Mohon tunggu...
Emanuel Hayon
Emanuel Hayon Mohon Tunggu... Editor - •Menulis adalah tanda berpikir

Kritis adalah cara kreatif untuk melatih keseimbangan otak kiri dan kanan•

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik Dinasti Jokowi

18 Juli 2020   14:41 Diperbarui: 21 Juli 2020   08:06 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Alkisah, pada sebuah coretan dinding twitter, Rizal Ramli menulis sepotong kalimat yang menohok. Seperti ini tulisannya, "Wah Pak Jokowi offset. Keterlaluan, demi anak dan mantu  ndak nyangka kirain budaya Solo itu santun, tau diri, pertimbangkan rasa dan etika. Lho kok ini anomali, vulgar ?"

Tak sekedar seorang Rizal Ramli yang menulis atau bersuara. Banyak tokoh yang masih rasional menjaga marwah demokrasi bersuara tentang hal ini. Terkecuali, beberapa pengamat dan kelompok pendengung "buzzer rupiah" yang dulu saking vulgar menyerang AHY di Pilkada DKI  [soal dinasti politik], tapi sekarang diam bak kena stroke berat ketika dua dinasti Jokowi masuk dalam arena Pilkada.

Hari-hari yang penuh dengan cobaan demokrasi ini membawa kita pada pemikiran dan pertanyaan reflektif. Sehatkah demokrasi kita ? Dahulu, aparat ikut terlibat, lalu kini anak dan mantu Presiden ikut dalam kontestasi.

Sebenarnya itu wajar dan sah-sah saja. Tapi dalam pandangan etika demokrasi, itu tidak baik. Bahkan, cenderung salah. Bagi penulis, tidak sehatnya cara berdemokrasi seperti ini bisa saja memungkinkan Pak Jokowi bisa mengintervensi kemenangan kepada anak dan mantunya.

Lebih dari sekedar etika demokrasi, hal lain yang tak pantas dipertontonkan adalah sikap dan cara melibatkan diskusi pengambilan keputusan tentang ini di Istana Negara. 

Tak salah, kritikan itu berseliweran di timeline media sosial dan diskusi publik di warung kopi. Bahkan, media asing pun menulis dengan judul 'Mayoral bids by Jokowi's son and son-in-law spark 'political dynasty' debate" yang dimuat di media terkemuka Singapura The Straits Times.

Melihat ini, saya berpendapat, setiap Presiden yang mau mengakhiri jabatannya akan meninggalkan legasi yang baik bagi penerusnya. Demikian juga dengan seorang Pak Jokowi. Kalau memang hukum yang carut marut di era Pak Jokowi dan ekonomi yang hampir tergulung resesi-bisa tertolong dengan demokrasi yang baik dan sehat. Tentu baik. Ternyata salah cara pandang saya. Pak Jokowi dengan tahu dan mau membangun dinasti politik dalam demokrasi yang sudah mulai tumbuh baik pascareformasi.

Lalu mengapa ini mesti diperdebatkan?

Pertama, ini salah dan sangat krusial dalam demokrasi kita. Kalau hal biasa, mengapa media asing turut menyorot hal ini ? Semua pasti tahu, bagaimana negara ini susah payah membangun demokrasi yang luluh lantah setelah reformasi mahasiswa. 

Kita semua juga pasti sadar bahwa perjuangan demokrasi yang sesungguhnya muncul dari pengkaderan partai. Bukan loncatan karena kepentingan sementara. Jadi ini adalah hal yang wajib dikritik. Ini harus dikritik.

Kedua, secara tidak langsung Pak Jokowi sedang membangun dinasti politik. Benar demikian. Pergumulan ini memang terjadi sejak setahun yang lalu. Dan akhirnya benar terjadi. Kritikan masyarakat tak diindahkan. Tragisnya, lobi politik dijalankan Pak Jokowi di Istana. Tempat yang seharusnya netral dari pembahasan hal ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun