Catatan debat pilpres putaran ke-4, paslon dan suporter sama saja. Mereka sibuk bicara kebenaran dan mengklaim kebenaran sampai melupakan yang namanya "kebaikan".
Di tahun 2019 yang disebut tahun pesta demokrasi, Indonesia perlahan mencapai titik kulminasinya, debat yang tersaji di media online, televisi, atau di banyak ruang publik lainnya. Ada beragam cara yang dilakukan oleh masyarakat untuk memenangkan argumentasi mereka. Mulai dari yang sangat santun sampai yang sangat ekstrem. Namun yang patut dihindari dalam hal ini adalah kecelakaan berlogika atau yang dalam ilmu logika biasa dikenal dengan logika falasi (kesesatan dalam berfikir).
Jangankan debat, dalam sebuah diskusi pun jika yang di diskusikan itu tentang "kebenaran" pasti akan berujung pada maqom "eyel-eyelan" sehingga berlanjut pada sikap suporter/pendukung yang kutuk-mengutuk-kemrutuk satu sama lain. Sedangkan kebenaran debat tidak pernah rata, yang jadi pertanyaan apakah ada klaim paling benar dalam sebuah perdebatan?.
Mendiskusikan "kebenaran" dalam maqom "debat" kiranya sulit membedakan seorang professor, doktor, mahasiswa, aktifis yang katanya menjadi makhluk paling rasional di ruang akademisi dengan orang biasa yang hanya lulusan Sekolah Rakjat.
Fakta, setiap manusia memiliki cara masing-masing memakai akal nalarnya. Selain akal, manusia juga mempunyai ego yang lekat dengan emosi. Terlihat jelas ego yang berbalut emosi mewarnai berjalannya debat putaran ke-4 pilplres 2019. Saat kedua calon dan suporter saling serang entah berupa "pujian" dan "makian" namun dengan tujuan ingin mencari kebenaran dan menjatuhkan lawan tanpa memperdulikan kebaikan. Mereka seperti sudah tidak memakai akal sehatnya. Dan, bahkan masih belum menyentuh dimensi hati kemanusiaan.
Kalau "debat" dibangun diatas pondasi ego, kepentingan dan emosional. Kebenaran dan kesalahan sudah sulit ditemukan, tergantung siapa yang bicara, datanya dari mana, sumbernya dari siapa, media mana, tv mana, mulutnya siapa.
DEBAT DALAM PANDANGAN MAHA GURU AL-GHAZALI
Salah satu yang paling banyak dirujuk dari Abu Hamid adalah karyanya, Ihya' Ulum al-Din. Di sana ia menjelaskan panjang lebar tentang etika dalam berdebat. Ada beberapa alasan mengapa perdebatan memicu hal-hal negatif, seperti pertengkaran dan permusuhan.
Pertama, ketika perdebatan itu diselenggarakan untuk menunjukkan superioritas antara satu orang dengan lainnya, memamerkan kelebihan, kemuliaan dan kesombongan.
Kedua, perdebatan yang timbul karena sikap hasud. Sikap ini adalah wujud dari kedengkian karena ketidaksukaan dengan kelebihan yang dimiliki oleh orang lain, ada memang hasud yang diperbolehkan dalam Islam, namun bukan itu yang kami maksud. Hasud, mengharuskan seseorang memiliki pre-judging sebelum perdebatan sehat itu dimulai. Orang yang sejak awal tidak menyukai lawan bicara, atau pilihan lawan bicara akan dengan mudah menyalahkan dan cenderung emosional. Inilah kemudian salah satu hal yang menimbulkan perdebatan tidak lagi sehat. Maka tepat kiranya Al-Ghazali mengutip sebuah hadis riwayat Abu Hurairah dari Rasulullah saw., berikut:
Hasud akan memakan segala kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar. (H.R. Abu Dawud).
Nalar yang logis dengan data-data yang akurat tidak lagi dibutuhkan ketika sikap hasud sudah mendarah daging dalam relung hati manusia. Segala macam kebaikan yang dilontarkan lawan bicara akan terasa mentah dan garing tidak membekas jika hatinya sudah dikuasai oleh sikap hasud.
Namun, yang pasti benar belum tentu baik, dan salah belum tentu buruk. Yang paling utama tetap menjaga kebaikan walau beda dalam pilihan kebenaran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H