Gelombang arus digital teknologi di era post-truth, menerjang disrupsi nilai-nilai keislaman dan kemanusiaan kita. Nilai transendental ritual keseharian seseorang, dapat kita lihat dengan jelas implementasinya pada etika, moralitas, dan pergumulan perekonomian penganut-Islam itu sendiri.
Korelasi antara ibadah dengan nilai-nilai kehidupan lahiriah yang bersifat partikular, semestinya membuahkan Islam transendental terhadap kesalehan sosial. Roger Garaudy memaknai transendental dan transendensi dalam buku M. Fahmi, Islam Transendental, Menelusuri Jejak-jejak pemikiran Islam Kuntowijoyo (2005), mencakup tiga perspektif.
Pertama, mengakui ketergantungan manusia kepada pencipta-Nya. Sikap merasa cukup dengan diri sendiri dengan memandang manusia sebagai pusat dan ukuran segala sesuatu bertentangan dengan transendensi. Transendensi mengatasi naluri manusia, seperti keserakahan dan nafsu berkuasa.
Kedua, transendensi berarti mengakui adanya kontinuitas dan ukuran bersama antara Tuhan dan manusia, artinya transendensi merelatifkan segala kekuasaan, kekayaan, dan pengetahuan. Ketiga, transendensi artinya mengakui keunggulan norma-norma mutlak yang melampaui akal manusia.
Di sinilah kemudian ritual ibadah terimplementasi dalam konsep zikir, Â fikir, amal-saleh. Hal tersebut menjadi penting dalam perjalanan kehidupan ummat Islam. Orientasi akhirat menjadi landasan perilaku sosial kesalehan sehari-hari. Zikir merupakan ritus peribadatan bermakna asketisme--manusia bukanlah manusia superior--bergantung kepada Tuhan dan pembersihan hati dari pelbagai penyakit hati.
Menyambung pertalian zikir, fikir membangkitkan spirit epistemologi rasional yang bersumber al-Quran dan as-Sunnah. Meminjam kata Fazlur Rahman Malik (1965), epistemologi "cara berpikir integralistik", bahwa semua kenyataan berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan.Â
Dinilai sangat penting karena Islam adalah sebuah agama dengan sumber daya manusia yang besar, dapat memajukan peradaban manusia, dalam hal ini, tentunya harus didukung oleh cara berpikir secara komprehensif.
Sementara amal-saleh yang merupakan makna simbolik menjadi suatu perlambang transendensi ritual ibadah manusia. Sebagai agen Tuhan yang Esa (khalifatullah), di muka bumi, sudah seharusnya berusaha mempersatukan yang telah tercerai-berai antar sesama, dalam rangka menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, berdasarkan nilai kemanusiaan dengan hati nurani yang luhur.
Selain itu, rela berkorban demi persatuan dan kesatuan sebagai senjata paling ampuh menangkal konflik sosial di tengah disintegrasi. Manusia juga harus senantiasa mengutamakan kepentingan bersama dengan sprit kekeluargaan, dalam permusyawaratan sebagai bagian dari tanggung jawab untuk mencapai kata mufakat. Melalui pemenuhan hak-hak sosial yang berkeadilan, juga merupakan bagian utama esensi kesalehan.
Sejalan dengan perihal amal-saleh di atas, telah termaktub dalam dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yakni Pancasila sakti. Dikatakan sakti, sebab nilai-nilai yang terkandung di dalamnya adalah upaya the founding fathers demi mewujudkan cita-cita sebagaimana konsep zikir, fikir amal-saleh menuju keselamatan dunia dan akhirat.
Di akhirat kelak, tidak bisa negosiasi, tidak ada transaksi, dan tidak juga adanya asosiasi ataupun saling tolong-menolong. Tentunya orang beriman harus bersiap menanggung konsekuensi dalam menjalani kehidupan dengan penuh kesungguhan mengamalkan ajaran Tuhan.