Mohon tunggu...
M. Aminulloh RZ
M. Aminulloh RZ Mohon Tunggu... Guru - Hidup Berpetualang
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Politik hanya momentum, berbuat baik selamanya

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Cegah Konflik Bernuansa Sektarianisme

27 November 2020   09:00 Diperbarui: 27 November 2020   09:31 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Persoalan yang sedemikian rumit di era sekarang ini, tidak terlepas dari peran negara dan semua elemen masyarakat yang paling efektif untuk mencegahnya, atau setidaknya pengurangan resiko konflik. Peran negara misalnya, bisa lebih gencar lagi dalam sosialisasi peraturan perundang-undangan tentang pengelolaan kerukunan seperti UU Nomor 1/PNPS/1965 yang semula dari Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 tentang penyalahgunaan atau penodaan agama. Dan pada tahun 1969 PP tersebut ditingkatkan statusnya menjadi UU No. 5 tahun 1969.

Penguatan lembaga-lembaga kerukunan masyarakat lintas agama, yakni Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), yang sangat diharapkan menjadi organisasi masyarakat populis secara damai demi kepentingan bersama. Selain itu, pemberdayaan komunitas-komunitas yang ada untuk membuat satu program pendidikan kedamaian dan kerukunan, toleransi, pluralisme, gotong royong, moderat atau apapun istilahnya dalam memberi kesadaran multikulturalisme.

Tidak cukup itu, pembangunan masyarakat yang berkeadilan sosial pun menjadi penting di semua komponen. Munculnya konflik sektarianisme yang bernuansa keagamaan yang sempit, intoleran, dan radikal, akibat dari ketidakadilan atau hegemoni kapitalistik dan perilaku koruptif di kalangan pejabat negara, menjadi social unrest (kegelisahan sosial) sehingga konflik akan sangat mudah pecah akibat ketimpangan dan kesenjangan dalam masyarakat.

Untuk itulah, bilamana saat menjelang potensi konflik atau saat konflik terjadi, semua mesti bergerak cepat untuk mendeteksi dan mencegah sedini mungkin agar konflik tidak semakin melebar. Khususnya aparat keamanan unsur dominan untuk segera meminimalisir aksi-aksi kekerasan yang berdampak pada kerusakan, kerugian, kehancuran, dan korban berjatuhan di tengah masyarakat.

Segera lakukan negoisasi perundingan untuk mencari solusi terbaik dalam mencapai kata sepakat. Dalam perundingan, pihak ketiga di antara pihak-pihak yang bertikai cukup dibutuhkan. Dalam hal ini pemuka agama, ormas keagamaan, cendekiawan, tokoh masyarakat, tokoh ekspert (ahli), akademisi, dan bila perlu tokoh nasional dan internasional sebagai mediator demi tercapainya perdamaian.

Usaha penanganan dan pencegahan konflik dan sektarian yang dilakukan oleh masyarakat pada umumnya, dan pemerintah khususnya, lebih cenderung bersifat sementara atau jangka pendek. Hanya melalui pendekatan keamanan dan membelenggu kebebasan. Sebagai contoh, acara-acara keagamaan atau pendirian rumah ibadah yang tak mendapat izin pihak aparat, hanya bersifat pencegahan sementara dan telah bersikap diskriminatif kepada satu pihak yang bisa saja suatu hari konflik itu terjadi kembali.

Usaha lain dalam penanganan konflik sektarianisme, dipandang hanya seremonial yang tidak sama sekali melibatkan akar rumput, dan terkesan elitis dari tokoh-tokoh maupun perkumpulan agama. Belum menyentuh masyarakat sehingga masih ada kerikil-kerikil kecil yang suatu saat menumpuk dan kemudian meledak menjadi konflik yang sulit penanganannya.

Multikulturalisme yang plural di sini, perlu adanya kesadaran kolektif demi terwujudnya tujuan luhur kebaikan agar kita semua dapat mengekspresikan rasa hormat terhadap perbedaan. Tanpa ada sentimen-sentimen tertentu. Semua hanyut dalam identitas kulturalnya masing-masing. Karena sebagai manusia berakal dan memiliki dasar hati Nurani bersih, tidak akan terus-menerus melibatkan diri dalam pusaran konflik. Sebab Inilah yang membedakan manusia berakal dengan hewan.

Mari semua menghayati ritual-ritual ibadah dalam ketertiban bersama. Tanpa mengganggu dan menghambat ekspresi orang atau kelompok lainnya, sebagaimana keindahan dan kedamaian dalam satu persatuan di dua kota suci, Mekkah dan Jerusalem.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun