Mohon tunggu...
M. Aminulloh RZ
M. Aminulloh RZ Mohon Tunggu... Guru - Hidup Berpetualang
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Politik hanya momentum, berbuat baik selamanya

Selanjutnya

Tutup

Politik

Nasionalisme Nabi dan Nasionalisme Kiai

26 Agustus 2020   14:05 Diperbarui: 19 Oktober 2020   17:49 530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nabi Muhammad SAW tidak mendirikan negara Islam, melainkan negara Madinah. Dalam pandangan para ulama, khususnya Nahlatul Ulama (NU), nasionalisme terkait erat dengan Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah). Ketua Umum PBNU 1999-2010, KH. Hasyim Muzadi  dalam sebuah video pernah mengatakan: "Namanya menarik bukan negara Islam, tapi Piagam Madinah, ini contoh Rasulullah sendiri. Bukan oleh orang lain." Menurut KH. Hasyim Muzadi, Rasulullah SAW adalah seorang Rasul yang memiliki mukjizat, kelebihan daripada manusia lain, Rasulullah SAW bisa membaca situasi di masa depan dalam kelanjutan dunia ini, bentuk dan sistem tata negara tidak mungkin akan sama.

Para ahli politik Islam, seperti Montgomery Watt (1998) dan Bernard Lewis (1994) menganggap bahwa Nabi Muhammad SAW telah membuat cikal bakal terbentuknya negara nasional atau kebangsaan. Nabi tidak hanya sebagai pemimpin agung dalam agama, tetapi juga pemimpin negara. Oleh karena itu, para ulama dan pendiri bangsa Indonesia  sebetulnya sudah merujuk pada perspektif khazanah Islam klasik, berdasarkan apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW Bersama penduduk Madinah.

Nabi Muhammad SAW membuat sebuah kesepakatan, aturan, perjanjian damai, perundang-undangan dalam kemajemukan, dengan penduduk Madinah yang saat itu masih bernama kota Yatsrib. Menurut KH. Said Aqil Siradj, Ketua Umum tanfidziyah, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), "15 abad lalu Nabi Muhammad SAW telah berhasil membangun umat yang tidak berdasarkan agama, dan suku, semua bersatu tinggal di Madinah." Jumat (19/1/18). Selain itu, Nabi juga mempunyai jiwa nasionalisme yang tinggi, meski sudah delapan tahun lamanya tinggal di Yatsrib, beliau ingin kembali ke kota Makkah.

Sebelum kedatangan Nabi Muhammad SAW, kota Yatsrib dihuni oleh berbagai suku yang terus berperang sepanjang tahun, terutama suku Aus dan Suku Khazraj. Bersama sekutu mereka dari agama Yahudi, yakni bani Quraizhah dan bani Nadhir terus bertempur tanpa henti. Di kota tersebut juga terdapat agama Kristen, Yahudi, penyembah berhala, bahkan majusi atau penyembah api. Ada pendatang (Muhajirin), dan ada pula pribumi (Ansor).

Kota yang dalam situasi carut-marut seperti itu, Nabi Muhammad SAW datang bagai utusan perdamaian  diantara kelompok yang berselisih. Memang sebelumnya sudah tersiar kabar bahwa Nabi akan datang sebagai juru damai dari kalangan Yahudi yang meyakini berdasar pada kitabnya. Kelompok yang berseteru pun merindukan perdamaian diantara mereka.

Setelah itu, Nabi mempersaudarakan kaum pendatang (Muhajirin) karena keterbatasan akibat meninggalkan keluarga dan harta mereka di Makkah dengan penduduk setempat (Ansor) yang siap menampung saudara se-iman mereka. Selanjutnya, Nabi Muhammad SAW membuat konsensus Bersama seluruh penduduk Yatsrib yang kemudian kita kenal sebagai Piagam Madinah. Piagam tersebut memuat 47 pasal. Pasal-pasal itu berisi aturan sistem perpolitikan, kebebasan menganut agama, hukum, kesetraan, kemanan, dan pertahanan Madinah. Haram hukumnya berperang di Madinah, siapapun yang melanggarnya maka mendapatkan konsekuensi hukum yang disepakati.

Yahudi dan Kristen dianggap satu saudara dengan Muslim selama mereka tidak menentang dan memberontak pada pemerintahan. Mereka juga bertanggung jawab dalam menjaga keutuhan dan kedaulatan negara. Kekompakan tersebut menciptakan negara yang kuat dan berdaulat. Tidak lama, Madinah menjadi negara yang disegani. Nabi memenuhi hak asasi manusia dengan membebaskan pemeluk agama untuk meyakini agamanya masing-masing, dan kesetaraan di mata hukum, membangun perekonomian yang kuat, menghapus perbudakan dan hal-hal positif lainnya, ini menggema di seluruh antero jazirah Arab. Hingga fatkhul Makkah pun tidak mengangkat senjata, melainkan mengajak untuk Bersama-sama membangun kedaulatan negara yang berkemajuan dan berperadaban.

Dalam konteks ke-Indonesiaan, Piagam Madinah adalah sebuah rujukan para ulama pendiri bangsa Indonesia, utamanya Ulama NU memandang untuk keberlangsungan kehidupan dalam berbagai perbedaan yang beragam suku dan keyakinan. Kenyataan pluralitas di Indonesia bisa dilihat dari rancangan konstitusi Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul, sekaligus kepala pemerintahan untuk menjaga keutuhan negara, merawat perdamaian, dan nilai-nilai keadilan.

Nabi Muhammad SAW tidak mendeklarasikan pemerintahannya atau negaranya sebagai negara Islam, akan tetapi negara kesepakatan yang disebut al-Madinah al-Munawaroh, artinya kota yang bercahaya. Kota dengan masyarakat madani, berpikir maju, berperadaban dan wujud nyata saling menghargai kebhinekaan dengan nasionalisme tinggi mempertahankan kedaulatan Madinah dari serangan luar.

Masa sekarang ini, nasionalisme sudah sedikit luntur dikalangan anak-anak muda Indonesia. Kondisi seperti itu terbukti dalam beberapa kasus belakangan ini, seperti tidak mempunyai kebanggaan terhadap produk dalam negeri, lebih memilih produk luar, tidak percaya pemerintah dan kebencian terhadap pemerintah, dan maraknya organisasi trasnasional dengan mengatasnamakan agama seperti Hizbut Tahrir (HT). Habib Luthfi Bin Yahya mengatakan: "Kecintaan terhadap tanah air akan mempengaruhi perkembangan dan kemajuan suatu bangsa. Jika nasionalisme kita semakin melemah, jangan harap kita sebagai Muslim bisa menjawab tantangan umat dan tantangan bangsa." Habib Luthfi juga menegaskan bahwa cinta dan bangga terhadap Tanah Air, bukan kesombongan, melainkan wujud rasa syukur terhadap Allah SWT dan Rasul.

Fakta nasionalisme bangsa Indonesia itu dibuktikan Ketika Muktamar NU ke-11 pada tahun 1936 di Banjarmasin, memutuskan berdasar pada fiqih Islam, bahwa jika Indonesia merdeka suatu saat nanti, maka bentuk dan sistem negara Indonesia tidak negara Islam (Dar al-Islam), bukan pula negara perang (Dar al-Harb), akan tetapi negara damai (Dar ash-Shulh) sesuai dengan apa yang dilakukan Nabi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun