Mohon tunggu...
Emanuel Odo
Emanuel Odo Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Catatan Harian

Mengamati

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Semakin Banyak Aturan Semakin Sedikit Keadilan

26 Juli 2024   01:53 Diperbarui: 26 Juli 2024   01:53 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Dalam perenungan mendalam tentang hukum dan keadilan, kita dihadapkan pada paradoks yang diungkapkan oleh Marcus Tullius Cicero: "Semakin banyak aturan, semakin sedikit keadilan." Dalam konteks Indonesia, fenomena ini dapat kita saksikan dengan gamblang. Sistem hukum yang diharapkan menjadi penjaga keadilan, sering kali justru menjadi penghalang utama dalam mewujudkan cita-cita keadilan itu sendiri.

Birokrasi dan Tumpang Tindih Aturan , Filsuf Michel Foucault mengajukan teori tentang "biopolitik," di mana kekuasaan negara mengatur setiap aspek kehidupan masyarakat. Dalam konteks ini, aturan yang semakin banyak dapat diartikan sebagai bentuk kontrol yang semakin kuat dari negara atas individu. Namun, kontrol yang berlebihan ini sering kali mengakibatkan kebingungan dan ketidakpastian hukum, yang justru merugikan masyarakat.  

Di Indonesia, tumpang tindih aturan merupakan masalah yang sangat nyata. Banyaknya regulasi dari berbagai tingkatan pemerintahan---dari pusat hingga daerah---sering kali bertentangan satu sama lain. Akibatnya, bukan hanya masyarakat umum yang kesulitan memahami dan mematuhi aturan-aturan tersebut, tetapi juga aparat penegak hukum yang bingung dalam menegakkannya. Hukum dan Ketidakadilan Struktural John Rawls, dalam teorinya tentang keadilan, mengajukan konsep "veil of ignorance" (tirai ketidaktahuan) di mana prinsip-prinsip keadilan harus dirumuskan tanpa memandang status sosial dan ekonomi seseorang. 

Namun, di Indonesia, aturan-aturan yang ada sering kali justru mempertegas ketidakadilan struktural. Kebijakan yang dibuat oleh mereka yang berada di puncak kekuasaan cenderung menguntungkan kelompok elit dan merugikan kelompok marjinal. Sebagai contoh, peraturan perizinan usaha yang berbelit-belit dan mahal lebih mudah dilalui oleh pengusaha besar yang memiliki akses dan sumber daya, sementara pengusaha kecil sering kali terjebak dalam labirin birokrasi. 

Akibatnya, ketimpangan ekonomi semakin menganga, dan peluang untuk meningkatkan kesejahteraan menjadi sangat terbatas bagi mereka yang berada di lapisan bawah.  Hukum sebagai Alat Kekuasaan Karl Marx melihat hukum sebagai alat kelas yang berkuasa untuk mempertahankan dominasi mereka atas kelas pekerja. Di Indonesia, kita sering menyaksikan bagaimana hukum digunakan oleh mereka yang memiliki kekuasaan untuk melindungi kepentingan mereka sendiri. 

Kasus-kasus korupsi besar yang melibatkan pejabat tinggi sering kali berujung pada hukuman ringan atau bahkan bebas dari hukuman, sementara rakyat kecil yang melakukan pelanggaran ringan menghadapi hukuman yang berat. Fenomena ini memperlihatkan bagaimana aturan-aturan hukum tidak diterapkan secara adil dan merata. Ketidakadilan ini menciptakan ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem hukum dan pemerintahan, yang pada akhirnya menggerogoti legitimasi kekuasaan itu sendiri. 

Reformasi Hukum yang Berkeadilan, Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan reformasi hukum yang berfokus pada prinsip keadilan substantif, bukan sekadar keadilan prosedural. Filsuf hukum Lon L. Fuller menyatakan bahwa hukum yang baik harus dapat dipahami, diterapkan secara konsisten, dan tidak boleh bertentangan satu sama lain. Dengan kata lain, aturan-aturan hukum harus dirancang sedemikian rupa agar dapat dengan mudah dipahami dan diikuti oleh masyarakat. 

Selain itu, reformasi hukum harus memperhatikan suara-suara dari kelompok marjinal dan memastikan bahwa kepentingan mereka diakomodasi. Proses pembuatan aturan harus transparan dan partisipatif, sehingga setiap warga negara merasa memiliki andil dalam pembentukan hukum yang mengatur kehidupan mereka. Penutup , Paradoks "semakin banyak aturan, semakin sedikit keadilan" harus menjadi refleksi bagi kita semua dalam melihat sistem hukum di Indonesia. 

Aturan yang berlebihan dan tumpang tindih hanya akan memperburuk ketidakadilan struktural dan memperkuat dominasi kelas berkuasa. Oleh karena itu, reformasi hukum yang berkeadilan, transparan, dan partisipatif menjadi jalan yang harus ditempuh untuk mewujudkan keadilan sejati di negeri ini. Dalam menghadapi tantangan ini, mari kita berpegang pada prinsip-prinsip filsafat dan politik yang mengutamakan keadilan substantif bagi semua lapisan masyarakat, sehingga hukum benar-benar menjadi instrumen untuk mencapai keadilan dan bukan alat penindasan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun