Tidak pernah habis suara khilafah ala Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menggema di jagat maya, maupun dunia nyata. Narasi dan perdebatan khilafah dan sistem negara terus bergema. Segelintir umat Islam yang bersuara khilafah dan anti-Pancasila cukup mengganggu keberlangsungan pembangunan di Tanah Air kita tercinta. Terutama sekali, menghiasi dinding-dinding timline media sosial internet pada jaringan maya.
Terlebih, pengguna internet di Indonesia terus meningkat tajam sebelum merebaknya virus korona. Berdasarkan berita kompas, kamis (20/2/2020), pemakai digital internet di Indonesia mencapai 175,4 juta orang. Artinya penerobosan digital internet dibandingkan jumlah penduduk yang sudah mencapai 64% dengan menghitung jumlah penduduk Indonesia 272,1 juta. kemungkinannya, pandemi Covid-19 ini, para pengguna internet lebih meningkat. Hal ini tentu menjadi pasar penyebaran wacana khilafah yang cukup menjanjikan.
Jika kita menoleh sejenak pada masa runtuhnya kekuasaan dinasti Ottoman di Tahun 1924, dan penjajahan bangsa Eropa terhadap wilayah-wilayah Islam, semakin membuat posisi Islam bagai kehilangan induknya. Persoalan kompleks demikian, melahirkan gagasan pengembalian sistem politik Islam dan tatanan dinasti kekhalifahan.
Hassan al-Banna memberikan ide pembentukan kembali negara dan dinasti khilafah pada Tahun 1928 dengan mendirikan Ikhwanul Muslimin sebagai motor penggerak politiknya. Namun, gerakan politik tersebut menimbulkan pro-kontra hebat, hingga dijadikan sebagai momok dalam pembaharuan Islam. Ikhwanul Muslimin kemudian ditekan oleh banyak pembesar Islam sendiri. Akan tetapi, gerakan politik pan-Islam tersebut tetap menyebarkan pahamnya ke seantero jagat raya, sampai ke Indonesia
Tidak hanya Hassan al-Banna, Taqiyuddin an-Nabhani sebagai pengikutnya, memisahkan diri dan membentuk sebuah gerakan politik yang bercita-cita mengembalikan negara-bangsa (nation state) menjadi dinasti kekhalifahan, sebagaimana Umayyah, Abbasiyah, Fatimiyah dan seterusnya. Taqiyuddin menamakan gerakannya Partai Pembebasan (Hizbut Tahrir) sebagai "transportasi politik" pada Tahun 1953 di Palestina, hingga menjadi gerakan mondial, tak terkecuali Indonesia.
Belakangan, diskursus khilafah terus bergelora yang mengakibatkan stabilitas nasional sedikit goyah. Wacana khilafah HTI banyak menimbulkan kegelisahan pada sejumlah negara yang mayoritas berpenduduk Islam. Di Indonesia sendiri, wacana khilafah menuai polemik dan penolakan oleh sejumlah organisasi masyarakat (ormas) Islam yang telah menanamkan saham terbesarnya di Indonesia, seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Al-Washliyah dan banyak ormas Islam lainnya.
Alasannya tentu saja ideologi dan gagasan khilafah Islamiyah sudah tidak relevan dengan kondisi global saat ini. Selain itu, ide HTI yang memiliki impian menegakkan khilafah di Indonesia, bertentangan dengan ideologi negara: Pancasila, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika dan UUD 1945.
Pasca-runtuhnya dinasti kekhalifahan utsmaniyah, sebenarnya sudah banyak muncul pertentangan mengenai gagasan khilafah oleh para pemikir Islam dan aktivis politik Islam pada waktu itu, terkait esensialnya mengembalikan khilafah. Mengingat, dalam Al-Quran tidak menyebutkan khilafah sebagai sebuah bentuk negara dan pemerintahan.
Prof. Azyumardi Azra yang menulis artikel di geotimes, jumat (4/9/20), bahwa ketiadaan konsep yang jelas dalam Al-Quran dan hadis. Yang ada hanyalah beberapa prinsip dasar tentang politik pemerintahan atau negara seperti, al-adalah (keadilan), al-musawa (kesetaraan), Syura (musyawarah atau konsultasi). Hasilnya berbagai bentuk negara muncul sepanjang sejarah Pasca-Nabi (masa klasik, abad pertengahan dan modern) sampai sekarang. Selain itu, Prof. Azyumardi Azra juga memandang wacana khilafah hanya romantisasi, idealisasi, dan ideologisasi atas khilafah melalui misreading dan misconception.
Narasi khilafah akan semakin deras mengalir, ketika negara mengalami kegagalan dalam sejumlah perwujudan dalam rangka kemajuan, baik dalam politik, Pendidikan, ekonomi, teknologi, budaya, dan sebagainya.
Wacana khilafah HTI yang ahistoris itu harus terus kita konter semaksimal mungkin, karena sedikit saja mereka bergerak, maka akan "geger" dan mengganggu keseimbangan dalam rangka membangun kemajuan bangsa. Kita selalu terjebak pada seputar diskursus pemaknaan Pancasila, namun kurang dalam implementasinya.Â