Lahirnya Nahdlatul Ulama (NU) memang bukan atas dasar politik kekuasaan, karena konsepsi mengenai negara-bangsa (nation-state) belumlah muncul saat itu. Akibat puritanisasi wahabisme di Hijaz Arab saat kepemimpinan otoritarian Raja Abdul Aziz bin Saud dalam bentuk ideologi---pemurnian agama, membid'ahkan amaliah, menghancurkan tempat-tempat yang dikeramatkan seperti makam Nabi dan sahabat---Komite Hijaz yang menjadi cikal bakal NU itu, berhasil mencegah Raja Saud membongkar tempat-tempat yang dikeramatkan.
Setelah terbentuknya NU sebagai sebuah wadah (Organisasi Masyarakat) yang diinisiasi oleh serangkaian jejaring ulama dari pelbagai pesantren di seluruh Indonesia, NU membangun kesadaran bersama menjadi sebuah gerakan perlawanan kultural, dalam rangka melawan kolonialisme sehingga lahirlah fatwa "perang suci" (holy war) oleh KH. Hasyim Asyari yang mendorong rakyat Indonesia, khususnya Jawa Timur terlibat dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya.
Dinamika NU terus bergulir di setiap Forum Muktamar yang mendiskusikan banyak persoalan---sosial kemasyarakatan, pendidikan, hukum Islam, politik, dan seterusnya---hingga lahirnya Majelis Islam 'Ala Indonesia (MIAI) sebagai gerakan kebangsaan bersama NU, Muhammadiyah dan Sarekat Islam. Di sini kemudian kesadaran politik kebangsaan lahir dari umat Islam Indonesia, pasca-runtuhnya imperium Ottoman yang berpusat di Turki yang dinasionalisasi oleh Kemal Attaturk pada tahun 1924.
Kiai Masdar F. Masudi dalam Membumikan Agama Keadilan (2020), menyebutkan masih atas Kerjasama dengan Muhammadiyah dan SI pada tahun 1943 NU membentuk organisasi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), suatu wadah umat Islam untuk merespon lebih banyak persoalan-persoalan politik dalam negeri, khususnya dalam mendorong lahirnya Negara Republik Indonesia. Awalnya organisasi penyatuan umat Islam ini dibentuk untuk memperkuat Dai Nippon demi kepentingan Asia Timur Raya. Tapi pada akhirnya, pada tahun 1952 NU keluar dari persekutuan dan koalisinya dari Masyumi.
Setelah NU hanya diposisikan sebagai Majelis Syuro, berbagai posisi penting NU dipreteli, baik dalam tubuh organisasi, maupun posisi-posisi strategis di parlemen pemerintahan. NU hanya mengurus Diniyah Syariah. Menyimpangnya Masyumi dari kebijakan politik NU---tidak tegasnya penanganan masalah domestik seperti pemberontakan DI/TII---demi berlangsungnya pembentukan sebuah negara yang damai.
Belum lagi soal kebijakan luar negeri yang berbelok saat Perdana Menteri Soekiman (Masyumi), kolaborasi bersama Achmad Soebardjo, menandatangani perjanjian Pakta Keamanan Bersama dengan Amerika Serikat yang berarti menempatkan Indonesia dalam blok AS. Hal itu telah menodai netralitas politik bebas aktif atau negara non-blok yang ditempuh Indonesia dalam percaturan politik global.
Bahkan, KH. Wahid Hasyim dalam catatannya pada tahun 1952 menyebut perkembangan NU dalam Masyumi sudah tidak sehat, NU kerap diejek gajah bengkak yang menderita beri-beri. (Historia.id, 2017). NU memang ditempatkan dalam posisi penasehat dalam Masyumi, namun konsultasi nasihat yang diberikan tidak pernah dipatuhi. Walau NU terlibat dalam berdirinya Masyumi, bagi NU sudah tidak ada alasan lagi untuk segera keluar barisan. Muktamar NU ke-18 pada Mei 1950 di Jakarta, KH. Wahab Chasbullah mendesak agar NU segera menarik diri dari Masyumi.
Pada Muktamar NU di Palembang bulan Oktober 1952, memutuskan secara resmi bahwa NU berdiri sebagai partai independen. Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) juga berdiri kembali sehingga Masyumi bukanlah satu-satunya partai Islam. Dalam forum-forum dan kongres Masyumi, NU selalu mengusulkan agar Masyumi berubah jadi badan federasi, tetapi usulan NU selalu dimentahkan dan cenderung diabaikan.
Pada akhirnya, politik NU memutuskan untuk merapat bergabung dalam DPR-GR dan NASAKOM (Nasional diwakili PNI, agama diwakili NU, dan Komunis diwakili PKI) yang pada saat itu cenderung berjalan sendiri-sendiri. Tujuan NU salah satunya adalah membentengi pemerintahan agar tidak didominasi oleh sayap kiri Komunis. PKI yang kerap berhadapan dengan Masyumi, kini harus menghadapi pula perlawanan dari NU. Kepiawaian NU mampu menjadi tandingan yang cukup sengit dalam tindakan subversif PKI.
Bulan Mei 1952, para kiai NU seluruh Indonesia berkumpul di Cipanas Bogor, Jawa Barat dalam Konferensi Alim Ulama untuk membahas status Soekarno dan kabinetnya dalam kacamata Islam. Hasil musyawarah menyatakan bahwa Soekarno adalah Waliy al-amr adh-dharuri bi as-syaukah (presiden yang sah dalam keadaan darurat yang secara de facto memiliki kekuasaan).
Kemudian pada Februari 1958, KH. Wahab Chasbullah terkejut mendengar kabar kalau Masyumi saat itu tengah berkomplot dengan pemberontak---Dewan Banteng dan Dewan Gajah---yang memproklamirkan diri sebagai Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Sejumlah catatan sejarah mengatakan bahwa hanya tokoh-tokohnya saja, bukan partainya. NU yang turut mendirikan Masyumi sekaligus sempat menjadi bagiannya, merasa kecewa yang teramat berat atas keputusan Masyumi.
Sontak, KH. Wahab Chasbullah bersama Kiai Idham Chalid dan beberapa kiai NU lainnya, berkumpul dan membuat pernyataan yang memutuskan bahwa PRRI-Permesta bughat atau memberontak pada pemerintahan yang sah. Dalam pernyataannya juga, Partai NU tidak mendukung PRRI. Pernyataan tersebut penting dilakukan sebelum PKI semakin memperburuk citra umat Islam secara keseluruhan.
Tidak lama setelah itu, Soekarno akhirnya membubarkan Masyumi. Tentu saja ini membuat PKI semakin menggebuk Masyumi dan merebut posisi penting, baik dalam posisi kemiliteran, maupun di parlemen yang ditinggalkan Masyumi. NU merasa kehilangan kawan koalisinya di parlemen. Kini PKI hanya berhadapan dengan NU. Mengingat PNI sangat lemah dalam menghadapi PKI.
Sebagaimana kelompok Islam lainnya, NU tetap menyuarakan aspirasi politiknya pada acuan ajaran Islam, mengingat 90% penduduk Indonesia yang beragama Islam. Namun, NU dalam keterikatannya pada ajaran Islam, kepiawaian politik NU mampu merumuskan atau mencari titik temu antara agama dengan lembaga kekuasaan paripurna yang dinamakan negara.
Seiring berjalannya waktu, pada Desember 1983, Presiden menegaskan perlunya Asas Tunggal bagi partai politik dan seluruh ormas Indonesia. Para kiai NU memutuskan ormas NU pertama kali untuk menerima Pancasila sebagai Asas Tunggal. Bahkan KH. As'ad Syamsul Arifin menegaskan bahwa bagi umat Islam Indonesia, hukumnya wajib untuk menerima Pancasila.
Pada muktamar NU ke-27 bertempat di Situbondo Jawa Timur pada tahun 1984, NU memutuskan untuk kembali ke Khittah tahun 1926. Hal ini menandakan bahwa NU tidak lagi terlibat dalam politik praktis, tetapi kembali pada jatidiri organisasi kemasyarakatan, yakni jam'iyyah ijtima'iyyah.
Para kiai mengajak seluruh umat Islam Indonesia untuk tidak ragu lagi mengisi kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh para syuhada, dan membangun bangsa berdasarkan basis moralitas berdasarkan Pancasila yang telah diserap dari butir-butir Piagam Madinah yang dibentuk Nabi Muhammad SAW saat menjadi kepala negara Madinah, yakni menjalin harmonisasi dan saling menghormati di antara umat Islam (ukhuwah Islamiyyah), persaudaraan sebangsa dan setanah air (ukhuwah wathaniyyah), dan persaudaraan sesama makhluk Tuhan yang dinamakan manusia (ukhuwah basyariyyah). Semua itu sudah termaktub dalam Pancasila sebagai bentuk final ideologi negara.
Hal ini membuktikan bahwa sejak zaman penjajahan sampai era pasca-Orde Baru, para kiai mampu mengikuti perkembangan zaman dengan tetap mengakar dalam tradisi dan tidak membuang identitas Sunni-nya. Ini membuktikan bahwa Islam tradisional dapat memainkan peranan kreatif dalam dunia modern (Martin van Bruinessen, 1994: 261). Sikap dan budaya NU yang selalu menghindari konflik, berakar pada budaya agraris bahwa konflik tidak akan pernah menguntungkan rakyat kecil dan hanya menguntungkan kaum feodal. Hal itu cukup menentukan perkembangan NU hingga hari ini masih tetap bertahan, dan justeru semakin mengakar kuat. Sedangkan Masyumi tanpa NU, semakin terjerembab dalam kubangan kesalahan; kejahatan; kemungkaran untuk memberontak pada negara, yang pada akhirnya dibubarkan secara tragis.
Masyumi yang telah terkubur lama dan mungkin sudah menjadi fosil-fosil, coba dibangkitkan kembali oleh beberapa elit politik dengan istilah Masyumi Reborn, dengan kembali pula peningkatan dalam bentuk sentimental keagamaan dan emosi masyarakat Muslim. Muhammadiyah dan NU lebih awal telah menyatakan bahwa kedua ormas terbesar itu tidak akan bergabung bersama Masyumi, meski dalam Undang-undang diperbolehkan sebagai bentuk hak warga negara untuk mendirikan partai. Selain itu, NU sudah tegas dalam Muktamar ke-27 Situbondo sebagaimana di atas, tidak akan terlibat dalam politik praktis.
Tanpa NU saja, Masyumi kelimpungan menghadapi PKI, dan bergabung bersama pemberontak yang pada akhirnya tewas secara mengenaskan. Bagaimana dengan Masyumi Reborn hari ini? Partai tanpa ideologi yang jelas, akan berat sekali untuk menjadi partai besar. Partai yang ada saja, telah mengalami begitu besar ketidakpercayaan masyarakat. Program partai, hanya menguntungkan individu feodal dan janji-janji manis.
Jadi sudah jelas, tujuan Masyumi Reborn pun sama dengan partai-partai lain yang baru lahir belakangan ini, hanya sekadar odong-odong yang jalan di tempat. Sementara NU terus melesat mengikuti arus sirkulasi zaman, sampai pada era revolusi industri yang terus berkembang. Namun, tetap berpegang teguh pada khittahnya yang fokus pada keumatan dan mengandung nilai-nilai substansial Islam. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H