Mohon tunggu...
M. Aminulloh RZ
M. Aminulloh RZ Mohon Tunggu... Guru - Hidup Berpetualang
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Politik hanya momentum, berbuat baik selamanya

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bubarkan Ormas Anarkistis

26 November 2020   20:00 Diperbarui: 26 November 2020   20:06 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.kadrun.id/2020/11/25/bubarkan-ormas-anarkistis/

Dahulu kala, seorang filsuf, sejarawan, akademisi, ilmuwan politik, dan juga mantan wartawan bernama Thomas Hobbes (1588-1679) mengatakan, pada dasarnya, manusia secara alamiah kompetitif: kepingin dilihat lebih baik, lebih tangguh, dan lebih kuat dibandingkan dengan lainnya.

Akan tetapi pada saat bersamaan, secara alamiah pula manusia sangat mudah diserang; bahkan orang yang sangat perkasa pun bisa dikalahkan oleh orang yang lemah. Barangkali peperangan antara Nabi Daud AS. dengan seorang prajurit bertubuh besar dari Filistin (Palestina sekarang), bernama Jalut---Goliath dalam istilah Perjanjian Lama---sebagai salah satu contohnya, tentang bagaimana orang lemah dapat mengalahkan orang yang sangat perkasa.

Oleh karenanya, seringkali muncul sifat alamiah kompetitif manusia, sekaligus mudah diserang. Usaha untuk saling menyerang, saling menjatuhkan, saling membunuh---baik pembunuhan karakter, maupun fisik---terus-menerus terjadi. Hal itu pula yang menyebabkan karakter manusia secara alamiah bisa muncul keganasan, kejahatan, dan kebiadaban untuk menindas dengan kekerasan manusia lainnya. Lantaran tidak saling percaya diantara sesama manusia.

Salah satu ciri Indonesia kontemporer modern yang menandai hasrat manusia saat ini adalah lahirnya gerakan populisme ekstrem kanan yang menolak keberagaman sosial dan keagamaan. Gerakan ini mencoba memobilisasi kaum mayoritas terhadap minoritas. Baik itu bersifat internal Muslim---Syiah, Ahmadiyah, dan lainnya---maupun ekstra keyakinan yang non-Muslim. Pendek kata, Indonesia ini secara umum sedang mengalami krisis keberagaman dan pluralitas kemajemukan yang serius, akibat ormas anarkistis.

Fakta dari fenomena Aksi Bela Islam yang berjilid-jilid beberapa tahun silam dan munculnya gerakan alumni 212, memberi petunjuk tentang kecenderungan bangkitnya fundamentalisme Islam yang ditunggangi oleh beberapa ormas yang condong radikal, ekstrem, dan anarki. Mereka yang sebelumnya hanya mengejar proyek dan keuntungan pribadi, akan bersikap diam melihat fenomena ini, atau bahkan ikut terlibat dalam sikap diskriminatif. Mudah berkamuflase, padahal jelas mengancam eksistensi negara.

Beberapa insiden penyerangan pada kelompok Ahmadiyah misalnya. Di Lombok Barat Nusa Tenggara Timur, penolakan secara resmi atas Ahmadiyah ditetapkan melalui Surat Keputusan Bupati (SKB) No. 35 tahun 2001 yang didasari keputusan MUI Provinsi NTB, menjadi legitimasi penyerangan oleh Organisasi Masyarakat (Ormas) Keagamaan yang terjadi pada 19 Oktober 2005. Ratusan rumah warga Ahmadiyah dirusak dan dibakar. Sebulan setelahnya, di Lombok Tengah yang berakibat 35 Kepala Keluarga (KK) atau 137 warga Ahmadiyah mengungsi.

Ada juga kasus Ahmadiyah di Parung Bogor oleh Front Pembela Islam (FPI), Ahmadiyah di Cikeusik Pandeglang Banten yang menewaskan 3 anggota Ahmadiyah dan belasan orang mengalami luka berat (Kompas, Senin 14/02/11). Beberapa ormas menyerang Ahmadiyah pada 5 Mei 2013 di Tasikmalaya, dan di tahun yang sama terjadi juga di Bekasi. Yang teranyar terjadi juga di Lombok Timur NTB. Diskriminasi oleh pemerintah dan aparat pun kian memperparah kondisi Ahmadiyah.

Belum lagi penyerangan terhadap warga Syiah. Dari tahun 2000 terjadi di Batang Jawa Tengah, tahun 2006 di Bondowoso, dan 2007 di Bangil, Jawa Timur. Pada tahun 2012 di Sampang Madura bahkan ormas anarkistis membakar rumah dan pesantren warga Syiah pimpinan Tajul Muluk. Tahun 2013, bentrokan juga terjadi di Puger, Jember sehingga menewaskan satu orang pengikut Syiah.

Komunitas Ahmadiyah dan Syiah yang minoritas kerap menjadi target persekusi oleh ormas-ormas anarkistis. Sudah semestinya persoalan demikian menjadi perhatian serius oleh pemerintah. Ketidaktegasan pemerintah, semakin merasa berkuasa pula ormas-ormas anarkis. Negara tidak boleh kalah oleh ormas, begitu yang selalu dikumandangkan oleh kalangan moderat. Karena dalam pandangan ormas anarkis yang radikal, hanya ada hitam-putih, benar-salah, islami-jahili, Muslim-kafir, dan seterusnya.

Ormas anarkistis yang memiliki karakter radikal, sangat mudah dipahami. Dalam pola pikir dan tindakan akan melahirkan sikap intoleran, fanatisme-militan, mendukung kekerasan, politis-ideologis, tekstualis-literalis dan anti-rasionalitas, tatharruf, puritan, anti Barat dan jihadis mutlak yang tak bisa ditawar.

Ciri lainnya adalah mudah menghakimi orang lain yang tidak sepaham dengan pandangannya, mengklaim paling memahami kitab suci dengan fatwa-fatwa kontroversial sehingga mewakili Allah di muka bumi untuk menghukum siapapun yang bertentangan dengannya, memiliki pandangan dalam perjuangan khilafah dan kemudian mengganti Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), berusaha mengubah nation-state (negara-bangsa) menjadi negara agama, keyakinan agama diubah menjadi ideologi yang selanjutnya menjadikannya senjata politik untuk menyerang pandangan politik yang berbeda dari mereka.

Beberapa konflik yang melibatkan FPI saja sudah seharusnya ormas ini dibubarkan. Pada tanggal 12 Januari 2012, massa FPI merusak dan meracau di Gedung Kemendagri. 21 Februari 2012, massa FPI mengepung ruko yang sedang mengadakan pengobatan gratis. 6 Mei 2012, massa FPI memukul Aktivis Perdamaian SEJUK (Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman), di HKBP Filadelfia Bekasi. 15 Maret 2012, terjadi konflik antara FPI dengan warga Pontianak. 3 Mei 2012, terjadi konflik antara FPI dan warga di Gandekan Solo. 7 Mei 2012, massa beberapa ormas Islam termasuk FPI menyetop pembangunan tempat ibadah di Yogyakarta.

Ditambah pada tanggal 10 Agustus 2012, massa FPI Makassar merusak klenteng Xian Ma, kelenteng Kwan Kong, dan klenteng Ibu Agung Bahari. 25 September 2012, massa FPI bentrok dengan polisi ketika menyerang restoran cepat saji di Mal Ciputra Semarang Bekasi (Abdul Jamil Wahab, 2014: 112-113). Teranyar, tahun 2017, beberapa ormas termasuk FPI menolak pembangunan gereja di Bekasi, dan masih banyak kasus-kasus lainnya yang melibatkan ormas anarkistis tersebut. Ironisnya, mereka mengatasnamakan Islam dan Tuhan seraya menindas kelompok yang berbeda. Sesuatu yang ambivalen.

Dari rentetan kasus yang melibatkan ormas anarkistis, semestinya pemerintah tidak ragu lagi untuk menindak tegas siapapun, pihak manapun, kelompok, dan golongan dari manapun. Semua itu adalah moment of dark bagi korban atas perilaku anarki ormas-ormas yang merasa paling superior dan kebal hukum. Saya kira mayoritas masyarakat sudah muak terhadap aksi-aksi kekerasan yang didominasi oleh ormas anarkis.

Kita semua menyaksikan Indonesia dalam kondisi terjangkit kanker radikalisme. Antara lain Indonesia tengah dikuasai rasa tidak percaya, permusuhan, dan perpecahan antaragama dan antarmazhab. Jika terus seperti ini maka cita-cita perdamaian semakin jauh. Perlu adanya rekonsiliasi yang menciptakan situasi kebenaran agama diperuntukkan manusia yang bersifat kemanusiaan sejati yang dihargai. Untuk itulah karenanya kebencian dirubah menjadi kekuatan cinta, rasa ingin balas dendam menjadi pemaafan dan pengampunan, anarkisme menjadi kedamaian.

Terlebih, ormas-ormas anarkistis ini telah melakukan perselingkuhan dengan politik. Kawinnya agama dan politik, semakin berkecambahnya percikan api kemarahan dan gesekan yang mengoyak hubungan persaudaraan. Barat yang secara empiris memiliki sejarah kelam perselingkuhan agama dan politik, telah menghancurkan dan memecah belah bangsa.

Agama yang seharusnya menjadi pembimbing yang lurus dan benar, disalahfungsikan menjadi alat legitimasi melalui fatwa-fatwa kontroversial demi kekuasaan politikus ambisius. Tidak hanya itu, agama yang semestinya menjadi tonggak utama persatuan umat, malah dijadikan mesin untuk mengotak-kotakkan atau bahkan untuk memvonis pihak yang tidak sejalan dengan tudingan sesat, kafir, musyrik, dan tuduhan-tuduhan jahat lainnya. Bukankah agama bertujuan untuk memuliakan Tuhan dan keselamatan serta kedamaian bagi manusia?

Ketika negara bertindak dan membubarkan, mereka akan menuduh zalim, kriminalisasi dan sebagainya. Negara tidak boleh gentar, sebab kita masyarakat yang secara mayoritas, tidak menerima agama kita selalu dipergunakan untuk meracau. Mayoritas umat Islam mendukung pemerintah dan seluruh komponen negara untuk memberedel dan membubarkan ormas-ormas yang lapar akan aksi-aksi anarkisme.

Mereka yang telah merasa di atas angin---superhero-agama, kebal hukum, dan merasa berkuasa---maka kita sebagai kelompok yang dipandang lemah, dapat menumbangkan superioritas ormas-ormas anarkis. Sebagaimana Nabi Daud AS. yang hanya menggunakan senjata ketapel, dapat menaklukkan Jalut atau Goliath.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun