Sembilan jam yang lalu, cuitan Achsanul Qosasi menjadi trending topik. Cuitan anggota BPK ini pun hingga saat ini di-retweet sebanyak 500 kali. Substansinya jelas, mempertanyakan kalung anti virus COVID-19 yang segera diproduksi oleh Kementerian Pertanian.
Dengan sikap ilmiahnya, Achsanul kemudian melempar satu pertanyaan yang menukik dan lucu jika dipandang dari sudut rasional. Ini kalung anti-virus atau jimat?
Memang terdengar lucu dan di luar nalar ilmiah. Hanya saja, Achsanul sebenarnya kritis dan tegas mengkritik rencana Pemerintah melalui Kementerian Pertanian yang segera  memproduksi masalah kalung anti virus COVID-19.Â
Bagi Achsanul, ini aneh karena dengan demikian Pemerintah sedang mengabaikan perusahaan farmasi plat merah yang paling disegani di Asia Pasifik, Biofarma. Singkatnya, mengapa harus Kementerian Pertanian padahal bangsa ini punya Biofarma ?
Memang sikap kritis Achsanul ini benar-benar rasional. Selain mengabaikan Biofarma yang sudah terkenal dengan hasil farmasi yang berkualitas, di sisi lain tidak adanya  riset bersama antar-kementerian dan perusahaan farmasi BUMN.
Ego SektoralÂ
Bagi penulis, cuitan Achsanul memang membuka banyak takbir dalam lingkaran kerja sama lintas sektoral Pemerintah. Hari-hari yang panjang di tengah pandemik COVID-19, menjadi simbol bagi kita mengukur kerja sama sektoral.
Kehadiran kalung anti-virus yang ditemukan oleh
Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertanian (Balitbangtan) memang dianggap bagus dan baik, tapi efek menjalankan penelitian tanpa mengabaikan sektor lain seperti kedokteran, bahkan biofarma sekaligus menunjukkan ego sektoral masih menjadi momok yang paling besar dalam mengembangkan riset dan penelitian.
Sebelum hal ini muncul, sebelumnya Lembaga Penelitian Eijkman juga mengeluhkan hal yang sama. Ego sektoral membuat banyak peneliti tidak bisa sinkron dengan sesama lembaga di dalam pemerintahan.
Penulis menilai, ego sektoral ini sangatlah penting. Lalu mengapa penting ?
Pertama, menanggalkan sikap ego sektoral antar-instansi plat merah bisa mendorong kualitas dan hasil yang maksimal. Sejak rilis dari Kementerian Pertanian yang dikeluarkan terkait kalung anti-virus ini menjadi bahan candaan.Â
Beberapa dokter dan peneliti lainnya yang berdialog dengan penulis menganggap ini hanya sebagai sebuah seremonial yang tidak berdampak pada kesembuhan pasien. Penulis bahkan bertanya dalam hati, sejak kapan tes dilakukan pada manusia sehingga Kementan mengklaim kalung tersebut bisa menghilangkan virus, diantaranya COVID-19 ?
Penulis lantas bertanya, apakah tidak lebih baik semua lini farmasi atau kesehatan bekerjasama agar outputnya maksimal ?Â
Kedua, lemahnya manajerial dalam pemerintahan. Ini memang isu yang selalu muncul sejak awal COVID-19 menyerang Indonesia. Ada kesan bagi penulis, Pemerintah membiarkan manajerial yang tidak terkontrol.
Jika sifat maanjerial yang parsial dan tidak menyeluruh dan bersamaan, bisa saja Pemerintah membiarkan semua pihak mengambil momen ini sebagai panggung untuk menunjukkan  kehebatannya. Padahal, urusan COVID-19 itu tidak main-main dan perlu diseriusi.
Penulis berharap, ke depan Pemerintah lebih tegas dan kolektif dalam menjalankan fungsinya. Apalagi pandemik ini adalah musuh bersama. Merangkul semua lini dan mengajak berkolaborasi adalah hal Ikhwal yang harus diutamakan. Jika tidak, setiap hasil penelitian yang dimunculkan akan menjadi bahan bulanan.
Pemerintah harus lebih maksimalkan Biofarma, Lembaga Biologi Molekular Eijkman, para dokter, hingga Kementerian terkait. Kalau semua bersatu, kita pasti menjadi kekuatan industri farmasi baru yang diperhitungkan di Asia Pasifik dan mungkin juga di dunia.
*Penulis adalah Kader Bintang Muda Indonesia, NTT.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H