Mohon tunggu...
Emanuel Hayon
Emanuel Hayon Mohon Tunggu... Editor - •Menulis adalah tanda berpikir

Kritis adalah cara kreatif untuk melatih keseimbangan otak kiri dan kanan•

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Setelah RUU Cipta Kerja Disahkan

5 Oktober 2020   23:48 Diperbarui: 5 Oktober 2020   23:58 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak awal, RUU Cipta Kerja memang sudah bermasalah. Tak sekedar menjadi pergunjingan
Satu pihak--tapi melampaui semua elemen. Ini bukan soal masalah perut saja tapi soal tanah, air, dan bumi tempat kita berpijak yang diwariskan turun temurun oleh leluhur kita. Bisa jadi karena dia bersinggungan dengan banyak aspek, maka tak salah jika RUU Cipta Kerja ini benar-benar "celaka" kata sahabat aktivis.

Dengan sebutan mentereng "Omnibus Law", RUU ini dikebut dengan sangat cepat tanpa ada diskusi menyeluruh, baik dengan elemen seperti buruh dan elemen lainnya. Akibatnya, ada selentingan muncul dalam setiap percakapan ketika rancangan undang-undang ini disebutkan, satu kata "ada udang dibalik batu". 

Partai pendukung penguasa macam PDIP, Golkar, Nasdem, PKB, PPP dan lain sebagainya pun tidak serta menjadi sangat kritis atas RUU Omnibus Law. Ada kesan dipaksakan untuk dipercepat.

Barangkali, akibat ketergesaan dan terburu-buru tanpa ada diskusi yang baik antar-elemen membuat Partai Demokrat meragukan rancangan undang-undang ini. Memang, buat Partai Demokrat itu rasional karena bukan ketergesaan yang mendesak diantara pekerjaan rumah berat menangani COVID-19 yang semakin hari menanjak dan tak pernah turun.

Sikap Agus Harimurti Yudhoyono, Ketua Umum Partai Demokrat jelas menolak untuk dibahas karena bukan urgensi. Puncaknya hari ini, Partai Demokrat melakukan walkout dari ruang sidang DPR RI.

Saya kira, tindakan Partai Demokrat tepat. Menjaga amanah rakyat tapi sekaligus bertanggungjawab atas kepercayaan yang diberikan rakyat. Meski jumlah suara tidak signifikan tapi masih tetap rasional bersama Partai Keadilan Sejahtera menolak pengesahaan RUU Omnibus Law.

Terlepas dari perdebatan sengit yang menghiasi jagat Maya hingga jalanan yang diwarnai dengan buruh, ada hal penting yang lebih urgen bagi penulis untuk diberi catatan. Hal itu adalah apa efek usai RUU Omnibus Law ini dibentuk.

Penulis tidak mau melihat tentang efek yang sudah disebutkan banyak pengamat terkait ketenagakerjaan dan lingkungan tetapi lebih pada bagaimana pemerintah menyikapi gunjang- ganjing yang hingga malam ini tak menemui titik temu.

Setidaknya ada tiga hal penting usai RUU Omnibus Law ini dibentuk dalam pekan demi pekan ke depan yang harus disikapi pemerintah dengan serius.

Pertama, tingginya mayoritas kelompok masyarakat yang menolak RUU Omnibus Law seakan membentuk satu kesatuan perasaan tentang ketidakadilan atas kelompoknya. Bertemunya banyak kelompok dalam satu semangat seperti ini harusnya dilihat pemerintah secara serius karena akan membawa dampak besar terhadap stabilitas bangsa dan negara. Demonstrasi bisa menjadi kekuatan akhir dari rasa sepenanggungan dan senasib.

Kedua, adanya sikap pemerintah yang tidak membaca gejolak atas peristiwa ini memungkinkan konsentrasi penanganan COVID-19 akan terpecah. Antara, ingin meredam pandemik atau meredam konflik akibat ketidakadilan yang ditimbulkan oleh Pemerintah sendiri.

Ketiga, stabilitas yang timbul atas ketidakpuasan kelompok masyarakat yang tak menerima rancangan undang-undang yang ditetapkan bisa memperburuk stabilitas ekonomi dan industri akibat gerakan para buruh yang bersolidaritas turun ke jalanan. 

Ketiga hal mendasar ini yang kadang tidak diamati dengan saksama oleh Pemerintah pascarancangan undang-undang ini disahkan.

Penulis menilai akumulasi rasa ketidakadilan yang timbul seperti ini akan membuat lebih lama gerakan melawan rancangan undang-undang yang disahkan. Banyak pekerjaan rumah bakalan menjadi pusat perhatian pemerintah. Sementara itu, pemerintah sejauh ini tidak terlalu baik dalam menangani pandemik COVID-19. 

Semangat menjaga stabilitas keamanan negara tidak menjadi bagian penting dari pertimbangan ketika mensyahkan rancangan undang-undang ini. Pemerintah seakan bisa menyelesaikan efek buruk dari hal ini, tanpa melihat riak yang mulai muncul di berbagai daerah. Apalagi, ini berhubungan dengan jantung perekonomian yakni industri.

Penulis berharap, melihat gejolak yang bakalan timbul berkepanjangan atas hal ini sudah seharusnya pemerintah meredamnya dengan bersikap lebih bijaksana. Kita berharap jangan karena peristiwa ini bisa membuat fokus penanganan covid-19 terganggu.

Presiden sebaiknya lebih jeli melihat akibat dan efek dari peristiwa ini. Sebaiknya ada langkah hukum atau apapun yang dilakukan Eksekutif untuk tidak serta merta menyetujui RUU Omnibus Law. Bagi penulis, jika hal ini diteruskan, barangkali Pemerintah juga mengamini ini sebagai usaha kong-kalikong dalam membuka karpet merah bagi kepentingan pengusaha di tengah kesulitan masyarakat Indonesia.

*)Penulis adalah Wabendum DPN Bintang Muda Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun