Laut China Selatan (LCS) telah lama menjadi salah satu titik panas dalam geopolitik Asia Tenggara. Konflik di Laut China Selatan melibatkan klaim tumpang tindih antara beberapa negara seperti Tiongkok, Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei, dan Taiwan. Indonesia, meskipun tidak terlibat langsung dalam klaim teritorial di wilayah inti LCS menghadapi ancaman terhadap kedaulatannya di wilayah perairan Natuna Utara.
Laut China Selatan mencakup area seluas sekitar 3,5 juta kilometer persegi. Dikutip dari CNBC Indonesia, Bank Dunia memperkirakan bahwa LCS memiliki cadangan minyak bumi yang diperkirakan mencapai 11 miliar barel serta 190 triliun kaki kubik gas alam. Selain migas, hasil perikanan dari Laut China Selatan juga sangat bernilai.Â
Laut ini, yang hanya mencakup 2,5 persen dari permukaan bumi, memiliki sistem terumbu yang kaya dan lebih dari 3.000 spesies ikan, mencakup sekitar 12 persen dari total tangkapan ikan global. Selain itu, Laut China Selatan merupakan jalur perdagangan penting, dengan sekitar 25% arus pelayaran dunia dan barang bernilai US$ 5,3 triliun melewatinya. (CNBC Indonesia, 17/11/2020). Situasi ini menjadikannya wilayah yang sangat strategis.
Pemicu Sengketa Laut China Selatan
Sengketa LCS dipicu oleh klaim sepihak dari negara-negara kawasan, termasuk China, atas kepemilikan wilayah perairan tersebut. Klaim China bermula pada 1947 dengan produksi peta LCS yang menampilkan 9 garis putus-putus, mencakup Kepulauan Spratly dan Paracel sebagai wilayah teritorialnya. Klaim ini ditegaskan kembali pada 1953 saat Partai Komunis berkuasa, berdasarkan sejarah China kuno dari Dinasti Han hingga Dinasti Qing.
China menggunakan alasan historis dan penemuan-penemuan untuk mempertahankan klaimnya atas LCS, serta melakukan pembangunan fasilitas militer, pulau buatan, dan penempatan kapal perang untuk memperkuat posisinya. Klaim China atas 80-90 persen wilayah LCS berdasarkan sejarah ini memicu ketegangan dengan negara pantai lain yang juga mengklaim wilayah tersebut berdasarkan aturan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).
Vietnam mengklaim Kepulauan Paracel dan Spratly, yang mencakup hampir seluruh wilayah LCS. Filipina mengklaim sebagian wilayah LCS, khususnya Kepulauan Spratly (dikenal sebagai Kepulauan Kalayaan) dan beberapa pulau di sebelah barat Filipina, termasuk Scarborough Shoal. Brunei dan Malaysia mengklaim bagian selatan LCS dan sebagian Kepulauan Spratly. (CNN, 13/05/2022)
Dampak Terhadap Kedaulatan dan Keamanan Maritim Indonesia
Konflik di Laut China Selatan memiliki potensi besar untuk menimbulkan dampak negatif bagi negara-negara di wilayah tersebut, termasuk Indonesia. Sejak China memasukkan wilayah Natuna dalam peta Nine Dash Line, Indonesia otomatis terlibat dalam konflik klaim di LCS. Karena itu, Indonesia memiliki kepentingan dalam konflik ini yaitu mempertahankan hak yurisdiksi atas perairan Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen di Laut Natuna Utara yang bersinggungan dengan klaim Nine Dash Line China (Itasari & Sudika Mangku, 2020; 147-148).
Ada beberapa akibat bagi Indonesia dalam kaitan dengan masalah di LCS. Pertama, masalah sumber daya alam. Indonesia menjadi semakin waspada ketika nelayan asing, termasuk dari China, memasuki Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan melakukan penangkapan ikan ilegal di sana. Aktivitas penangkapan ikan ilegal oleh kapal-kapal asing di perairan Natuna Utara menyebabkan kerugian ekonomi yang signifikan bagi Indonesia.
Beberapa dampak dari penangkapan ikan ilegal antara lain: Penurunan penerimaan negara bukan pajak (PNBP); Hilangnya devisa negara; Berkurangnya peluang nilai tambah dari industri pengolahan dalam negeri; Berkurangnya peluang kerja bagi nelayan lokal; Membuat nelayan lokal kalah bersaing sehingga mengurangi mata pencaharian mereka; Ancaman terhadap kelestarian sumber daya ikan karena hasil tangkapan tidak terdeteksi, baik jenis, ukuran, maupun jumlahnya; dan merusak ekosistem serta sumber daya hayati laut akibat penggunaan alat tangkap dan bahan berbahaya yang tidak ramah lingkungan (Kompas.com, 19/05/2022).
Menurut Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, kerugian dari praktik penangkapan ikan ilegal di Indonesia mencapai 4 miliar USD per tahun. Angka ini bisa saja dua kali lipat lebih besar dibandingkan data resminya. Salah satu daerah yang paling rawan terhadap masalah ini adalah Laut Natuna (EcoStory, 3/07/2020).
Kedua, ancaman keamanan tradisional dan ancaman keamanan non-tradisional. Ancaman keamanan tradisional di Asia Tenggara, khususnya Indonesia, merupakan ancaman lama, karena Asia Tenggara telah menjadi arena persaingan kekuatan besar sejak Perang Dingin. Setelah runtuhnya Uni Soviet, kekuatan AS dan sekutu-sekutunya di kawasan ini kini disaingi oleh Tiongkok. Ancaman ini kembali mencuat dengan pembentukan AUKUS, pakta keamanan antara Australia, Britania Raya, dan AS, yang mencakup pembelian kapal selam nuklir oleh Australia. Selain itu, AS juga menginisiasi Quadrilateral Security Dialogue (QUAD) dengan Jepang, India, dan Australia. Pakta-pakta ini dapat memicu perlombaan senjata dan eskalasi konflik yang mungkin melibatkan Indonesia.
Dari segi keamanan non-tradisional, Indonesia menghadapi ancaman terorisme, perompakan, penangkapan ikan ilegal, dan kejahatan transnasional. Terorisme di perairan Indonesia sering melibatkan penculikan dan penyanderaan oleh kelompok teroris. Perompakan juga menjadi isu signifikan, dengan Indonesia mencatat jumlah kasus perompakan tertinggi di dunia dari 2016 hingga 2021 (Sumadinata, 2022: 723)
Solusi untuk Memperkuat Kedaulatan dan Keamanan Maritim
Konflik di LCS menciptakan ketegangan dan potensi konflik yang dapat berdampak negatif pada wilayah sekitarnya, termasuk Laut Natuna Utara. Karena itu, penting untuk menciptakan situasi yang kondusif di kawasan ini. Sampai saat ini sudah ada beberapa langkah yang diambil salah satunya adalah PBB telah menetapkan UNCLOS 1982 sebagai dasar penyelesaian konflik di LCS. Namun, implementasinya ini dianggap sulit karena melibatkan prinsip kedaulatan negara yang bersengketa. Penyelesaian hukum dari sengketa ini memerlukan komitmen kuat dari semua pihak yang terlibat, terutama China, sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB (Itasari & Sudika Mangku, 2020: 152).
Sejauh ini masalah di LCS belum berakhir. Karena itu, untuk tetap menjaga stabilitas keamanan regional di Wilayah ini, pemerintah ASEAN perlu menjaga hubungan baik antar negara, termasuk dengan negara-negara yang mengklaim wilayah maritim di Laut China Selatan. Penting bagi ASEAN untuk mempercepat penyelesaian Code of Conduct (COC) antara Angkatan Laut ASEAN dan Cina, untuk mencegah eskalasi konflik menjadi perang. Pemerintah negara-negara ASEAN harus terus memantau perkembangan sengketa LCS dan berpartisipasi dalam forum bilateral dan multilateral. Perundingan batas laut perlu diperkuat untuk mempertahankan hak berdaulat di LCS dan penyelesaian masalah harus dilakukan sesuai dengan hukum nasional dan internasional (Itasari & Sudika Mangku, 2020: 153).
Dalam mempertahan wilayah, pemerintah RI merilis peta terbaru pada 14 Juli 2017, mengubah nama Laut Natuna menjadi Laut Natuna Utara (LNU) sebagai respons terhadap ancaman kedaulatan Indonesia di Laut China Selatan. Akan tetapi, China mengirim protes melalui nota diplomatik kepada Kedutaan Besar RI di Beijing pada 25 Agustus 2017, menolak penggunaan nama LNU.
