Mohon tunggu...
M. Aminulloh RZ
M. Aminulloh RZ Mohon Tunggu... Guru - Hidup Berpetualang
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Politik hanya momentum, berbuat baik selamanya

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Peranan Media dalam Isu PKI

1 Oktober 2020   10:41 Diperbarui: 1 Oktober 2020   10:48 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Antara perpecahan dan persatuan, buat Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn.) Gatot Numantyo, lebih menarik perpecahan setelah pernyataannya terkait pencopotan dirinya dari  Panglima TNI, lantaran bersikeras menginstruksikan jajaran TNI untuk menonton film Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia atau disingkat G30S/PKI pada selasa (22/9/2020). Hal tersebut menimbulkan pro-kontra sejumlah warganet yang turut berkomentar.

Namun, dua hari kemudian pernyataan tersebut diklarifikasi melalui wawancara Ken Anne TV One pada hari kamis (24/9/2020), bahwa pernyataan Gatot terkait pencopotannya dari Panglima TNI itu, bukan karena instruksinya untuk menonton film G30/SPKI. Ia berujar tidak pernah mengatakan pencopotannya itu adalah akibat instruksinya tersebut.

Hal itu kemudian ditanggapi oleh Mayor Jenderal (Purn.) Tubagus Hasanudin yang juga berkedudukan sebagai Wakil Ketua Komisi I DPR RI. TB Hasanudin mengatakan bahwa pencopotan Jenderal Gatot Nurmantyo dan kemudian mengangkat Marsekal Hadi Tjahyanto sebagai Panglima TNI adalah berdasarkan diskusi, kajian dan fit and proper test yang berkesimpulan disepakati secara aklamasi oleh semua anggota DPR RI, khususnya komisi I.

Selain itu, pencopotan Panglima TNI juga hak prerogatif Presiden. Ia menambahkan, dalam Pasal 13 Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004, tentang TNI dalam ayat kedua berbunyi,  Panglima sebagaimana dimaksud pada ayat satu, diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Jadi clear, tidak ada masalah. Anggota DPR RI juga tidak pernah mendiskusikan keterkaitannya dengan nonton bareng G30S/PKI dan sebagainya.

Terlebih, belum lama ini ratusan massa dari berbagai komponen masyarakat mengepung Gedung Juang 45 Surabaya, senin (28/9/2020). Gedung tersebut akan digunakan sebagai tempat acara Silaturahim Akbar Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) di Jalan Mayjen Sungkono, Kota Surabaya Jawa Timur. Acara tersebut akan dihadiri oleh Jenderal (Purn.) Gatot Nurmantyo dan mantan Ketua umum Muhammadiyah Din Syamsudin.

Berdasarkan beberapa pernyataan di atas, penulis beranggapan bahwa Jenderal (Purn.) Gatot Nurmantyo berupaya meniupkan isu bangkitnya PKI tepat menjelang 30 September 2020. Baik secara langsung melalui deklarasi KAMI, maupun melalui media massa. 

Isu PKI bukan ihwal baru bagi kita semua. Isu itu digoreng kembali oleh beberapa pihak yang berkepentingan untuk mendapatkan simpati masyarakat. Selain itu, desas-desus PKI juga dimainkan dalam rangka membangkitkan emosi dan tensi suhu masyarakat. KH. Said Aqil Siradj pernah mengatakan, "isu dalam bahasa Arab dinamakan hawajiz, isu itu lahir dari ego yang punya kepentingan, atau kelompok yang punya kepentingan, isu yang belum tentu benar, bahkan banyak salahnya."

Dalam hal ini, ada kelompok yang sengaja memercikkan api amarah masyarakat melalui isu PKI di saat dan waktu yang tepat. Adanya suatu kesempatan, kondisi, dan waktu tertentu, dengan mudah kelompok penggembos isu ini, menggerakkan emosi banyak orang dengan mudah. Semakin kita berada di bawah kondisi seperti ini, maka semakin mudah kita untuk marah. Marah terhadap siapa? Siapa lagi kalau bukan pemerintah. 

Sedangkan, isu PKI adalah hal yang usang, apalagi jika dikaitkan dengan pemerintah, dan siapapun yang menjabat di pemerintahan, desas-desus itu akan tetap dihembuskan oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Isu PKI, terus menerus disemburkan dari tahun ke tahun menjelang 30 september. Rumor yang tidak berdasarkan data, fakta, dan kejelasan yang bersifat absurditas terhadap realita yang ada.

Untuk itu, menjadi jelas bahwa isu PKI adalah upaya penekanan yang paling potensial, dalam mengunduh value rating demi menarik simpati publik. Dalam hal ini, peran media digunakan untuk mem-framing isu tertentu. 

Misalnya, ada beberapa isu penting dan aktual yang dapat diberitakan, tentang Covid-19, pilkada di sejumlah daerah, dan peristiwa atau penayangan film G30S/PKI. Maka media tertentu akan memanfaatkan isu yang paling diminati. Hal itulah yang kemudian membuat beberapa media turut menekankan isu untuk di publish. Kita ambil contoh film G30S/PKI yang diproduksi semenjak Tahun 1981 itu, kini ditayangkan oleh media televisi, SCTV dan TV One.

