Mohon tunggu...
M. Aminulloh RZ
M. Aminulloh RZ Mohon Tunggu... Guru - Hidup Berpetualang
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Politik hanya momentum, berbuat baik selamanya

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jangan Pernah Lelah Mengkritisi HTI

21 September 2020   12:40 Diperbarui: 21 September 2020   12:40 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tidak pernah habis suara khilafah ala Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menggema di jagat maya, maupun dunia nyata. Narasi dan perdebatan khilafah dan sistem negara terus bergema. Segelintir umat Islam yang bersuara khilafah dan anti-Pancasila cukup mengganggu keberlangsungan pembangunan di Tanah Air kita tercinta. Terutama sekali, menghiasi dinding-dinding timline media sosial internet pada jaringan maya.

Terlebih, pengguna internet di Indonesia terus meningkat tajam sebelum merebaknya virus korona. Berdasarkan berita kompas, kamis (20/2/2020), pemakai digital internet di Indonesia mencapai 175,4 juta orang. Artinya penerobosan digital internet dibandingkan jumlah penduduk yang sudah mencapai 64% dengan menghitung jumlah penduduk Indonesia 272,1 juta. kemungkinannya, pandemi Covid-19 ini, para pengguna internet lebih meningkat. Hal ini tentu menjadi pasar penyebaran wacana khilafah yang cukup menjanjikan.

Jika kita menoleh sejenak pada masa runtuhnya kekuasaan dinasti Ottoman di Tahun 1924, dan penjajahan bangsa Eropa terhadap wilayah-wilayah Islam, semakin membuat posisi Islam bagai kehilangan induknya. Persoalan kompleks demikian, melahirkan gagasan pengembalian sistem politik Islam dan tatanan dinasti kekhalifahan.

Hassan al-Banna memberikan ide pembentukan kembali negara dan dinasti khilafah pada Tahun 1928 dengan mendirikan Ikhwanul Muslimin sebagai motor penggerak politiknya. Namun, gerakan politik tersebut menimbulkan pro-kontra hebat, hingga dijadikan sebagai momok dalam pembaharuan Islam. Ikhwanul Muslimin kemudian ditekan oleh banyak pembesar Islam sendiri. Akan tetapi, gerakan politik pan-Islam tersebut tetap menyebarkan pahamnya ke seantero jagat raya, sampai ke Indonesia

Tidak hanya Hassan al-Banna, Taqiyuddin an-Nabhani sebagai pengikutnya, memisahkan diri dan membentuk sebuah gerakan politik yang bercita-cita mengembalikan negara-bangsa (nation state) menjadi dinasti kekhalifahan, sebagaimana Umayyah, Abbasiyah, Fatimiyah dan seterusnya. Taqiyuddin menamakan gerakannya Partai Pembebasan (Hizbut Tahrir) sebagai "transportasi politik" pada Tahun 1953 di Palestina, hingga menjadi gerakan mondial, tak terkecuali Indonesia.

Belakangan, diskursus khilafah terus bergelora yang mengakibatkan stabilitas nasional sedikit goyah. Wacana khilafah HTI banyak menimbulkan kegelisahan pada sejumlah negara yang mayoritas berpenduduk Islam. Di Indonesia sendiri, wacana khilafah menuai polemik dan penolakan oleh sejumlah organisasi masyarakat (ormas) Islam yang telah menanamkan saham terbesarnya di Indonesia, seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Al-Washliyah dan banyak ormas Islam lainnya.

Alasannya tentu saja ideologi dan gagasan khilafah Islamiyah sudah tidak relevan dengan kondisi global saat ini. Selain itu, ide HTI yang memiliki impian menegakkan khilafah di Indonesia, bertentangan dengan ideologi negara: Pancasila, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika dan UUD 1945.

Pasca-runtuhnya dinasti kekhalifahan utsmaniyah, sebenarnya sudah banyak muncul pertentangan mengenai gagasan khilafah oleh para pemikir Islam dan aktivis politik Islam pada waktu itu, terkait esensialnya mengembalikan khilafah. Mengingat, dalam Al-Quran tidak menyebutkan khilafah sebagai sebuah bentuk negara dan pemerintahan.

Prof. Azyumardi Azra yang menulis artikel di geotimes, jumat (4/9/20), bahwa ketiadaan konsep yang jelas dalam Al-Quran dan hadis. Yang ada hanyalah beberapa prinsip dasar tentang politik pemerintahan atau negara seperti, al-adalah (keadilan), al-musawa (kesetaraan), Syura (musyawarah atau konsultasi). Hasilnya berbagai bentuk negara muncul sepanjang sejarah Pasca-Nabi (masa klasik, abad pertengahan dan modern) sampai sekarang. Selain itu, Prof. Azyumardi Azra juga memandang wacana khilafah hanya romantisasi, idealisasi, dan ideologisasi atas khilafah melalui misreading dan misconception.

Narasi khilafah akan semakin deras mengalir, ketika negara mengalami kegagalan dalam sejumlah perwujudan dalam rangka kemajuan, baik dalam politik, Pendidikan, ekonomi, teknologi, budaya, dan sebagainya.

Wacana khilafah HTI yang ahistoris itu harus terus kita konter semaksimal mungkin, karena sedikit saja mereka bergerak, maka akan "geger" dan mengganggu keseimbangan dalam rangka membangun kemajuan bangsa. Kita selalu terjebak pada seputar diskursus pemaknaan Pancasila, namun kurang dalam implementasinya. 

Kita semua yang memiliki pemahaman wasathiyah (moderat) dalam memandang Islam terhadap realitas dan idealitas untuk kesejahteraan negara, diminta turun langsung pada akar rumput, memberi pemahaman-pemahaman positif pada kalangan Muslim, terutama kaum Muslim urban. Muslim urban cenderung memiliki karakteristik ideologi kaku, keras dan ekstrem dalam konteks ke-Indonesiaan.

Sejumlah aktivitas pejuang khilafah HTI tidak akan jauh dari mengorganisir demontrasi, menyelenggarakan seminar dan diskusi publik, silaturahim ke berbagai ormas yang lebih besar, dan pemegang kekuasaan. Selain itu, mereka juga bergerak di internet dan beberapa platform media, seperti website, Youtube, Facebook, Intagram, Twitter, dan dunia maya lainnya.

Jangan biarkan wacana khilafah HTI terus meracuni ideologi bangsa ini. Sebab khilafah HTI bermuara pada radikalisme yang akan mengubah tatanan negara. Muhammad Khamdan dalam Rethinking Deradikalisasi: Kontruksi Bina Damai Penanganan Terorisme (2015: 3), mengungkapkan bahwa radikalisme merupakan pandangan yang ingin melakukan suatu perubahan mendasar sesuai dengan interpretasi ideologi yang dianut ataupun realitas sosial yang ada. Perubahan radikal tersebut dapat dilakukan secara persuasif yang damai, tetapi juga dapat dengan kekerasan fisik ataupun kekerasan simbolik.

Sebagaimana HTI yang menginginkan perubahan secara radikal pada dasar negara. HTI juga bergerak secara soft. Tapi tidak menutup kemungkinan ke depannya, partai pembebasan itu dapat melakukan sebuah gerakan kekerasan jika sudah menguasai berbagai sektor, lantaran pahamnya sudah merebak ke berbagai kelompok, maupun personal, seperti mahasiswa, pengusaha, akademisi, aparat sipil negara (ASN), influencer dan kaum Muslim urban.

Yang lebih berbahaya adalah ketika aktivis khilafah HTI mendekap aparat keamanan dan Tentara Nasional Indonesia. Dengan alusista dan persenjataan yang lengkap, pasukan keamanan negara,  dapat mengkudeta, menumpahkan darah, perang saudara dan meracau. Sebagaimana sudah terjadi di sejumlah negara di Timur Tengah dan Afrika. Tidak ada yang lebih mengerikan dari hal itu.

Oleh karenanya, seberapa kecil pun perjuangan kita dalam mengkritisi gagasan dan wacana khilafah HTI, maka nilai manfaatnya bukan hanya untuk kita semua, melainkan untuk generasi mendatang. Selagi kita tetap berpegang teguh pada nilai-nilai Pancasila, menanamkan rasa cinta Tanah Air, dan bersatu dalam satu kesatuan Indonesia, maka senjata apapun tidak akan bisa menembus pertahanan politik kebangsaan yang telah ditanam oleh para pendiri bangsa ini.

Suatu hal yang kebetulan dan keberuntungan bagi kita semua pada ungkapan Empu Tantular, yakni "Bhineka Tunggal Ika". Para ulama membuat satu konsensus bersama. Memufakati dan menerima negara yang bukan negara Islam, apalagi khilafah. Para ulama berjuang dengan darah dan air mata demi kita semua. Sebagai cucu dan generasi penerus, sudah sepatutnya kita meneruskan perjuangan serta berupaya sekuat tenaga---tidak akan lelah mempertahankannya dari rongrongan khilafah yang berusaha merusaknya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun