Mohon tunggu...
M. Aminulloh RZ
M. Aminulloh RZ Mohon Tunggu... Guru - Hidup Berpetualang
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Politik hanya momentum, berbuat baik selamanya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Daya Pikat Islamisme dan Konservatisme di Media Sosial

20 November 2020   15:24 Diperbarui: 20 November 2020   15:27 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dewasa ini, kelompok Islamisme dan Konservatisme semakin gencar dominan dan menghegemoni media sosial kita. Meski Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) telah dibubarkan, akan tetapi faktanya kian menggalakkan pergerakan mereka dalam opini dan eksistensi paham khilafahnya melalui derasnya hashtag seperti #khilafahadalahsolusi, #khilafahuntukindonesia dan seterusnya.

Para sarjana jauh sebelum usai perang dingin, telah mengakui adanya kebangkitan politisasi agama. Fenomena global bangkitnya agama, mereka bermaksud mendeskripsikan sekaligus menganalisis kebangkitan agama konservatif arus baru ini, dengan sebutan fundamentalisme agama. 

Terma itu tentu saja terbantahkan dan amat keliru, sebab revolusi Iran yang diinisiasi Ayatullah Khomeini yang spektakuler, serta iklim fanatisme dan ekstremisme agama, sekaligus nasionalisme yang diterapkan di sana, mampu menjadi pemersatu kebangkitan sosial transenden.

Berbeda dengan kondisi dan situasi yang profan di Indonesia. Bagaimana kondisi saat ini, dan gejala kebangkitan Islamisme dan konservatisme sekarang terutama di jagat maya? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, mesti kita dudukkan dan petakan terlebih dulu antara istilah Islamisme dan konservatisme yang tengah menggeliat itu.

Menurut Bassam Tibi dalam Islam dan Islamisme (2019), bahwa Islamisme adalah pemahaman agama (Islam) dalam bentuk tatanan sebuah negara, yaitu negara Islam. Kelompok Islamisme telah mengidolakan Islam pada zaman Nabi Muhammad SAW. di Madinah, dan mereka berupaya untuk mengembalikan praktik berislam pada zaman sekarang untuk kembali seperti praktik berislam pada zaman Nabi Muhammad SAW. yaitu zaman empat belas abad yang silam.

Mereka beranggapan bahwa praktik politik ala Nabi, sesuai dengan dalil teks klaim mereka (Khilafah ala minhajin nubuwwah) yang paling benar; tidak akan salah; tidak ada tawar-menawar; dapat menyelamatkan dari keterpurukan dari kondisi saat ini; tidak terpengaruh unsur Barat; Tuhan benar-benar mengintervensi tatanan sistem politik pemerintahan, dan tidak terpengaruh oleh pemikiran manusia. Segala sistem atas dasar hasil pemikiran manusia---Sosialisme, Komunisme, Sekuler, Demokrasi, termasuk Pancasila---tertolak dan bid'ah.

Saya sendiri menyangsikan pola pikir (mindset) yang dibangun atas romantisme kejayaan masa lalu ini. Lantaran kondisi, situasi, dan waktu yang berbeda seiring perkembangan zaman yang terus melesat menuju modernisasi teknologi informasi, semakin sulit dan jauh dari rasional. Alasannya sederhana dan dapat dinalar dengan akal. 

Nabi Muhammad SAW. hanya dapat mempraktekkan sistem pemerintahan, tetap dalam bimbingan Allah SWT. melalui wahyu Qurani. Selanjutnya era Khulafa Ur Rasyidin menjalani pemerintahan yang telah diwariskan oleh Nabi Muhammad SAW. Mereka---Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib---harus berpikir keras (ijtihad) atas segala kompleksitas persoalan baru.

Begitupun konsep setelahnya---Bani Umayyah, Abbasiyah, Fatimiyyah, hingga era Kekhalifahan Utsmani---sebatas sistem pewarisan kekuasaan alias dinasti-monarkisme yang bersifat aristokrasi dan nepotis, yang dapat kita saksikan juga di beberapa negara modern seperti Arab Saudi, Kuwait, Qatar, Yordania, Brunei, Thailand, Oman, Britania Raya dan lainnya. 

Penyebutan bagi pimpinan (khalifah) dapat digunakan dengan sebutan raja, sultan, emir, kaisar, dan lainnya. Di Timur-Tengah sendiri, istilah khalifah sudah asing bagi mereka, yang ada perdana menteri, raja, emir, dan presiden. Jadi sudah sangat jelas, wacana yang dibangun kelompok Islamisme---HTI, Ikhwanul Muslimin, Militan ISIS dan lainnya---berdasarkan kepentingan golongan atau kelompok tertentu, sama sekali tidak lagi mewakili agama Islam yang universal.

Selanjutnya adalah konservatisme yang berbeda pola dengan keyakinan Islamisme. Istilah konservatisme merujuk pada penolakan atas tafsir kontemporer, modern, dan liberal atau progresif ajaran Islam dan memegang erat doktrinasi dan ortodoksi tekstualis salafiyah yang puritan pada tatanan sosial kemapanan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun