Sepintas terlihat menjadi guru itu gampang saja, siapa pun bisa. Tinggal hapalkan materi lalu sampaikan kepada siswa. Kenyataannya, Â ada banyak kompetensi yang harus dikuasai guru selain kompetensi profesional, yaitu pedagogik, kepribadian dan sosial.Â
Ya, selain bertugas mentransfer ilmu, guru pun kadang harus menjadi orang tua yang mampu mengayomi, mengasuh, memberikan ketentraman dan rasa aman bagi siswa. Kadang pula harus jadi psikolog yang mampu mendalami jiwa siswa, latar belakang pola asuh, perbedaan gaya belajar dan cara pendekatan yang tepat terhadap setiap siswa yang berbeda.
Guru bisa juga menjadi seorang motivator yang terus mengarahkan potensi siswa agar berkembang, "Pemberi tepuk tangan paling riuh" bagi yang berprestasi dan "Pemandu Sorak" bagi mereka yang kurang percaya diri. Ya, Kadang pula jadi pegawai administratif, yang harus rapi segala bukti rencana mengajar dan hasil evaluasi. Juga administrasi kenaikan pangkat dan golongan.Â
Semua kewajiban guru yang melekat pada profesinya itu tidak mungkin berkembang maksimal  tanpa belajar sepanjang hayat. Ya, guru adalah murid abadi. Saat dia mengajar dan mendidik saat itulah dia belajar banyak hal. Kalau menurut teman mengajar saya "Hal terpenting adalah selalu berupaya menjadi guru yang lebih baik dari waktu ke waktu"
Oleh karena itu, di masa pandemi yang harus belajar jarak jauh, guru pun ramai-ramai ikut pelatihan memanfaatkan teknologi bagi pembelajaran agar menarik dll. Hasilnya, banyak guru yang mampu beradaptasi dengan perubahan dan terus berupaya melakukan pembelajaran terbaik meskipun jarak memisahkan antara guru dan siswa.Â
Ketika Pembelajaran Tatap Muka kembali dibuka meski terbatas, guru pun harus sudah siap kembali beradaptasi dengan kebiasaan baru. Nah, yang menarik dari obrolan dengan teman saya. Kami tidak khawatir dengan materi yang akan disampaikan, yang kami khawatirkan justru bagaimana menyajikan materi dalam waktu terbatas supaya guru tidak mendominasi ceramah selama pembelajaran.Â
Kekhawatiran lainnya adalah sisi manusiawi kita seperti pengelolaan emosi yang mungkin muncul dengan spontan ketika menghadapi siswa yang tidak pernah mengerjakan tugas selama ini.Â
Emosi guru akan berpengaruh terhadap siswa. Guru semangat pasti siswa pun semangat, guru bete pasti siswa terbawa suasana itu. Jika satu kalimat saja guru salah bicara karena emosi, efek bagi siswa akan terekam jangka panjang dalam benaknya.Â
Oleh karena itu, ketika mengawali kembali tatap muka, jangan dikira sepele. Bagi seorang guru, ini seperti persiapan ke medan laga. Pertama, guru harus merencanakan kegiatan pembelajaran dalam satu pertemuan. Guru akan menyusun skenario pembelajaran agar menarik dan siswa betah belajar.Â
Kedua, guru akan mempersiapkan perangkat yang akan digunakan dalam pembelajaran. Kedua hal itu sebenarnya masih mudah saja bagi guru karena terbiasa dilakukan, yaitu merencanakan pembelajaran. Guru terbiasa berpikir dan mengembangkan imajinasi sebelum mengajar.Â
Kesulitan terbesar justru mempersiapkan mental. Bagaimana mengelola waktu di rumah agar beres semua mengurus keluarga sebelum berangkat mengajar dan bisa sampai di sekolah sebelum pukul tujuh. Setelah itu berhadapan dengan siswa yang berbeda karakter ada yang menyenangkan, menjengkelkan, membuat tersenyum, membuat emosi guru meninggi dll.Â
Terkait hal itu saya belajar dari teman mengajar saya (Guru IPA yang tidak mau disebutkan namanya) Dia menyampaikan beberapa persiapan yang dilakukannya. Menurutnya, hal pertama yang dilakukan adalah mengosongkan pikiran kita tentang siswa Jangan pikirkan siswa mana yang suka mengerjakan tugas, siswa mana yang belum.Â
Anggap saja semua siswa baru, semua siswa mengerjakan tugas. Jangan sesekali mengawali mengajar dengan mengabsen satu persatu siswa yang tidak mengerjakan tugas. Itu bisa memicu emosi guru dan ketidaknyamanan bagi siswa.Â
Kedua, afirmasi Ulangi  perkataan pada diri sendiri, "Besok mengajar di kelas 9, semangat!!!Harus semangat. Semua siswa baik, semua siswa menyenangkan. Saya siap menghadapi siswa dengan beragam karakternya"Â
Ya, semoga dengan persiapan seperti itu, guru-guru siap menghadapi tantangan baru, belajar tatap muka dengan pengelolaan  emosi guru yang stabil. Sedikit tambahan dari teman saya juga dulu, seorang guru SMK di Ciwidey, Ibu Otas Setiasih. Dia mengatakan, 'Doakan siswa kita di malam hari kalau perlu dalam tahajud kita, sebelum esok hari bertemu mereka. Hati yang bertaut  pada sang pencipta akan berefek kuat pada sesama"
Selamat mendidik dan membangun peradaban para guru-guru dimana pun berada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H