Wacana sektarian dan polarisasi masyarakat semakin berkembang semenjak runtuhnya Soeharto pada tahun 1998. Seiring berjalannya demokrasi, alih-alih semakin terbukanya proses reformasi, justru arus fanatisme ekspresif politik sektarian kian menguat. Ancaman konservatisme semakin mewabah di semua lini elemen masyarakat, termasuk dalam kantong-kantong pemerintahan.
Mental construct konservatisme agama yang kian merebak sampai melahirkan paradigma, sikap, dan perilaku sektarian di tengah masyarakat. Kelompok konservatif yang semacam ini, hanya berpikir bahwa komunalnya saja yang dapat menggapai jalan lurus menuju kesejahteraan, ketentraman, kemakmuran dan kebenaran sejati. Sementara menganggap kelompok lain sebagai suatu ancaman yang nyata harus dilawan dengan keras.
Pandangan sektarian dalam kelompok di atas oleh filsuf abad-21 Slavoj Zizek secara ringkas dalam kalimat, If only they weren't, life would be perfect, and society will be harmonious again (Jika mereka tidak di sini, maka kehidupan ini akan menjadi sempurna, dan masyarakat akan menjadi harmonis lagi). (Dr. Ahmad Najib Burhani, 2019: 70). Era globalisasi seperti sekarang ini sepertinya hampir mustahil dan absurd jika dalam komunitas homogen yang berbeda, baik etnis, ras, suku, maupun agama.
Pada dasarnya, manusia diciptakan Tuhan dengan keadaan yang berbeda-beda. Bahkan dalam satu lingkungan atau satu rumah, perbedaan akan tetap ada. Logika perbedaan itulah yang seharusnya kita balik menjadi sunnatullah yang mendasar sebagai senjata persatuan yang menguatkan demokrasi.
KH. Abdurrahman Wahid atau dikenal akrab Gus Dur, di era kepemimpinannya sebagai Presiden Republik Indonesia yang ke-4 (1999-2001), telah membuka ruang-ruang yang sebelumnya menjadi alat dan kekuatan untuk melegitimasi kekuasaan. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) diberikan kemandirian dalam menentukan arah kebijakan. Legislatif parlemen dapat memanggil eksekutif kapan saja untuk dimintai pendapat dan keterangan yang mendukung untuk membahas terkait persoalan kenegaraan.
Upaya dan perjuangan Gus Dur dalam membuka kran demokrasi sebagai bentuk perjuangan menegakkan hak asasi manusia. Demokrasi yang diperjuangkan Gus Dur juga menjadi pendorong toleransi, pluralisme, kemajemukan dan pemahaman Islam yang moderat sebagaimana yang selalu didengungkan rahmatan lil alamin (kasih bagi semesta alam). Namun, dua dekade setelahnya, ruang semakin terbuka lebar melalui sirkuit jaringan maya yang ada dalam genggaman tangan, sebagian masyarakat semakin terperosok dalam kubangan sektarian konservatif.
Angin segar demokrasi pasca-runtuhnya rezim otoriter orde baru, memberikan menu platform media yang kapan saja dapat kita akses. Teknologi baru tersebut tidak hanya membantu manusia dalam membaca informasi dan menentukan arah politik, akan tetapi juga memberikan ruang bagi para politikus dan operasi-operasi kampanye sektarian yang merusak konstruksi demokrasi.
Ancaman politik sektarian yang merusak berlangsungnya proses demokrasi semakin nyata, akibat praktik-praktik industrialisasi hoaks dan siaran kebencian secara brutal dalam konteks pesta demokrasi seperti Pilkada, Pileg, dan Pilpres di teknologi. Hal itu ditandai ketika produksi hoaks kian masif sehingga melahirkan rasa curiga, antipati, dan permusuhan yang betul-betul dapat kita rasakan. Membiarkan produksi hoaks, siaran kebencian, dan proliferasi, sama saja menghancurkan proses demokrasi.
Politik sektarian yang berimplikasi pada siaran kebencian, membangun suatu kelompok pembenci pada salah satu figur tertentu yang tentu saja berbeda Haluan dan pandangan untuk mempropagandakan, menghasut, bahkan menjatuhkan martabat sang figur calon pemimpin. Proses politik seperti ini tidak lagi berbasis kebijakan, melainkan pada figur personal. Maka tidak heran jika para politisi menjadi giat melakukan pencitraan politik sebagai bagian dari strategi pemasaran. Inilah yang disebut sebagai personality driven politics (Lim, 2017: 420).
Dampak yang ditimbulkan dari politik sektarian selain menguras emosi, juga pikiran dan psikologi yang mengurangi nalar berpikir secara komprehensif. Pilihan politik tidak lagi menggunakan akal, hanya dengan perasaan. Hal ini yang menandakan resistensi pada proses demokrasi yang kian mengancam keamanan nasional.
Selayaknya demokrasi dalam konteks politik dapat dipahami sebagai tingginya partisipasi masyarakat untuk aktif menyuarakan aspirasinya dalam proses pengambilan kebijakan dan pengelolaan pemerintahan secara transparan. Selain itu, di luar konteks politik, demokrasi harus dipahami dalam rangka membangun kesetaraan, toleransi, sikap kritis, kebebasan, dan keadilan. Tentu saja demokrasi secara falsafah ontologis di atas, sesuai dengan ajaran agama, terutama sekali Islam. Kaum konservatif yang tidak memahami esensi dari pembangunan demokrasi, hanya datang melalui perasaan, tidak dengan akal dan nalar yang sehat.