Dalam perspektif hukum, Indonesia memiliki posisi yang lebih kuat daripada China, dengan klaim China yang didasarkan pada sembilan garis putus-putus, yang telah dinyatakan ilegal oleh Mahkamah Arbitrase Internasional (PCA), sementara Indonesia merujuk pada UNCLOS. Meski demikian, ketegangan masih berlanjut di wilayah LNU. (Kompas pedia, 17/04/2024)
Dalam rangka mengantisipasi dan mempertahankan kedaulatan di Laut Natuna Utara, Indonesia perlu memperhatikan beberapa hal penting. Diperlukan pembangunan kekuatan TNI-AL sesuai dengan visi Poros Maritim Dunia (PMD) untuk menjadi kekuatan maritim yang dihormati di tingkat regional. Â Penggunaan teknologi seperti alutsista nirawak (drone) juga harus dipertimbangkan (Suneto, dkk, 2023: 10). Untuk menunjang hal ini perlu meningkatkan jumlah Alutsista TNI AL yang lebih modern dan pelatihan yang intensif bagi pengawak KRI (Syafruddin & Judijanto, 2022: 88).
Pemerintah juga harus memperkuat penegakan hukum terhadap pelanggaran di ZEE Indonesia. Pemberlakuan sanksi yang tegas bagi kapal asing yang melakukan IUU Fishing dan pelanggaran kedaulatan dapat memberikan efek jera. Jika mungkin perlu pembentukan pengadilan maritim khusus yang menangani kasus-kasus pelanggaran hukum laut di Indonesia. Tujuannya adalah untuk mempercepat proses hukum dan meningkatkan efektivitas penegakan hukum.
Selain meningkatkan kekuatan lembaga-lembaga terkait, perlu juga meningkatkan kesadaran masyarakat, terutama nelayan lokal, tentang pentingnya kedaulatan maritim dan cara-cara untuk melaporkan pelanggaran. Program pendidikan dan pelatihan maritim dapat membantu masyarakat memahami hak-hak mereka dan peran yang dapat mereka mainkan dalam menjaga kedaulatan nasional. Hal yang tidak kalah penting juga adalah memberikan pelatihan kepada nelayan lokal tentang teknik penangkapan ikan yang berkelanjutan dan legal, serta menyediakan alat-alat navigasi dan komunikasi yang canggih untuk meningkatkan keselamatan dan produktivitas.
Kesimpulan
Laut China Selatan adalah kawasan strategis dengan cadangan minyak, gas alam, dan hasil perikanan yang melimpah, serta merupakan jalur perdagangan penting dunia. Konflik di kawasan ini dipicu oleh klaim teritorial China yang berdasar sejarah, yang tumpang tindih dengan klaim dari negara lain seperti Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, dan Taiwan.Â
Meskipun Indonesia tidak terlibat langsung dalam klaim tersebut, wilayah Natuna Utara menghadapi ancaman kedaulatan akibat aktivitas China di LCS. Dampak konflik ini mencakup kerugian ekonomi akibat penangkapan ikan ilegal dan ancaman keamanan tradisional maupun non-tradisional. Untuk mempertahankan kedaulatannya, Indonesia perlu memperkuat kekuatan maritim dan penegakan hukum, serta meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam menjaga wilayah maritimnya. Kerjasama ASEAN dan penyelesaian sengketa melalui hukum internasional juga esensial untuk menjaga stabilitas kawasan.
Â
Referensi
Sumadinata, W. S. (2022). Membangun Kebijakan Pertahanan Maritim Indonesia: Telaah Kritis Fungsi Keamanan Laut Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut. International Journal of Demos, 4(2), 722--731.
Itasari, E. R., & Sudika Mangku, D. G. (2020). Elaborasi Urgensi Dan Konsekuensi Atas Kebijakan Asean Dalam Memelihara Stabilitas Kawasan Di LCS Secara Kolektif. Harmony, 5(2), 143--154.
Syafruddin, H., & Judijanto, J. (2022). Rancangan Strategi Menangani Ancaman Perang Hybrida Melalui Patroli Maritim di Kawasan Laut China Selatan. Rekayasa, 15(1), 87-- 91.
Sunoto, Suyud Puguh, dkk. (2023). Dampak Sekuritisasi Konflik LCS terhadap Keamanan Maritim Indonesia. Jurnal Kajian Stratejik Ketahanan Nasional Vol 6, No 2, 1-14
https://econusa.id/id/ecoblog/iuu-fishing-ancam-masa-depan-laut-indonesia/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H