Film yang ditayangkan oleh media tertentu, kemungkinan besar telah terafiliasi dengan kelompok tertentu. Kelompok yang memiliki kepentingan untuk menaikkan emosional masyarakat, terutama umat Islam terhadap peristiwa 55 tahun yang lalu. Maka media tersebut membuat semacam agenda setting untuk mengkonstruk pola pikir masyarakat--human interest terhadap isu yang coba digulirkan--paling menonjol dalam hal ini adalah TV One, Viva News dan semua elemen dalam PT Visi Media Asia Tbk.

Tentu saja relasi tersebut telah menunjukkan subjektivitas suatu media. Corong media yang tidak berimbang, berakibat pada pola destruktif dan polarisasi di antara masyarakat, hanya sekadar memperoleh keuntungan pribadi yang mendistorsi. Tidak faktual dan penggiringan opini publik yang berakibat pada terjadinya disintegrasi. Luasnya dampak (consequence) di masyarakat dari pemberitaan dan penayangan suatu benturan di masa lalu, tidak diperhitungkan secara matang.

Paling menarik pada sebuah media massa, dalam buku yang ditulis Edward S. Herman dan Noam Chomsky, manufacturing consent (1988), yang mengungkapkan bahwa filter terakhir adalah ideologi antikomunisme. Komunisme adalah momok yang sangat menakutkan bagi pemilik properti (public fear), karena mengancam posisi dan status superior. 

Mekanisme kontrol anti-komunis menjangkau melalui sistem untuk melakukan pengaruh besar pada media massa. Mereka mengarahkan pemikiran, interpretasi dan devinisi apa berita yang layak diberitakan dan menjelaskan landasan dan operasi yang sebenarnya adalah kampanye propaganda.

Dalam buku tersebut juga ditegaskan bahwa perusahaan media yang besar, mereka dikontrol oleh orang-orang kaya, oleh para manajer, yang tunduk pada pemilik perusahaan dan berpikiran hanya mengejar keuntungan. Hal tersebut menunjukkan manufacturing consent, beralih menjadi manufacturing content.

Idealnya, media harus senantiasa menjadi pembawa informasi yang membimbing masyarakat, menyuguhkan pengertian terkait perkembangan di sekitar, dan mendorong masyarakat untuk melepaskan segala kesulitan. Media juga tentu harus berupaya objektif dalam memuat konten pemberitaan melalui sumber-sumber resmi dan kredibel. Misalnya, media televisi yang mewawancarai Babe Haikal Hassan atau ustadz-ustadz provokatif lainnya, dalam menanggapi fenomena sosial beragama, maka kredibilitas dan integritas amat sangat diragukan dan tak terpercaya.

Selain itu, media juga harus menerima dan melaksanakan pembangunan-pembangunan positif masyarakat, sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan secara nasional. Tugas dan fungsi media lebih diperhatikan lagi, seperti informasi, kontrol, bimbingan, hiburan, regeneratif pengenalan budaya di masa lalu, pengawalan hak-hak warga negara, ekonomi, dan swadaya.

Media semestinya mampu membentengi diri dari pengaruh dan tekanan dalam bidang keuangan. Jika media dapat dipengaruhi uang, maka ia dapat dikendalikan oleh siapapun, otomatis reputasinya pun akan hancur. Sama halnya dengan menempatkan diri pada ketiak siapa saja yang mampu membayar jasanya.

Karenanya, pembentukan opini melalui beberapa media yang menayangkan isu PKI, sekaligus mempertontonkan film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI yang dipertanyakan fakta sejarahnya, adalah sebuah pembodohan masyarakat. Tidak mendidik dan menjerumuskan masyarakat pada kesesatan dalam konteks sejarah bangsa. 

Penulis tidak berpendapat bahwa film tersebut tidak perlu ditayangkan. Bahkan lebih dari itu,  film garapan Arifin Chairin Noer dari segi artistik, seni, dan dramatisasinya, adalah sebuah karya yang apik. Namun, sangat disayangkan, kembali masyarakat disuguhi fakta sejarah dan sebuah kenisbian yang mendistorsi oleh kelompok kepentingan Orde Baru.

Melalui film itu, peranan media begitu besarnya terhadap pembentukan opini publik dalam memandang histori Indonesia. Tidak berimbang dan tidak adanya second opinion terhadap fakta sejarah yang sebenarnya. Masyarakat akan tetap mengikuti tren di media massa, sehingga isu yang dimainkan oleh kelompok kepentingan, dalam peranan media sebagai penekanan, akan dimenangkan. Dengan demikian peranan media massa sangat penting terutama memberikan pencerahan masyarakat, bukan mengambil keuntungan berdasarkan tingkat rating penonton.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun