Saat menikmati masa-masa indah menjadi jurnalis ekonomi, ada satu kata yang menjadi mantra dan selalu diulang-ulang di newsroom, ataupun setiap pesan daring buat reporter dalam setiap peliputan yakni "akurasi".Â
Kata ini [baca: akurasi], bukan sekedar penghias. Dia adalah mantra sekaligus roh yang mendorong seorang jurnalis menghidupkan tulisan agar berimbang dan benar sesuai kaidah jurnalistik dan tata Bahasa Indonesia yang baik serta benar.Â
Akurasi memberikan kesan ketepatan dalam penulisan dan keberimbangan dalam informasi. Singkat cerita, akurasi adalah hal yang patut dimiliki seorang jurnalis, bahkan seorang tokoh politik  ataupun pemimpin sekelas Presiden sekalipun.
Entah mengapa, di sepanjang waktu yang hampir disebut panjang dalam sebuah ukuran masa kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi) hingga 7 tahun, akurasi yang begitu penting dalam sebuah komunikasi selalu diabaikan. Akibatnya, banyak kecolongan yang muncul dari Presiden dalam setiap pernyataannya.Â
Ada kesan kuat yang kemudian muncul dan terus menjadi pertanyaan banyak orang, bagaimana dengan sikap akuratif dalam tugas tim komunikasi Jokowi? Atas dasar itu, saya membangun tiga pertanyaan yang patut kita uji selanjutnya.
Pertama, apakah sejauh ini tim komunikasi Jokowi bukanlah orang profesional dalam bidang komunikasi? Kedua, jika "ya" mengapa Jokowi begitu berani menyimpan tokoh-tokoh tersebut di sekitarnya? Apakah karena bentuk balas jasa menjadi pendukung saat pilpres? Ketiga, jika tim komunikasi Pak Jokowi adalah orang yang bukan kompeten dalam bidang komunikasi dan notabene adalah tim pendukung saat Pilpres, mengapa begitu berani mengambil langkah tersebut? Padahal komunikasi adalah hal paling penting sebagai jembatan pesan seorang pemimpin kepada rakyatnya?
Akurasi Adalah Kunci
Akurasi dalam sebuah komunikasi lisan maupun tulisan terdiri dari ketepatan penyampaian informasi atau tulisan, ketelitian dalam pesan yang disampaikan, termasuk proses check and balancing sebelum pesan disampaikan baik dalam bentuk tulisan maupun informasi langsung.
Sudah hampir tujuh tahun berjalan Pemerintah Jokowi. Dari ragam masalah yang terus diributkan di ranah publik ada satu hal yang selalu berulang dan terus berulang, yakni komunikasi publik, baik itu dari tim komunikasi/juru bicara istana hingga kesalahan ucapan Presiden yang ujungnya membuat gaduh publik.
Satu hal yang perlu diketahui bahwa sikap kritis masyarakat terhadap kekacauan komunikasi tersebut bukanlah sebuah sikap kebencian terhadap tim komunikasi istana, tapi lebih dari itu adalah sikap dan tanggung jawab masyarakat atas proses keberlangsungan pemerintahan.Â
Berangkat dari kesadaran itu, perlu ada evaluasi yang menyeluruh tentang hal krusial ini. Tidak ada salahnya dan sah-sah saja Joko Widodo mengangkat tim komunikasi yang merupakan pendukung fanatiknya di Pilpres, tapi persoalannya bukan di situ. Diskursus ini menjadi sangat urgen, ada ketika orang yang dipilih menjadi tim komunikasi tersebut tidak menunjukkan kompetensi sebagai seorang tim komunikasi yang handal.