Dengan perkawinan aktor utama 212, pemodal, dan elite politik, kolaborasi ini telah membunuh demokrasi secara perlahan. Mereka hanya berupaya menghitam-putihkan politik dan mengabaikan sisi universalisme kemanusiaan, tanpa berpikir keumatan dan kerakyatan. Perhatikan para aktor elite 212, tidak menunjukkan sama sekali kesederhanannya dalam kehidupan sosial. Mobil-mobil mewah yang tampak di hadapan publik, adalah wujud nyata perkawinan antara pemuka agama dan elite politik serta bandar kapitalistik. Mereka berusaha yang dalam istilah Niccolo Machiavelli, melakukan segala cara untuk menggapai tujuan. Bahkan demi politik, mereka menanggalkan norma pesan damai agama secara substantif dan inklusif, yakni akhlakul karimah.
Politik identitas pun kian memanas setelah kepulangan Rizieq Shihab dua pekan lalu. Dan ini akan terus mendidih hingga 2024. Berawal dari menyemutnya sambutan pengikut Rizieq di bandara Soekarno Hatta, mereka terlihat mengabaikan norma-etik sederhana. Kita semua memahami, bahwa negara tengah fokus menghadapi pandemi Covid-19. Dengan mengabaikan protokol Kesehatan, mereka seenaknya berkumpul bersama. Dua hari kemudian, Rizieq Shihab menggelar pertemuan di pesantrennya di Megamendung, Bogor, Jawa Barat. Setelah itu, berlangsung pula pesta pernikahan anaknya sekaligus peringatan Maulid Nabi yang dihadiri oleh ribuan simpatisan, seolah kebal terhadap virus mematikan itu.
Dalam peringatan Maulid Nabi yang digelar di Petamburan Jakarta, kelompok ini juga tetap bermanuver dengan mendoakan Megawati dan Jokowi cepat mati, dan ceramah-ceramah lain yang tak patut diperdengarkan oleh umat beriman. Selain itu, kepergian Jusuf Kalla untuk menghadiri sejumlah agenda ke Turki dan Arab Saudi bulan lalu, dan kedatangan Anies Baswedan ke kediaman Rizieq Shihab pekan lalu, menjadi mencoloknya persekutuan politikus, pemuka agama---dalam hal ini Rizieq Shihab---dan juga pemilik modal (cukong), mulai disebut-sebut sebagai persiapan Pemilu 2024 mendatang.
Diperkuat oleh Anies Baswedan yang tengah mengunggah foto di media sosial, berpose sedang membaca buku berjudul How Democracies Die pada Minggu (22/11/2020). Senada dengan pernyataan mantan wakil presiden, Jusuf Kalla yang menanggapi fenomena Rizieq Shihab dengan menyebutkan ada yang salah dengan sistem demokrasi Indonesia.
Tentu saja mereka sedang berupaya memutarbalikkan fakta yang sebenarnya, bahwa mereka semua itulah pelaku sesungguhnya yang harus introspeksi diri. Mereka berhasil mem-framing dan mengaburkan, berujung pada pengkambinghitaman sistem yang sedang berjalan. Hal itu dianggap sebuah kebenaran oleh sempit pemikiran partisannya. Kejahatan yang berulang-ulang---Rizieq Shihab dan Hanif menantunya yang membenarkan pemenggalan---akan menjadi sebuah kebenaran yang berhadiah pahala. Inilah fenomena resonansi dengan gejala post-truth yang terjadi saat ini.
Krisis kontemporer ini nyata-nyata telah melemahkan stabilitas nasional yang secara perlahan menghabisi sendi-sendi demokrasi yang sedang dibangun. Kelompok 212 ini, berusaha mendistorsi agama yang merupakan sebuah solusi masalah, justru sebaliknya inti dari masalah yang tak diharapkan.
Sudah saatnya para elite politik yang berkonstelasi, lebih membangun konsensus nasional untuk mengurangi semaksimal mungkin mempolitasi agama, demi tegaknya demokrasi yang lebih waras. Bukan malah mematikan demokrasi dengan menggaet para pemuka agama dan pengobar kebencian. Politik identitas bukan hanya menghancurkan agama, tapi juga melenyapkan demokrasi dan merobek tenun kebangsaan yang telah dijahit lama melalui tali temali kemajemukan dan keberagaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H