Mohon tunggu...
Emanuel Odo
Emanuel Odo Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Catatan Harian

Mengamati

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perempuan Manggarai: Antara Warisan Adat, Belis, dan Kritik Postkolonial"

28 Agustus 2024   22:46 Diperbarui: 28 Agustus 2024   22:57 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok.pribadi  . Sanggar budaya Komunitas Permpuan Manggarai  TMI.

 

 Dalam kilauan sejarah yang pekat kaum perempuan sering kali berada dalam bayang-bayang ganda dalam sisi yang lain mereka menjadi korban dari dua kekuatan besar yang membelenggu kebebasan dan martabat mereka. Patriarki yang telah lama terbenam dalam budaya, serta kolonialisme yang mengakar dalam narasi sejarah. Kedua kekuatan ini meskipun tampak berbeda, berkonvergensi dalam tubuh dan jiwa perempuan, meninggalkan jejak yang samar namun berbahaya terutama sebuah pola pikir yang tak kasat mata namun terus menghantui dan terus mendominasi sebuah residu yang tersembunyi dalam cara kita memandang, berbicara, dan bertindak soal permpuan.

 Di Manggarai di mana adat istiadat menjadi benteng yang menjaga identitas dan kelangsungan hidup komunitas, perempuan sering kali berada di persimpangan jalan. Mereka adalah penjaga tradisi, namun sekaligus terikat oleh tradisi yang sama. Dalam ruang ini patriarki menjelma menjadi sesuatu yang begitu halus tersembunyi di balik penghormatan simbolik, namun sering kali mengekang perempuan sebagai individu. Di balik senyum dan penghargaan ada batas-batas yang tak terlihat namun tegas, yang mengatur gerak perempuan dalam tatanan sosial. Budaya Manggarai, dengan segala kekayaan nilai dan ritualnya memang memberikan penghormatan yang dalam terhadap perempuan. Namun, jika kita melihat lebih dekat kita akan menemukan bahwa perempuan sering kali lebih dihormati sebagai simbol ketimbang sebagai subjek yang otonom. Mereka dijunjung tinggi dalam peran mereka sebagai  ibu kehidupan, namun sering kali peran ini juga menjadi pengikat yang membuat mereka terjebak dalam batas-batas yang ditentukan oleh adat dan norma sosial. Kolonialisme dengan segala kekuatan hegemoniknya yang tidak hanya mencabik-cabik tubuh bangsa tetapi juga merasuk jauh ke dalam jiwa masyarakat yang mengubah cara kita memandang diri dan orang lain. Dampaknya pada perempuan adalah yang paling mendalam, karena ia memutarbalikkan peran perempuan dari pusat kehidupan menjadi objek yang harus dikuasai dan dikendalikan. Sisa-sisa pemikiran kolonial ini tetap bertahan dalam bentuk yang lebih halus namun tidak kalah berbahaya. marginalisasi yang terselubung dalam ritual dan adat yang dianggap sakral dalam konteks ini kritik feminis postkolonial menjadi cahaya yang membongkar struktur-struktur yang tersembunyi. 

    Ia mengajak kita untuk melihat lebih dalam terutama untuk menggali di bawah lapisan adat yang tampak luhur dan menemukan bentuk-bentuk dominasi yang sering kali terabaikan. Perempuan dalam budaya Manggarai tidak boleh hanya dilihat sebagai penerima tradisi tetapi juga sebagai pencipta tradisi. Mereka harus diakui sebagai subjek yang memiliki hak untuk menentukan narasi mereka sendiri dan bukan sekadar objek yang dihormati melalui simbolisme adat. Namun ini bukan berarti kita harus menolak adat dan tradisi tetapi sebaliknya kita perlu membangun ruang di mana adat dan hak-hak perempuan bisa berdialog dalam keseimbangan yang baru. Jika dilihat lebih jauh Adat Manggarai bisa tetap menjadi pijakan yang kokoh, tetapi hanya jika ia berkembang untuk mengakui perempuan bukan hanya sebagai penjaga tetapi sebagai pengubah. Mereka adalah penggerak bukan sekadar penopang. Dengan demikian peran perempuan dalam budaya Manggarai harus diidentifikasi dan dikritisi, bukan untuk menghilangkan akar tradisi, tetapi untuk menumbuhkan cabang-cabang baru yang lebih adil dan inklusif. Sebab  jika dimakna lebih mendalam bahwa Perempuan adalah tanah di mana pohon budaya tumbuh, namun mereka juga adalah angin yang bisa mengarahkan pertumbuhan pohon tersebut. Dalam setiap gerak mereka dan dalam setiap pilihan mereka, perempuan membawa kemungkinan perubahan yang mendalam dan inilah yang harus kita hargai, baik dalam adat maupun dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu  dalam budaya  Di tanah Manggarai, perempuan bukan sekadar sosok yang hadir sebagai pelengkap kehidupan. Mereka adalah penjaga dan penjaga api budaya dimana simbol kekuatan serta keanggunan dalam satu harmoni. Dalam setiap langkah mereka tersirat narasi tentang kekayaan leluhur yang terjalin dalam tarian, busana, dan tutur yang sarat makna. 

        Potret permpuan manggarai pada foto diatas  terlihat sekumpulan perempuan Manggarai yang mengenakan busana tradisional yang penuh warna dan cerita. Setiap helai kain yang melilit tubuh mereka itu  tak hanya menyampaikan estetika tetapi juga membawa pesan tentang asal-usul, nilai, dan filosofi hidup yang diturunkan dari generasi ke generasi. Di balik kelembutan ekspresi mereka, tersembunyi ketegaran yang membentang sepanjang sejarah dimana halitu membawa warisan dan tanggung jawab untuk merawat kehidupan. Perempuan Manggarai sering diibaratkan sebagai (ibu) dari semesta mereka merangkul kehidupan dengan kehangatan sekaligus membentuknya dengan tangan yang kuat. Dalam tradisi Manggarai perempuan adalah tiang keluarga, penjaga adat, dan penerus sejarah. Mereka bukan sekadar penyeimbang tetapi pusat dari keseimbangan itu sendiri. Ketika dunia bergerak dengan keras dan kasar perempuan Manggarai bergerak lembut namun pasti menyulam benang kehidupan agar tetap kokoh di tengah perubahan zaman. Dalam konteks Filosofi perempuan dalam budaya Manggarai juga merangkum dualitas yang dalam dimana mereka adalah perpaduan antara tanah dan langit, antara yang material dan spiritual. Seperti halnya bumi yang menopang perempuan memberikan kehidupan, tetapi juga seperti angin yang halus, mereka menyebarkan kebaikan dan kebijaksanaan tanpa suara. Dalam pandangan filosofis perempuan adalah manifestasi dari keseimbangan yin dan yang mereka mampu menjadi air yang menenangkan sekaligus api yang membara. 

    Gaya bahasa sastra yang menukik ke dalam jiwa perempuan Manggarai ini berusaha menangkap kedalaman peran mereka. Seperti syair yang tak pernah usai bahwa kehidupan perempuan di Manggarai terus berdenyut dengan harmoni budaya dan filosofi yang mengajarkan kita tentang kekuatan, keindahan, dan kebijaksanaan dalam setiap gerak mereka. Dimana perempuan bukan hanya bagian dari budaya Manggarai, mereka adalah jiwa dari kebudayaan itu sendiri, menggema dalam setiap tradisi dan ritual, menyalakan api kehidupan yang tak pernah padam. Untuk sampai pada pada cita cita luhu yang saya ulas denga  gaya bahasa sastra diatas ada satu hal yang menarik dalam budaya Manggari yang memberikan pandangan tentang martabat permpuan yang dalakm hal ini dilakukan oleh budaya belis.  Saya memandang bahwa konsep belis atau mahar bukan sekadar transaksi materi. Ia adalah simbol penghormatan mendalam terhadap perempuan, yang mewakili keseimbangan antara dunia spiritual dan dunia material.  Belis bukan hanya tentang nilai tetapi tentang pengakuan terhadap martabat dan keagungan perempuan yang membawa kehidupan, membentuk, dan merawat keluarga.  Belis  dalam budaya Manggarai bukanlah harga melainkan bentuk penghargaan atas perempuan sebagai pusat kehidupan. Dalam konteks ini perempuan dilihat sebagai   ibu dari semesta penjaga kehidupan yang merawat dan melestarikan nilai-nilai luhur.  Sebagai ibu, perempuan adalah sumber kekuatan dan kebijaksanaan yang mengalir dalam keluarga dan masyarakat sehingga pemberian belis  mencerminkan pengakuan atas peran sakral tersebut. Secara filosofis pemberian  belis dapat dipahami sebagai simbol aliran energi kosmis antara dua keluarga  di mana perempuan berfungsi sebagai jembatan penghubung yang mengikat dan menyatukan dua garis keturunan. 

      Dalam pandangan ini perempuan adalah penghubung antara masa lalu dan masa depan, membawa warisan leluhur sekaligus menciptakan generasi baru. Belis merupakan penghormatan terhadap peran perempuan ini bukan hanya dalam aspek biologis, tetapi juga dalam dimensi spiritual dan kultural. Dalam budaya Manggarai perempuan dipandang sebagai pilar utama yang menopang dan menjaga harmoni dalam keluarga dan masyarakat. Oleh karena itu belis menjadi bentuk penghormatan atas kekuatan - kekuatan yang tidak hanya menghasilkan kehidupan, tetapi juga menjaga keseimbangan antara yang terlihat dan yang tak terlihat, antara yang nyata dan yang metafisik. Ketika kita mengaitkan  belis dengan konsep perempuan sebagai jiwa kebudayaan Manggarai, kita melihat bahwa penghargaan ini bukanlah sekadar tradisi tetapi manifestasi dari penghormatan yang mendalam terhadap esensi kehidupan itu sendiri. Perempuan tidak hanya diterima dalam keluarga baru tetapi juga dipandang sebagai penanda kelanjutan kehidupan, pembawa warisan, dan penjaga nilai-nilai adat. Dengan demikian, belis bukanlah sekadar pembayaran atau imbalan, melainkan sebuah simbol dari penghormatan yang dalam terhadap peran perempuan dalam menciptakan, menjaga, dan melanjutkan kehidupan. Ini adalah pengakuan atas dualitas perempuan yang lembut namun kuat  yang seperti tanah dan langit membentang luas namun tetap mengakar dalam adat dan tradisi. Pandangan filosofis ini menegaskan bahwa dalam budaya Manggarai, perempuan dihormati sebagai inti dari siklus kehidupan dan belis  adalah simbol dari penghormatan tak terbatas terhadap keagungan dan kekuatan mereka.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun