Mohon tunggu...
Emanuel Odo
Emanuel Odo Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Penulis Lepas pecanduan kopi

Mengamati

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Antara Jalan Tol dan Jalan Hidup: Refleksi Sepuluh Tahun Pengabdian Bapak Presiden

17 Agustus 2024   04:39 Diperbarui: 17 Agustus 2024   04:50 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

                     

Kepada Yang Terhormat Bapak Presiden.

Bapak Sepuluh tahun telah berlalu sejak Bapak mulai menakhodai kapal besar bernama Indonesia ini. Sebagai seorang rakyat kecil yang hidup di tengah pusaran dinamika negeri, izinkan saya mengucapkan terima kasih atas segala pengabdian Bapak selama ini. Namun, sebagaimana anak yang merindukan nasihat orang tua, izinkan pula saya mengutarakan beberapa pemikiran kritis yang muncul dari realitas yang saya alami sehari-hari. Bapak Presiden, kami yang berada di lapisan bawah sering kali memandang dunia dari sudut yang berbeda. Ketika Bapak berbicara tentang angka-angka makroekonomi yang membaik, kami justru melihat kehidupan sehari-hari yang masih penuh perjuangan. Di balik statistik pertumbuhan ekonomi yang meningkat, ada cerita-cerita sunyi tentang piring kosong di meja makan, tentang anak-anak yang bersekolah dengan sepatu yang hampir usang, dan tentang harapan-harapan yang perlahan mulai pudar karena kenyataan yang tak seindah janji. Di sudut-sudut kota yang gelap, di lorong-lorong sempit yang sering terlewatkan dari perhatian, dan di desa-desa yang jauh dari gemerlapnya pembangunan, kami merasa seperti sebutir pasir di tengah gurun, terlupakan namun tetap ada. Di tempat-tempat ini, waktu seolah bergerak lambat, dan pembangunan yang Bapak gembar-gemborkan seperti hanya menjadi gema yang tak pernah benar-benar sampai. Kami ada, tetapi sering kali tak terlihat; kami mendengar, tetapi jarang didengar. Kami hidup dengan impian sederhana untuk dapat bertahan hidup dengan martabat, untuk menyekolahkan anak-anak kami agar mereka tidak mewarisi kemiskinan yang kami alami, dan untuk merasakan sedikit saja manisnya kemerdekaan yang sesungguhnya. Namun, sering kali, impian-impian itu terasa seperti bayang-bayang di cakrawala, yang semakin mendekat justru semakin menjauh.

Sebuah Pertanyaan Filosofis.

   Bapak Presiden, pembangunan infrastruktur yang Bapak canangkan memang mengubah wajah negeri ini. Jalan-jalan tol yang megah, jembatan-jembatan yang menghubungkan, serta bandara yang semakin modern telah mengubah lanskap Indonesia. Tapi, dalam refleksi sederhana kami, pertanyaan yang muncul adalah: apakah pembangunan fisik ini cukup untuk menjawab kegelisahan batin rakyat? Infrastruktur memang penting, tetapi apa artinya jika kami masih kesulitan mendapatkan pekerjaan yang layak? Jalan-jalan mulus tidak banyak berarti jika kami harus terus berjalan tanpa tujuan yang jelas. Kami bertanya-tanya, di manakah letak pembangunan manusia, Bapak Presiden? Bagaimana nasib pendidikan anak-anak kami, kesehatan kami, dan keadilan sosial yang seharusnya menjadi jantung dari setiap kebijakan? Korupsi dan Kepercayaan yang Terkikis, Bapak Presiden, Bapak sering berbicara tentang pentingnya memberantas korupsi. Namun, sebagai rakyat biasa, kami merasakan betapa sulitnya menghapuskan korupsi yang sudah mengakar begitu dalam. Kepercayaan kami kepada institusi publik semakin terkikis ketika melihat banyaknya kasus korupsi yang masih terjadi di mana-mana. Rasanya, seperti menonton sebuah drama yang tak pernah berakhir, di mana aktor-aktor utamanya tetap bebas tanpa hukuman setimpal.

Janji-janji yang Menggantung di Udara.

  Selama Bapak memimpin, banyak janji yang pernah diucapkan. Janji tentang pengentasan kemiskinan, tentang keadilan, dan tentang kesejahteraan untuk semua. Namun, kami sering kali merasa janji-janji itu menggantung di udara, tanpa pernah benar-benar mendarat di tanah tempat kami berpijak. Mungkin bukan karena Bapak tidak berusaha, tapi karena sistem yang ada terlalu rumit, terlalu penuh dengan kepentingan yang saling bertubrukan. Bapak Presiden, dalam segala keterbatasan kami, kami tetap ingin mengucapkan terima kasih. Terima kasih atas jalan-jalan yang Bapak bangun, atas usaha Bapak untuk membawa Indonesia ke panggung dunia, dan atas setiap upaya Bapak untuk membuat negeri ini lebih baik. Namun, kami juga berharap bahwa di sisa waktu kepemimpinan Bapak, suara-suara kecil seperti kami bisa lebih didengarkan. Kami tidak meminta banyak, hanya keadilan dan kesempatan untuk hidup layak di negeri yang kaya raya ini. Akhir kata, semoga Bapak senantiasa diberikan kesehatan dan kekuatan dalam memimpin bangsa ini. Dan semoga Bapak tetap ingat, bahwa di balik gemerlapnya istana, ada kami yang tetap setia berjuang di bawah naungan bendera Merah Putih, dengan harapan yang tak pernah padam.

Salam hormat dan doa dari kami, rakyat kecil yang selalu berharap.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun