanya dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari mulai dari lingkungan keluarga hingga ruang publik dan dunia kerja. Dalam rapat perusahaan banyak karyawan enggan untuk menyuarakan pendapat yang berbeda dari atasan mereka. Bukan karena mereka setuju tetapi karena takut dianggap tidak menghormati senioritas atau membuat suasana menjadi tidak nyaman.  Kasus lain yang sering terjadi adalah dalam dunia pendidikan. Di sekolah atau kampus siswa sering kali takut untuk bertanya atau mengkritisi pendapat guru atau dosen meskipun mereka tahu bahwa ada yang salah atau kurang tepat dalam materi yang disampaikan. Mereka memilih diam khawatir dianggap kurang ajar atau melawan. Di ruang publik  fenomena ini juga terlihat jelas, misalnya ketika orang lebih memilih untuk tidak melaporkan kasus korupsi yang mereka ketahui di tempat kerja atau pemerintahan karena takut terhadap balasan sosial atau profesional. Meskipun tahu bahwa yang mereka lakukan salah secara moral banyak orang lebih memilih diam demi menjaga keharmonisan dan 'kesantunan.'

dok.pribadi 
dok.pribadi 

Mari Kita Analisis hal ini  Berdasarkan Teori Etika
  Dalam filsafat moral ada dua pendekatan utama yang dapat digunakan untuk menganalisis fenomena ini yaitu etika deontologis dan  etika konsekuensialisi . Dalam etika deontologis tindakan dinilai baik atau buruk berdasarkan prinsip-prinsip atau aturan moral yang harus dipatuhi tanpa memperhatikan konsekuensi. Sedangkan dalam etika konsekuensialis tindakan dinilai berdasarkan hasil atau dampak dari tindakan tersebut. Jika kita melihat budaya sopan santun di Indonesia dari sudut pandang etika deontologis masyarakat cenderung menempatkan nilai "menghormati" dan "menjaga keharmonisan" sebagai prinsip utama yang tidak boleh dilanggar. Namun hal ini sering kali bertentangan dengan prinsip kejujuran yang juga merupakan nilai moral yang penting. Dalam upaya menjaga kesantunan kejujuran sering kali dikorbankan. Dari perspektif etika konsekuensialis budaya sopan santun ini menghasilkan dampak yang negatif dalam banyak situasi. Misalnya dalam diskusi profesional atau pendidikan adanya ketakutan untuk berpendapat  hal ini bisa menghambat proses pengambilan keputusan yang lebih baik. Saran yang jujur dan kritik yang membangun tidak diberikan karena khawatir melanggar norma kesantunan padahal jika diungkapkan hal ini dapat membawa hasil yang lebih positif bagi banyak pihak.  Ketakutan Berpendapat dan Konsekuensinya, Fenomena takut berpendapat ini tidak hanya memengaruhi individu  tetapi juga mempengaruhi perkembangan masyarakat secara keseluruhan. Di banyak kasus budaya ini justru melanggengkan ketidakadilan, stagnasi, dan ketidakbenaran. Ketika seseorang memilih untuk diam demi sopan santun maka sistem yang salah tetap berlangsung tanpa ada yang berani menantangnya. Sebagai contoh dalam politik Indonesia  banyak pejabat atau politisi yang tidak berani mengkritik rekan mereka yang melakukan kesalahan karena takut akan dihukum secara sosial atau bahkan dikeluarkan dari lingkaran kekuasaan. Hal ini menghambat terciptanya pemerintahan yang transparan dan bertanggung jawab. Di dunia akademis mahasiswa sering kali merasa terintimidasi untuk menyuarakan pendapat kritis mereka kepada dosen atau profesor. Ketakutan ini membuat mereka kehilangan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan menyumbang ide-ide segar dalam perkembangan ilmu pengetahuan.

 Kritik terhadap Budaya Ini

   Budaya sopan santun yang seolah-olah mulia ini sebenarnya memproduksi sikap munafik dan pasif. Seseorang yang terus-menerus menjaga kesantunan hingga mengekang kejujuran akan terbiasa hidup dalam kepura-puraan. Mereka belajar untuk berbicara dengan maksud yang tersembunyi menyetujui hal-hal yang sebenarnya mereka tolak, dan menahan diri dari mengemukakan kebenaran. Bahkan lebih parah lagi, budaya ini mendorong ketidakberanian untuk melawan ketidakadilan. Dengan alasan menjaga hubungan baik dan masyarakat sering kali memilih untuk tidak melaporkan tindakan korupsi, penindasan, atau ketidakbenaran lainnya. Dalam jangka panjang  hal ini menciptakan lingkungan sosial yang tidak sehat, di mana kejahatan kecil dan besar terus terjadi karena tak ada yang berani melawan. Selain itu budaya ini juga menghalangi perkembangan personal. Ketika seseorang takut untuk berbicara jujur, mereka kehilangan kesempatan untuk belajar dari kesalahan atau memperbaiki diri. Dalam masyarakat yang takut akan perbedaan pendapat, kreativitas dan inovasi juga terhambat

Dok.pribadi 
Dok.pribadi 

Jadi  Budaya sopan santun yang mengekang kejujuran adalah salah satu tantangan besar bagi masyarakat Indonesia. Meskipun kesopanan itu penting ia tidak boleh dijadikan alasan untuk mengekang kebebasan berpendapat dan kebenaran. Masyarakat harus belajar untuk membedakan antara sopan santun yang otentik dan kepura-puraan yang menutupi ketidakberanian. Pada akhirnya keseimbangan antara etika dan kejujuran adalah kunci untuk menciptakan masyarakat yang lebih terbuka, adil, dan berkembang. Ke depan sangat penting bagi kita untuk mendorong budaya komunikasi yang sehat dan jujur di mana kritik bisa disampaikan dengan cara yang tetap sopan tetapi tegas. Ini bukan hanya soal menumbuhkan keberanian, tetapi juga soal membentuk masyarakat yang lebih siap menerima kebenaran dan perubahan, demi kebaikan bersama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun