Mohon tunggu...
M. Aminulloh RZ
M. Aminulloh RZ Mohon Tunggu... Guru - Hidup Berpetualang
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Politik hanya momentum, berbuat baik selamanya

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Islam, Nasionalisme, dan Kemanusiaan

8 September 2020   12:20 Diperbarui: 8 September 2020   12:23 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan”, demikian Presiden Indonesia ke-4 KH. Abdurrahman Wahid atau biasa kita kenal dengan sebutan Gus Dur, pernah menyuarakan. Mencintai Islam, berarti mencintai kemanusiaan.

Pemahaman kaum konservatif Indonesia dengan atas nama cinta Islam dan cinta Negara Kesatuan Republik Indonesia, kadang-kadang berperilaku abai terhadap sisi kemanusiaan.

Sebagian kelompok pejuang formalisasi syariat, tidak sadar bahwa dirinya tak memedulikan sisi kemanusiaan, hanya karena persoalan politik. 

Padahal jika ia sadar, maka Islam sebagai landasan hidup manusia, dan Tuhan sebagai sang pencipta manusia, seharusnya bermuara pada sisi kemanusiaan. Sama sekali tidak ada kekerasan dalam agama.

Ironisnya, dalam memperjuangkan syariat Islam, mereka sering mengutip ayat dan dalil-dalil untuk melegetimasi kepentingan dan kelompok tertentu, bahkan ayat dan dalil Al-Quran dibuat menyeramkan dan menakutkan untuk kemudian digunakan  dalam melegalkan perilaku mengancam, membunuh, mengkafirkan sesama Muslim, dan menjadi penyemangat untuk merubah ideologi negara, Pancasila dan UUD 1945, menjadi negara khilafah atau negara Islam.

Meurut Khaled M. Abou Fadl dalam teori otoritarianisme bahwa para tokoh agama tidak lagi bicara tentang Islam, melainkan berbicara “atas nama Tuhan”, atau bahkan menjadi “corong Tuhan” itu sendiri!

Ketika pendakwaan absolut ini menyatu dengan kekuasaan despotik, maka kita menemukan “perselingkuhan agama” dengan kekuasaan yang sangat berbahaya sebagai otoritarianisme atau kesewenang-wenang pembaca.

Apa yang disuarakan sang penafsir teks Al-Quran dan hadis Nabi itu dianggap “suara Tuhan” dalam rangka kepentingan formalisasi syariat Islam ke dalam negara, membuktikan bahwa dirinya telah berperilaku otoriter terhadap agama untuk mendorong ke arah yang sesuai dengan hajatnya.

Akibatnya, yang awam terhadap agama akan mempercayai dengan penuh semangat beragama yang tinggi, serta tidak dibekali keilmuan yang cukup, maka yang timbul adalah sikap berlebihan yang bisa berakibat pada fanatisme buta, hingga ia tidak menyadari bahwa perilakunya sudah keluar dari batas-batas syariat Islam itu sendiri.

Tidak bisa dipungkiri, bahwa manusia memang memiliki rasa cintanya pada agama, ataupun bangsanya. Bahkan rela berkorban harta, benda, tenaga, pikiran, bahkan nyawanya sendiri, demi kemajuan agama dan negaranya.

Namun, tidak bisa dipungkiri juga, bahwa realitas yang ada saat ini untuk memajukan keduanya, adalah dengan persatuan, bekerjasama dalam pembangunan ekonomi, pendidikan, keamanan, dan kesejahteraan, dengan nilai-nilai Islam yang universal (rahmatan lil alamin).

Hal itu dapat dicapai dengan baik tanpa formalisasi agama tertentu untuk mewujudkannya, hanya mengimplementasikan syariat Islam pada nilai substansi kehidupan, maka visi Indonesia emas yang dicita-citakan dapat tercapai sesuai harapan bersama.

Jika rasa cinta itu tumbuh pada salah satunya, maka yang terjadi adalah pembelahan. Misalnya, cinta kita terhadap bangsa dan negara saja, maka nilai-nilai penting dalam penerapan syariat agama akan diabaikan, maka akan muncul perilaku korupsi, sogok-menyogok, individualisme sekuler, dan lain sebagainya.

Begitupun sisi agama saja, maka yang terjadi adalah perpecahan, polarisasi, konservatisme, puritanisme, dan radikalisme.

Sikap cinta Tanah Air, dapat dibuktikan dengan sikap patriotis dan nasionalis demi kesejahteraan bangsa. Sedangkan sikap cinta terhadap agama Islam, diimplementasikan melalui sikap kemanusiaan, akhlak, dan moralitas yang mencerminkan rahmatan lil alamin dalam kehidupan. Hal tersebut, dapat berjalan beriringan untuk sebuah peradaban Indonesia kedepan menuju Indonesia berkemajuan.

Tahir Bawazir mengungkapkan bahwa dengan nasionalisme, satu sama lain antar bangsa dapat berlomba-lomba dalam kebaikan, sebagaimana itu merupakan salah satu misi Al-Quran.

Hal tersebut juga didukung oleh Muhammad Iqbal, cendekiawan Islam kontemporer, bahwa nasionalisme tidak akan memecah belah umat Islam. Menurut dia, perbedaan teritorial tidak berarti akan berdampak pada perpecahan. Karena Al-Quran juga mengajarkan perbedaan, sekaligus berlomba-lomba dalam kebaikan.

Al-Quran memang tidak secara eksplisit menyebutkan tentang nasionalisme. Namun, walau tidak ada istilah nasionalisme secara tertulis di dalam Al-Quran, bukan berarti konsep nasionalisme tidak ada sama sekali pemaknaannya, karena Al-Quran adalah kitab suci yang di dalamnya terdapat segala persoalan, baik di bumi maupun di akhirat.

Yang perlu kita perhatikan adalah substansi ayat dalam Al-Quran dalam menilai konsep nasionalisme. Maka penelitian itu menemukan ayat dalam Al-Quran yang mencakup isyarat cinta Tanah Air dan bangsa, dalam (Q.S. Al-Hujurat [49]:13) yang artinya:

Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah Ialah yang paling bertaqwa diantara kamu. Sesunggunya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

Dari kutipan Al-Quran di atas, maka jelas sekali, kalau manusia itu diciptakan oleh Tuhan dengan berbeda-beda, jenis kelamin, suku, bangsa, warna kulit, bahasa, bahkan pola pikir, yang bertujuan saling mengenal satu sama lainnya. Hal ini tentu saja telah mematahkan pendapat beberapa pihak yang anti terhadap nasionalisme.

Dalam ayat tersebut juga menekankan takwa yang berarti berbakti, patuh, atau ketaatan, baik dalam aturan hukum bernegara dengan nilai-nilai syariat Islam maupun beragama, dalam bingkai spirit  kebangsaan.

Dengan begitu, kita dapat menyemai nilai-nilai syariat Islam ke dalam semangat nasionalisme kebangsaan di rumah besar kita, Indonesia. Dengan harapan besar yang nantinya bisa terwujud sebagai negara baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur (negeri baik yang diampuni oleh Tuhan).

“Islam dan nasionalisme adalah dua kekuatan yang harus disatukan. Islam menjadi kuat karena menyatu dengan naionalisme, dan nasionalisme menjadi memiliki nilai dan spirit ketika diisi nilai-nilai Islam.” Demikian pesan dari KH. Hasyim Asyari mengakhiri tulisan ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun