Mohon tunggu...
Emanuel Dapa Loka
Emanuel Dapa Loka Mohon Tunggu... Freelancer - ingin hidup seribu tahun lagi

Suka menulis dan membaca... Suami dari Suryani Gultom dan ayah dari Theresia Loise Angelica Dapa Loka. Bisa dikontak di dapaloka6@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ketika Redaksi Media “Menyadera” Penulis …

18 Juni 2012   08:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:50 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1340007725952466262

[caption id="attachment_183321" align="aligncenter" width="406" caption="Sumber ilustrasi: google"][/caption] Karena ketersandraan ini, tulisan tersebut out of date dan tidak menjadi apa-apa…..

Kepuasan terbesar dari seorang penulis (artikel) adalah ketika ada tulisannya yang berhasil menembus salah satu rubrik media massa (baik harian, mingguan atau bulanan). Apalagi kalau media yang ditembus itu adalah media terkenal, banyak pembacannya, menjadi rujukan, terpercaya dan sulit ditembus meski oleh penulis bertitel doktor atau profesor.

Kepuasan itu rasanya lebih penting dibanding honor yang muncul kemudian. Konon (sebagai konon, belum tentu benar), Emha Ainun Nadjib, saking senangnya ketika tulisannya (mungkin puisi) dimuat di sebuah media asuhan Umbu Landu Paranggi di Jogja, dia sampai berlari-lari di siang bolong.

Kegembiraan semacam ini yang pernah melanda saya ketika pertama kali tulisan saya berhasil nongol di media, meski saya tidak seekspresif Emha. Kegembiraan sepertinya memenuhi seluruh aliran darah saya. Tulisan yang telah mengalami sedikit editing dan reformulasi redaksi itu saya baca berulang-ulang. Ada perasaan bangga membuncah.

Saya rasakan (sampai sekarang) untuk menghasilkan sebuah artikel diperlukan energi tersendiri, waktu dan lain-lain. Seringkali harus tulis ulang, membongkar dan seterusnya. Tidak ada tulisan yang sekali jadi. Kadang sambil mengayuh sepeda pun, pikiran ada pada tulisan yang sedang dibuat.

Sayangnya, kemudian penghargaan dari redaktur sangat kurang. Yang saya maksud adalah, banyak redaktur (media) tidak “mengapresiasi" kerja keras tersebut meski hanya dengan memberi kabar bahwa tulisan sudah diterima lalu bisa dimuat atau tidak.

Dari pengalaman saya, hanya KOMPAS yang memberi kabar dengan berbagai catatan seperti“Kami kesulitan tempat untuk memuat tulisan Anda”. Beberapa media lain, meski ditanya melalui e-mail, mereka cuek bebek saja.

Kalau ada pemberitahuan kepada penulis bahwa tulisannya tidak bisa dimuat, penulis yang bersangkutan bisa mengirimkan tulisannya itu ke media lain, tentu dengan melakukan penyesuaian di sana-sini. Dengan tidak adanya pemberitahuan, penulis seperti tersandra. Mau tanya, ada perasaan enggan. Mau langsung kirim ke media lain setelah beberapa hari tidak dimuat, takut terjadi dobel muat (yang bisa berakibat fatak bagi penulis, misalnya diblacklist). Karena ketersandraan ini, tulisan tersebut out of date dan tidak menjadi apa-apa…..

Saya masih belum menemukan jawaban atas pertanyaan “Mengapa redaktur atau redaksi tidak memberi kabar kepada penulis?” Padahal sangat mudah, tinggal me-reply surat pengantar penulis saat dia mengirim tulisan. Dulu, KOMPAS saat masih zaman kirim surat via pos saja, sudah membalas setiap surat penulis.

TAPI mau bilang apa, media-media yang tidak memberi info itu memiliki pilihan dan alasan tersendiri. TAPI, sekali lagi TAPI, alangkah indahnya kalau mereka memberi kabar meski hanya dengan sebuah SMS, toh dalam surat pengantar tulisan, penulis menyertakan nomer kontak seperti no HP, PIN BB, dan lain-lain…..

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun