Mohon tunggu...
M. Aminulloh RZ
M. Aminulloh RZ Mohon Tunggu... Guru - Hidup Berpetualang
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Politik hanya momentum, berbuat baik selamanya

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kenapa SBY Tidak Mengutuk Kekerasan pada Aksi RUU Cipta Kerja?

16 Oktober 2020   10:30 Diperbarui: 16 Oktober 2020   11:25 508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Semenjak Rancangan Undang-undang Cipta Kerja mulai ditelaah DPR RI bersama pemerintah pada tanggal 24 April 2020 hingga disetujui dan disahkan pada rapat paripurna DPR RI, 5 Oktober 2020. Terjadi pergolakan mengenai RUU Cipta Kerja di mana-mana, terus bergelora dan semakin memanas serta frekuensi disrupsi semakin meningkat. 

Gelaran unjuk rasa di berbagai daerah terus memantik berbagai pihak untuk turun langsung. Tak terkecuali Partai Demokrat (PD) yang dikomandoi langsung oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Mantan Presiden ke-6 tersebut yang telah dituding mendalangi pelbagai aksi unjuk rasa omnibus law. Tidak hanya menjadi dalang demo, PD dan SBY juga dituding terlibat mendanai aksi-aksi anarkis tersebut.

Walaupun akhirnya dibantah oleh Kepala Badan Komunikasi Strategis, Ossy Dermawan, selasa (13/10/2020). Tetapi tudingan tersebut bukan tanpa dasar. Beberapa indikasi kecurigaan tindak tanduk koloni PD ini juga menunjukkan hal terkait keterlibatan PD dalam sejumlah aksi yang berujung kisruh-anarki dan merusak fasilitas umum.

Jika kita analisis lebih dalam, pada tanggal 7 Oktober 2020, SBY meminta seluruh kader PD untuk menerima pendemo di kantor DPRD-nya masing-masing. Selaras dengan instruksi SBY, beberapa kader PD di tingkat DPRD menemui pendemo, baik di Sumatera Barat, Jambi, maupun di Purwakarta dan Bojonegoro pada tanggal 08 Oktober 2020. 

Namun, partai lain yang tidak dituding mendalangi aksi yang merusak itu juga banyak menerima pendemo seperti PKB, PPP, Partai Gerindra, Partai Golkar, dan lainnya. Jadi tidak secara keseluruhan PD yang menerima pendemo untuk menampung aspirasi. Lebih daripada itu, sebagian pendemo dari kalangan mahasiswa pun menolak diterima oleh PD sebagai penyambung aspirasi mereka. 

Jadi tudingan tersebut bukannya tidak berdasar sama sekali. Apalagi Gubernur Sri Sultan Hamengkubuwono X mengatakan bahwa aksi kekacauan yang terjadi di sejumlah daerah DIY telah direncanakan untuk merusak fasilitas umum. 

“Saya menyesali kejadian anarki (demo) ini by design. Mengapa saya katakan itu? Karena mahasiswa, pelajar, sama buruh sudah selesai (berdemo) di DPRD (tapi) ada kelompok orang yang tak mau pergi, dan itu berlangsung terus sampai sore,” ujar Sri Sultan HB X di Kompleks Kepatihan Yogyakarta, pada jumat (9/10/2020).

Setelah beberapa tudingan yang mengarah pada pimpinan PD yaitu SBY sebagai mantan Presiden Indonesia tersebut, akhirnya melakukan klarifikasi melalui akun youtube resminya, senin (12/10/2020). Dengan format obrolan santai terkait keterlibatannya dalam pergerakan massa demo yang berujung kerusuhan, “Ya enggak tahu saya, nggak tahu, apa barangkali nasib saya dibeginikan terus ya. Nggak tahu saya. Memang kalau saya ikuti ya kembali seperti yang saya alami pada tahun 2016 lalu saya dituduh, difitnah menunggangi, menggerakkan, membiayai, sama dengan sekarang sebuah gerakan unjuk rasa besar waktu itu,” ujar SBY.

SBY sebagai mantan Presiden tidak seharusnya bersikap demikian. Seolah-olah menjadi korban yang tertindas, tertuduh dan bertahan dengan mengorbankan reputasinya sebagai jenderal. Seorang jenderal tidak pantas bersikap playing victim. Berani menghadapi segala tuduhan, resiko, bahaya, dan apapun yang dipandang sebagai hal yang tidak benar. Tegas dan hadapi realita yang ada. Sikapnya yang demikian itu, justru yang timbul adalah berkurangnya empati masyarakat, bukan hanya berkurang, bahkan illfeel alias hilang feeling.

Analisis penulis, kalau memang Pak SBY ini tidak mendalangi pelbagai aksi unjuk rasa di sejumlah daerah, seharusnya mengutuk keras pendemo yang anarki dan merusak fasilitas publik. Bukan malah playing victim berperilaku seolah hanya menjadi korban. Sosok yang pernah berjuang sebagai prajurit selama 30 tahun, pernah di pemerintahan selama 15 tahun, tapi sama sekali tidak memberikan suri tauladan, baik bagi para politisi yang ada, maupun rakyat Indonesia.

Jika menoleh sedikit ke pemerintahan SBY ketika memasuki masa akhir jabatan periode pertama, sejumlah program populis dilakukan. Misalnya, untuk masalah kemiskinan, Presiden mengeluarkan mengeluarkan kebijakan Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan ASKIN serta menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM). Program populis ini, terutama penurunan harga BBM, dinilai mampu meningkatkan apresiasi publik terhadap SBY yang telah merosot dalam tiga tahun pertama masa pemerintahannya. 

Dalam pemilu 2009, SBY yang berpasangan dengan mantan Gubernur Bank Indonesia Boediono, memenangi perolehan suara. Ironisnya, beberapa tokoh PD yang mengusung SBY dengan slogan “Melawan Korupsi” dalam pemilu 2009, banyak yang dijebloskan ke penjara karena korupsi. (Lesmana, Tjipta, 2009).

Sebuah negara demokrasi yang coba dibentuk Presiden Abdurrahman Wahid pada periode singkatnya (20 Oktober 1999-23 Juli 2001) bercita-cita bahwa demokrasi bukan sekadar sebagai gejala politik, melainkan suatu cara untuk menata seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara secara komprehensif dan holistik. (Thomas T. Pureklolon, 2017: 23). Kini semakin mundur dan merosot yang semakin mengukuhkan demokrasi Indonesia sebagai flawed democracy, akibat perilaku elite politik yang justru sudah pernah berkecimpung di dalamnya.

SBY seharusnya banyak belajar dari mantan atasannya di pemerintahan yakni KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), menjadi suri tauladan bagi perkembangan politik demokrasi dengan gaya elegan, humor berupa anekdot dalam menjalankan manajemen pemerintahan. Bahkan Gus Dur tetap menjadi simbol keberagaman dan toleransi yang pluralistis dengan kebijakan politik—sebelum maupun sesudah menjadi Presiden—tetap mengayomi minoritas. Sikap SBY tersebut semakin menjauhkannya dari penghargaan yang suatu saat nanti ia peroleh sebagai “negarawan”.

Seorang negarawan adalah seorang yang dinilai berjasa dan berhasil bagi terciptanya perdamaian, toleransi beragama, dan demokrasi. Sementara SBY? Mengutuk kekerasan dalam unjuk rasa anarkis RUU Cipta Kerja belakangan ini saja tidak dilakukannya. Malah bertindak playing victim yang membuat banyak kalangan menjadi illfeel.

Lalu dimana sikapnya selaku Jenderal yang juga mantan Presiden Indonesia sebagai sikap kenegarawanannya. Sebaiknya SBY tidak melibatkan diri lebih jauh ke ranah politik. Biarkan anak tersayang Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) bermanuver politik agar publik tahu sejauh mana kemampuannya dalam perhelatan politik Indonesia.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun