Mohon tunggu...
Emanuel Dapa Loka
Emanuel Dapa Loka Mohon Tunggu... Freelancer - ingin hidup seribu tahun lagi

Suka menulis dan membaca... Suami dari Suryani Gultom dan ayah dari Theresia Loise Angelica Dapa Loka. Bisa dikontak di dapaloka6@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menembus Cadas Puluhan Meter Demi Air

3 Maret 2015   02:48 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:15 1380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_353594" align="aligncenter" width="368" caption="Menembus cadas....."][/caption]

Dulu, untuk mendapatkan air bersih pada musim kemarau, masyarakat Desa Wunga harus berjalan 4-5 kilo meter dengan naik dan turun bukit di bawah matahari yang sangat terik. Tidak hanya itu. Mereka juga harus turun ke dasar jurang dengan kedalaman lebih dari 100 meter untuk menjangkau mata air. Wuih…!!!

Jam baru menunjukkan pukul 8 waktu Indonesia tengah (WITA) di pengujung kemarau lalu. Namun sengatan sang mentari seperti sudah menggigit kulit. “Sebentar lagi sinarnya menikam ubun-ubun karena bisa sampai 40 derajat Celcius,” kata Matius Turajanji, ketua kelompok tani organik di Desa Wunga, Kecamatan Haharu, 70 km ke arah utara Kota Waingapu, Ibu kota Kabupaten Sumba Timur, NTT.

Sambil menyiangi sayuran dan mencabut rumput yang tumbuh mengimpit sayurannya, pria berusia tiga puluh satu tahun itu berkisah tentang kesulitan air yang dia dan warga desa lainnya alami setahun yang lalu dan tahun-tahun sebelumnya. “Dulu, kami benar-benar menderita karena tak ada air. Kalaupun ada sedikit air dari mata air, kami harus irit betul. Jangan harap kami bisa tanam sayur seperti ini,” ujarnya sambil membungkuk mencabut bunga rumput.

Tapi sejak setahun yang lalu, situasi berubah. Sebuah sumur sedalam 26 meter hadir dan mencukupi kebutuhan air Matius dan 100 kepala keluarga lainnya di desa ini. Inilah “kemarau baru” mereka. Sebelumnya, pada musim kemarau, mereka harus berjalan kaki 4-5 kilo meter, lalu turun ke dasar jurang sedalam lebih dari 100 meter untuk mencapai mata air yang mereka sebut lendi.

Ibu-ibu dan anak-anak biasanya pergi ke mata air untuk mandi, mencuci pakaian dan mengambil air bersih. Setelah selesai mandi dan mencuci, mereka kembali memanjat tebing terjal dengan kemiringan 90 derajat sambil menjunjung ember atau jerigen berisi air sekitar 15 liter. Sementara itu, tangan yang satu menjinjing cucian, dan tangan yang lain berpegangan pada tangga bambu atau akar pohon agar dapat merambat naik.

Ketersediaan air sumur tersebut berkat kepedulian Heinrich Dengi, Iskandar Saher yang dibantu oleh World Renew dan LSM Pusat Pengembangan Pelayanan Holistik (P3H) di Salatiga. “Puji Tuhan! Tuhan mengirimi kami air melalui saudara kami Pak Heinrich,  Pak Iskandar dan kawan-kawan,” ucap Konga Naha Tahang, seorang perempuan anggota kelompok tanam sayur penuh syukur.

[caption id="attachment_353595" align="aligncenter" width="491" caption="para"]

1425299983316699674
1425299983316699674
[/caption]

Sangat beralasan Rambu dan masyarakat setempat bersyukur tiada henti. Perjuangan menggali sumur tersebut sama sekali bukan perjuangan yang ringan. Mereka membutuhkan waktu berbulan-bulan, bahkan satu tahun untuk berhasil menggali menembus cadas yang sangat keras menggunakan peralatan sederhana seperti linggis, betel dan martil. “Benar-benar keras dan menguji kesabaran,” ucap Hina Hunggu Mbani (39), masyarakat setempat.

Angker dan Terkutuk

Selain tantangan pada kerasnya batu karang, tantangan lain adalah perasaan harap-harap cemas akan adanya sumber air. Masyarakat setempat malah cenderung tidak percaya bahwa akan dapat air. Begitu tidak percaya, ada yang mengatakan, “Jika akhirnya para penggali sumur dapat air di Wunga, berarti dunia sudah mau terbalik”. Mereka lebih percaya bahwa tanah mereka memang angker dan terkena kutukan.

[caption id="attachment_353596" align="aligncenter" width="491" caption="Heinrich dan Iskandar"]

1425300126607558577
1425300126607558577
[/caption]

Agak “beralasan” ketidakpercayaan masyarakat tersebut. Sebelum keberhasilan penggalian sumur tersebut, beberapa kali LSM dan Pemerintah menggali sumur menggunakan mesin bor hingga kedalaman 85 meter, malah lebih. Berkali-kali mata bor patah, air pun tak kunjung muncul, akhirnya penggalian dihentikan. Atas pengalaman itu, masyarakat skeptis. Dan rupanya, karena perasaan harap-harap cemas itu juga, ketika menggali sumur tersebut, Heinrich dan Iskandar Saher tidak berani melibatkan banyak orang. Mereka juga memilih menggali secara manual. Ketika akhirnya berhasil mendapatkan air, Heinrich bersujud syukur. “Kami hanya alat sangat kecil di tangan Tuhan Pengasih. Tanpa campur tangan Tuhan, sangat tidak mungkin kami dapat air,” ungkap Heinrich penuh takzim.

Sejak kehadiran sumur tersebut, masyarakat sudah sering panen sayur. Orang-orang Pemda, termasuk Bupati ikut membeli sayur mereka. Sebelum sumur ini ada, adalah mustahil mereka bisa memiliki tanaman sayur dan ternak di musim kemarau. Anak-anak sekolah pun selalu tidak segar saat ke sekolah karena tidak mandi. Kalaupun sempat mandi, mereka harus bangun pagi-pagi sekali untuk ke mata air dengan perjuangan yang berat.

Sebenarnya, di kantor kecamatan tersedia mobil tangki pengangkut air, tetapi masyarakat harus membayar biaya operasioanal Rp150.000,- untuk 1 tangki air. Dengan biaya sebesar itu, hanya masyarakat tertentu yang bisa  menggunakan jasa mobil tengki tersebut. Jika pun mereka bisa mengeluarkan uang dengan nominal tersebut, mereka tidak mampu membuat bak penampung air yang menyedot biaya yang jauh lebih besar.

Ada Titik Baru

Dalam penggalian sumur tersebut Heinrich tidak melibatkan banyak orang kecuali pemilik tanah tempat sumur dan keluarga dekatnya. Meski begitu, mereka sudah sepakat bahwa jika ditemukan sumber air, semua orang di desa itu boleh mengambilnya. Untuk menarik air tersebut, masyarakat menggunakan listrik tenaga matahari. Untuk diketahui, sebuah sumur menyedot dana sebesar 40-50 juta rupiah.

[caption id="attachment_353597" align="aligncenter" width="491" caption="Hasil konkret dari air sumur..... foto: EDL"]

1425300332279113704
1425300332279113704
[/caption]

Hingga kini Heinrich dan kawan-kawan telah membantu menggali delapan buah sumur di desa Napu, Wunga, Kalamba, Mbatapuhu, Pabotanjara dengan kedalaman yang bervariasi antara 26-46 meter. Seluruhnya dengan menembus cadas. Untuk penggalian sumur tersebut, masyarakat setempat tidak hanya berdiam diri. Mereka secara suka rela menyumbang tenaga dan makan minum seadanya untuk tukang gali.

Atas keberhasilan tersebut, Heinrich ingin masyarakat di desa lain menggali sumur juga. “Kami sudah membuktikan bisa mendapatkan air dengan cara manual. Kami bermimpi  masyarakat nanti bisa menggali sendiri sumur-sumur lainnya sebab kami menemukan beberapa titik lagi yang bisa digali. Kami sengaja menggali sumur ini secara manual untuk menunjukkan kepada penduduk bahwa mereka pun bisa menggalinya sendiri, tanpa memerlukan teknologi canggih,” jelas Heinrich, anak muda pemilik Radio Max FM di Kota Waingapu ini.

Setelah kehadiran sumur tersebut, selain bisa menanam sayur dan memelihara ternak, masyarakat sudah bisa memiliki WC. Urusan mandi, cuci dan kakus teratasi. “Sebelum itu, hanya seorang  kepala SD yang punya WC karena dia bisa beli air tanki. Sekarang sudah bertambah satu WC sederhana di rumah Matius Turajanji, sang ketua kelompok tani organik,” jelas Heinrich.

Sekadar informasi, dalam cerita masyarakat Sumba, Desa Wunga di Tanjung Sasar dikenal sebagai tempat untuk pertama kalinya nenek moyang orang Sumba mendarat setelah menempuh perjalanan dari Malaka Tana Bara atau dari Semenanjung Malaka. Wunga sendiri berarti awal atau terdahulu. “Dalam pembicaran adat, sering disebutkan bahwa Wunga merupakan kampung pertama orang Sumba sebelum menyebar ke berbagai wilayah di Pulau Sumba,” jelas Celestino Reda, seorang anak muda Sumba, peminat sejarah.*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun