Mohon tunggu...
M. Aminulloh RZ
M. Aminulloh RZ Mohon Tunggu... Guru - Hidup Berpetualang
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Politik hanya momentum, berbuat baik selamanya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jejak Khilafah atau Jejak Khawarij?

5 Agustus 2020   08:00 Diperbarui: 5 Agustus 2020   08:07 887
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh. M. Aminulloh RZ

Pada minggu pagi (2/8), saya membaca sebuah leaflet talk show launching film Jejak Khilafah di Nusantara, melalui youtube Chanel Khilafah, yang mengupas  cerita sejarah tentang khilafah di Nusantara dan bagaimana dengan kehidupan, keislaman dengan kekhilafahan Islamiyah. Yang menjadi host dalam leaflet tersebut adalah Ust. Felix Siaw, dengan bintang tamu Ust. Ismail Yusanto, Ust. Rokhmat S. Labib, dan Nicko Pandawa sebagai director sekaligus script writer dari film Jejak Khilafah di Nusantara.

Saya teringat, 3 tahun yang lalu, ketika Menkopolhukam Wiranto mengumumkan perppu Nomor 2 tahun 2017 tentang organisasi kemasyarakatan, mencabut izin organisasi masyarakat yang menentang Pancasila, dalam hal ini adalah organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Bahkan setelah organisasi HTI mengajukan gugatan, keputusan PTUN tetap menolak gugatan HTI terhadap Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, yang sebelumnya mengumumkan pembubaran organisasi yang berideologi khilafah tersebut.

Berdasarkan data yang saya peroleh dari media mainstream pada saat itu, Indonesia adalah negara ke-21 yang membubarkan organisasi Hizbut Tahrir. Sebelum Indonesia, Arab Saudi sudah lebih dulu membubarkan organisasi tersebut, dengan alasan kritiknya yang tajam terhadap kerajaan. Yordania membubarkan HTI dengan alasan mengancam negara. Malaysia menganggap HTI adalah organisasi menyimpang. Bahkan Cina menganggap, HTI adalah organisasi teroris. Dan masih banyak negara lainnya.

Menurut saya, Indonesia sudah sangat terlambat dalam membubarkan organisasi HTI, mengingat organisasi tersebut, merupakan organisasi yang berbahaya bagi eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Penyebaran gagasan khilafah oleh HTI sudah terlanjur menyebar, dan menguat di banyak kalangan, terutama di kampus-kampus pascareformasi. Tujuannya sudah jelas, mengganti konstitusi, ideologi Pancasila dan mengancam kedaulatan Negara.

Kalau kita telisik sejarah Islam pada abad ke-7 saat kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, ada beberapa pengikut khalifah Ali yang bughot dan melawan konstitusi. Namanya Khawarij, Secara terminologi ilmu kalam disebut sekte, atau aliran, yang berbeda selain Sunni dan Syiah, yang berarti mereka yang keluar. Mereka dikenal dengan organisasi sempalan. Separatis.

Ketika khalifah Ali bin Abi Thalib perang Shiffin, Khawarij berada di pihak Ali melawan kelompok Muawiyah Bin Abi Sufyan. Perang tersebut diakhiri dengan masing-masing mengirim utusan untuk berunding, kemudian terjadi perdamaian diantara kedua kelompok yang berperang.

Pada saat itulah, Khawarij menunjukkan jati dirinya dengan keluar dari barisan Ali, yang selanjutnya ‘mendemo’ khalifah, dan merencanakan pembunuhan terhadap Muawyiah dan Ali. Akan tetapi yang berhasil dibunuh hanya Ali. Ia dibunuh oleh seseorang yang bernama Abdurrahman Ibnu Muljam, di masjid pada waktu shubuh, yang dianggapnya, Ali telah keluar dari hukum Allah dengan slogan laa hukma ilallahi (Tidak ada hukum kecuali hukum Allah).

Ali Bin Abi Thalib menjawab protes mereka, bahwa: “Itu merupakan kalimat yang benar! Tetapi diarahkan untuk kebatilan!”. Kebatilan dalam hal tersebut adalah melakukan kekerasan dan pemaksaan, berdasar teks dan tafsir yang salah terhadap hukum Allah.

Saya mencoba Kembali membaca sejarah kedaulatan wilayah Nusantara. Sama sekali tidak ada istilah khilafah di Nusantara, akan tetapi kesultanan atau kerajaan Nusantara. Karena, yang pertama, khilafah Islamiyah hanya ada satu, terpusat di Timur Tengah.

Yang kedua, penggiat kampanye khilafah di Indonesia terus mengklaim tafsir kesultanan menjadi khilafah, dan yang terakhir, mereka mencoba mencuri aset sejarah peradaban dan budaya Indonesia yang kita banggakan ini, untuk di klaim menjadi kebohongan besar, yang terus digelorakan oleh mereka. 

Runtuhnya kekhalifahan Islam terakhir pada tahun 1916, dunia Islam masih dipimpin oleh Khalifah Usmaniyah, akan tetapi seluruh wilayah Islam sudah dikuasai oleh penjajah dari Eropa. Belanda menjajah Indonesia. Inggris menjajah Sudan, Mesir dan Iraq. Prancis menjajah Tunisia, Aljazair, Lebanon, dan Suriah, Italia menjajah Libya. Inilah saat-saat terakhir kekhalifahan Usmaniyah.

K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, sudah membaca situasi Islam secara global bahwa Khilafah Islamiyah akan bubar. Sebelum Khilafah Islamiyah itu bubar, beliau mengeluarkan jargon yang kita kenal hari ini, hubbul wathon minal iman (mencintai tanah air adalah bagian dari iman), gagasan nasionalisme religius. Berbeda dengan konsep negara lain, nasionalisme sekuler atau sosialis. Di Indonesia, orang nasionalis harus beriman, dan orang beriman harus nasionalis.

Benar saja, tahun 1924, kekhalifahan Usmaniyah bubar. Yang membubarkan adalah Mustafa Kemal Ataturk, bapak pendiri negara Turki. Maka pada saat itu berdirilah Negara Turki Modern, dengan ideologi nasionalis, sekuler. Sedangkan negara atau wilayah Islam yang lain seperti Iraq, Suriah, Aljazair, dan sebagainya, masih dalam kondisi jajahan.

Tahun 1925, ulama dari berbagai negara mencoba membangun khilafah Islamiyah Kembali, namun usaha tersebut menghasilkan kesepakatan, sepakat untuk tidak sepakat. Artinya tidak ada kesepakatan dalam pembentukan Kembali Khilafah Islamiyah. Para ulama membubarkan diri Kembali ke negaranya masing-masing, dan berjuang untuk kemerdekaan negaranya.

Ulama Indonesia dahulu, tidak mungkin membentuk suatu negara dan ideologi negara seperti hari ini kita menikmati, jika menginginkan kekhalifahan, sudah semestinya bentuk negara kita tidak Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. Para ulama menyadari, bahwa Indonesia adalah negara yang di dalamnya terdapat banyak perbedaan. Namun bagaimana orang beragama harus nasionalis, dan orang nasionalis harus beragama. Jadi negara kita sekarang ini adalah merupakan kekhalifahan yang sudah sesuai dengan tuntunan Islam. Mengingat Pancasila juga diambil dari saripati Piagam Madinah.

Walhasil, bahwa karakter dan sifat yang mengampanyekan khilafah hari ini, sedang melakukan gerakan seperti yang dilakukan pada era Khawarij terdahulu. Penafsiran yang salah atas khilafah dan syariat yang diterapkan, serta melawan, memberontak, mendemo atas kesepakatan yang telah disepakati bersama oleh seluruh komponen bangsa, bahkan kesultanan yang mereka klaim sebagai sistem khilafah.  Maka saya bisa menyimpulkan bahwa kelompok yang bercita-cita menegakkan khilafah di Indonesia itu, sebagai kelompok Khawarij modern, atau neo Khawarij.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun