Di dalam blog Agun Gunandjar Sudarsa, anggota DPR RI dari Partai Golkar, saya menemukan sebuah bacaan yang menarik mengenai modus penipuan yang biasa dilakukan oleh Mafia Tanah. Di tulisan yang tadi malam saya baca itu tertulis demikian:
Menurut pengacara Elsa Syarif berdasarkan pengalamannya saat menangani kasus sengketa tanah, ada beberapa modus penipuan tanah yang kerap kali terjadi di Indonesia.
Modus Pertama adalah gugatan rekayasa. Modus ini sering dilakukan oleh dua orang yang ingin merebut tanah pihak ketiga. Satu orang membuat surat girik terhadap tanah tersebut dan orang kedua membuat sertifikat. "Lalu keduanya saling menggugat tanah yang dimiliki orang lain tersebut," jelasnya. Setelah itu, pengadilan akan memutuskan gugatan yang menggugat atas tergugat. "Setelah diputuskan, pihak ketiga pemilik tanah itu bisa terheran-heran, karena pengadilan telah memutuskan tanah miliknya menjadi milik orang lain secara sah melalui pengadilan," katanya.
Modus kedua, tuntutan tak berakhir. Dalam modus ini ada pihak yang melayangkan tuntutan kepada pemilik tanah ke pengadilan. "Karena sistem pengadilan kita membolehkan itu, maka keduanya saling menuntut di pengadilan hingga tidak pernah berakhir," jelasnya.
Modus ketiga adalah melegalkan 'uang damai'. Cara ini kata dia sering menimpa pemilik tanah yang kaya, yang ditempati orang lain. Lalu para preman mendatangi pemilik tanah dan meminta uang damai agar persoalannya tidak diteruskan. "Kadang-kadang pemilik tanah itu sampai bangkrut," katanya.
Modus keempat adalah perubahan batas-batas tanah. Menurut Elsa, modus keempat ini seringkali tidak dapat diselesaikan di pengadilan karena lurah atau camatnya mangkir dari pengadilan. Seringkali, pemilik tanah harus membayar biaya akomodasi lurah atau camat tersebut agar mau bersaksi mengenai batas-batas sebenarnya kepemilikan tanah tersebut.
Modus Kelima: Kasus Sengketa Tanah di Teluk Jambe Karawang
Mengacu pada pernyataan Elsa di atas, boleh jadi yang terjadi pada kasus sengketa tanah di Teluk Jambe adalah mirip-mirip dengan modus yang kedua, yaitu tuntutan tak berakhir. Jika dihitung sejak gugatan pertama terhadap PT Sumber Air Mas Pratama (PT. SAMP) di tahun 2003, berarti hingga sekarang sengketa ini sudah berlangsung lebih dari 10 tahun.
Belum tuntas keputusan hukum atas gugatan pertama, tahun 2007 muncul lagi gugatan yang kedua. Jika dihitung dengan gugatan terakhir di tahun 2014, berarti sudah tiga kali PT. SAMP digugat oleh pihak yang menjadi lawannya.
Jika mengacu pada keputusan Peninjauan Kembali (PK) No.160 PK/PDT/2011 status tanah yang disengketakan di Teluk Jambe telah sah dimiliki oleh PT. SAMP. Namun, karena ulah pihak tertentu yang berlkali-kali melakukan pengerahan massa dan upaya-upaya intimidasi, perintah eksekusi baru bisa dikeluarkan PN Karawang pada 30 Mei 2014.
Saat proses eksekusi, 24 juni 2014, adalah saat-saat kritis yang menegangkan di Karawang. Waktu itu masyarakat dikompori untuk melawan aparat yang mendapat tugas melaksanakan perintah pengadilan. Untungnya, polisi bertindak profesional dalam menangani proses eksekusi yang sebelumnya dikatakan akan berakhir seperti kasus Mesuji di era pra-reformasi dulu. Sebaliknya, proses eksekusi itu berjalan terkendali dan tanpa akhir yang dramatis.