Yang jadi pertanyaan, mengapa imperium sebesar Abbasiyah itu bisa hancur berkeping-keping oleh pasukan mongol? Bahkan khalifah sendiri dibunuh. Ini adalah sebuah tragedi politik dinasti yang tetap mencoba mempertahankan kekuasaannya dengan tidak memperhatikan pertahanan sebuah negara.
Demikian pula ketika Hizbut Tahrir di Indonesia (HTI) dibubarkan oleh pemerintah pada tahun 2017 yang lalu, anggota HTI berdiaspora melalui Yayasan-yayasan, majelis-majelis, media-media dan banyak tempat lainnya yang menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Bahkan belum lama ini, Barisan Ansor Sebaguna Nahlatul Ulama (Banser NU) Bangil Pasuruan, Jawa Timur, menggruduk Yayasan yang menjadi markas HTI, kamis (20/8/20) dengan tujuan tabayyun atas penghinaan terhadap Habib Luthfi Bin Yahya melalui pemilik akun facebook Abdul Halim. Rabu (19/8/20).Â
Dalam aksinya tersebut, Banser menemukan foto Presiden Joko Widodo di coret-coret kumis, terkesan bullying terhadap presiden. Banyak pula ditemukan buletin terbitan HTI, serta tidak adanya bendera merah putih dalam Yayasan itu. Padahal baru tiga hari sebelumnya merayakan hari kemerdekaan Indonesia.
Kembali ke era khalifah Al Mutashim. Sang Khalifah menunjuk wazir (menteri) seorang yang beragama Kristen bernama al-Fadl bin Marwan. Imam Thabari mencatat bahwa banyak urusan departemen dibawah kontrol Fadl, keuangan negara pun menjadi stabil dibawah kontrolnya.Â
Tapi seperti yang lain, ia di penjara akibat tidak mengikuti perintah Khalifah ketika khalifah ingin memberi sejumlah harta pada seniman, dengan alasan ingin menghemat kas negara. Apakah jika khilafah diterapkan, sistem yang dijalankan akan demikian juga? Siapa yang menentang khalifah, akan dipenjara, atau dibunuh.
Fakta sejarah tersebut tentu saja tidak bisa ditutup-tupi, jelas, terang benderang bahwa kekuasaan politik dinasti khilafah pada contoh di atas adalah dinasti yang tidak semulus mereka pikirkan, dan bukanlah solusi terbaik seperti yang selalu dikampanyekan pejuang khilafah. Masih banyak contoh tragedi politik dan kekejaman serupa yang dilakukan oleh khalifah di era khilafah. Kenyataan tersebut bukan lagi sebuah misteri dan rahasia bagi umat Islam, jelas tertulis dalam tinta sejarah.
Dengan demikian, penulis mengingatkan semua, penegakkan sistem khilafah di Indonesia, maupun di seluruh dunia adalah sebuah kerja sia-sia, tidak akan bisa diterima oleh masyarakat, pemerintah, dan akan dimusuhi oleh negara. Era kekhalifahan tidak seromantis film JKDN. Sejarah mencatat, tidak ada jejak khilafah ala Hizbut Tahrir di Nusantara.Â
Itu sebuah pendustaan sejarah. Yang ada adalah jejak khilafah di Nusantara pada abad 20-21, era digitalisasi revolusi industri 4.0 sekarang ini, jejak khilafah di Nusantara mungkin sudah banyak tersebar dengan provokasi, kelicikan, klaim, kebohongan, produksi hoaks, pengkafiran, propaganda, dan adu domba umat Islam di Indonesia. Hal itu bisa kita perhatikan saat momentum politik berlangsung, terutama pilkada dan pilpres.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H