Sebagai seorang Ibu, apalagi ketika masih punya anak pertama pasti memiliki idealisme tersendiri untuk anaknya agar tumbuh sesuai harapan.
Akan tetapi, yang dirasakan saya, idealisme tersebut seringkali membuat saya banyak menuntut anak sendiri dengan tuntutan yang kurang masuk akal dan membuat anak tertekan.
Apalagi, kalau melihat perkembangan anak yang lain yang dianggap lebih dari anak kita, sikap panasan pun muncul. Seakan semua teori yang mengatakan bahwa semua anak adalah bintang, tidak mempan menjadi nasehat.
Seringkali ambisi saya sebagai orang tua bersembunyi dibalik dalih ‘demi anak’. Kekhawatiran berlebihan pun sering terjadi ketika anak tidak seperti yang lainnya.
Beberapa perkembangan motorik anak saya terlambat pada beberapa fase, misalnya dia baru bisa berjalan di usia 16 bulan. Saya dibuat khawatir, padahal ibunya sendiri baru bisa berjalan usia 18 bulan.
Saya khawatir. Padahal, anak saya sudah lancar berbicara tanpa cadel usia 16 bulan itu. Anak saya umur setahun belum tumbuh gigi, tapi ternyata umur 13 bulan tumbuh juga.
Saya sering menyalahkan diri mungkin saya kurang memberinya stimulus. Sikap menyalahkan diri suatu hal yang sangat tidak perlu. Sekarang pada usia hampir 10 tahun, anak saya baru menuntaskan copot gigi susu. Memang, beda dengan anak pada umumnya tapi kan copot juga.
Usia 4 tahun saat anak yang lain lancar bersepeda. Anak saya tidak mau bersepeda, dia tidak begitu tertarik. Saya membujuknya karena membaca bahwa di usia tersebut perkembangan motorik kasar anak harusnya sudah lewat masa mengayuh sepeda.
Eh, sekarang di usia 10 tahun, tidak harus diajarkan ternyata mau sendiri, tiap hari bersepeda. Bisa juga kan tanpa paksaan.
Sejak mulai bicara, anak saya menangis setiap keramas karena takut air kena mata. Saya dibuat bingung. Keramas kan keharusan.
Teman saya mengatakan bahwa saya kurang membiasakan anak keramas langsung diguyur air sejak bayi. Saat anak-anak yang lain senang bermain air di kolam renang dan pantai.
Anak saya menjerit ketika kakinya menginjak pasir dan tidak mau berenang. Di kolam renang pun hanya duduk saja di pinggir kolam. Saya mulai overthinking. Saya merasa anak saya kok tidak memiliki keberanian padahal dia kan laki-laki.
Saya membujuknya agar mau les renang sejak kelas 1 SD agar dia bisa tumbuh menjadi laki-laki yang kuat secara fisik. Tetap tidak mau. Eh ternyata, sekarang sudah memasuki kelas 4, dia mau sendiri les renang dan bersemangat mengikutinya, bahkan berenang di pantai adalah kesukaannya.
Cerita lain lagi. Anak saya, tidak mau mengaji di madrasah seperti anak lainnya. Beberapa kali saya membujuk pun tidak mau. Akhirnya hanya mengaji di rumah saja bersama saya.
Tapi saya sering darting, karena anak diajarkan hafalan pun susahnya, malah sering bertengkar dengan saya. Akan tetapi, di usianya yang ke-9, tanpa paksaan dia ingat sendiri jadwal mengaji, berangkat sendiri naik sepeda ke tempat ngaji dan minta dimurojaah sendiri hapalan juz ammanya.
Dari beberapa kejadian, saya berkesimpulan bahwa anak saya memang banyak terlambat terutama dari segi perkembangan motorik kasar. Saya sempat takut anak saya tidak punya keinginanan dan tumbuh jadi orang yang kuuleun.
Apalagi anak laki-laki tapi tidak kuat seperti anak laki-laki lainnya. Saya sering menyalahkan diri karena tidak bisa mendidik anak. Akan tetapi, dari pengalaman yang sudah saya lalui, saya pun mengerti bahwa anak saya adalah tipe mesin disel, lama panasnya. Semuanya menunggu waktu yang tepat. Ternyata juga itu mirip saya. Saya juga sering disebut “terlambat dewasa” waktu sekolah dan kuliah. Ya, mungkin itu kelemahan atau juga kesalahan pola asuh orang tua saya atau faktor lain, entahlah.
Tapi tidak ada manusia sempurna bukan? Saya pun diakui memiliki kelebihan oleh orang lain dalam hal tertentu. Itu pertanda bahwa memang begitulah manusia, hanyalah mahluk biasa yang banyak kurang tapi juga banyak kelebihan. Tidak ada yang patut disombongkan. Tidak ada juga yang patut membuat kita minder (seharusnya ya..saya pun masih mencoba bersikap begini)
Mulai sekarang saya belajar menghadapi anak saya, tidak ada paksaan dalam hal apa pun. Saya tetap memiliki keinginan ideal tentang anak dalam hal positif. Akan tetapi, Saya hanya perlu mengajaknya bicara, ngobrol, memberinya stimulus, bairkan dia menentukan sendiri waktu yang tepat untuk memulainya. Saya pun percaya bahwa dia sedang berproses. Saya hanya perlu menunggu, bahwa suatu saat dia akan memberikan saya kejutan yang Indah. InsyaAllah, suatu saat, sayalah yang akan banyak belajar darinya tentang banyak hal.
Saya memang bukan Ibu yang bisa sempurna atau hebat dalam mendidik anak. Akan tetapi setidaknya saya ingin menjadi ibu yang selalu bangga dan bahagia seperti apa pun perkembangan anak saya.
Tidak selalu diukur dari capaian prestasi atau prestise yang dapat dilihat orang lain. Akan tetapi, percaya saja dengan proses dan perkembangannya, percaya bahwa dia istimewa dengan apa adanya dirinya tanpa harus dibandingkan dengan anak lainnya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H