sustainable di dunia. Menurut rilis data Sustainable Development Report (2024), Swedia masuk ke dalam ranking tertinggi ke-2 setelah Finlandia. Sedangkan menurut data SGI (2022), Swedia menempati posisi nomor wahid dalam bidang kebijakan lingkungan. Keberlanjutan atau sustainability merupakan suatu upaya global untuk melakukan pembangunan yang selaras dengan aspek kelestarian lingkungan.
Swedia merupakan negara Skandinavia yang diklaim sebagai negara palingNegara yang wilayahnya dibatasi Laut Baltik dan Teluk Bothnia ini juga menjadi salah satu negara yang menginisiasi kebijakan pajak karbon. Regulasi yang digagas sejak 1995 ini efektif sebagai upaya mengurangi emiso CO2 dan melepaskan ketergantungan terhadap bahan bakar fosil. Pemasukan pajak karbon ini ternyata berhasil berkontribusi besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebanyak 2,52%, lebih tinggi dibandingkan negara-negara OECD lain yang berkisar di bawah 2%. Tingginya pajak karbon yang dikenakan, mau tak mau mengubah preferensi warga Swedia untuk menggunakan energi baru dan terbarukan.
Nama Swedia juga kian mencuat sebagai tempat lahirnya aktivis lingkungan cilik, Greta Thunberg. Greta, yang pada 2018 masih berusia 15 tahun melakukan aksi "Skolstrejk for Klimatet" atau aksi mogok sekolah untuk iklim. Gerakan tersebut kemudian direplikasi secara global sebagai gerakan #FridaysforFuture yang kemudian membawa Greta sebagai nominator penerima Nobel Perdamaian pada 2019.
Jika tertarik dengan bagaimana Swedia melakukan langkah-langkah sustainable, maka buku Sustainable Me cocok untuk anda baca. Buku terbitan Gramedia Pustaka Utama (2020) ini membahas tuntas bagaimana gaya hidup ramah lingkungan di negara dengan bendera biru-kuning ini. Meski judulnya Sustainable Me (me: diri sendiri), namun pembahasan lebih banyak mengulas secara makro adopsi gaya hidup berkelanjutan di Swedia.
Saya mendapatkan buku ini sebagai hadiah giveaway dari webinar Sustainability at School yang diadakan Buibu Baca Buku Club (BBB) pada Juli 2024 yang lalu. Buku ini juga sangat terkait dengan kampanye BBB Climate Literacy for Mothers, yaitu gerakan untuk membumikan literasi iklim untuk ibu.
Via Apriyani sang penulis menghabiskan waktu 2 tahun di Swedia saat menempuh studi S-2 di Departemen Environmental Studies and Sustainability Science di Universitas Lund Swedia. Lund adalah sebuah kota pelajar di Skne ln, yang bisa ditempuh sekitar 6 jam perjalanan darat dari ibukota Stockholm.
Buku ini dilengkapi dengan referensi yang cukup lengkap dan disajikan pula gambar-gambar pendukung. Sayangnya untuk edisi cetak, banyak foto yang tercetak hitam putih sehingga kurang informatif. Anda bisa memilih untuk membaca versi e-book nya jika ingin melihat gambar yang lebih jelas.
Dengan hanya 184 halaman, menjadikan buku ini cukup ringan dan bisa dibaca hanya sekali "duduk". Ada 3 bagian besar yang diulas dalam buku yang terdiri dari 9 bab ini, yaitu mengenal konsep sustainability, inspirasi hidup ramah lingkungan dan penutup. Â Terdapat 5 inspirasi ramah lingkungan yang bisa diadopsi dalam kehidupan kita sehari-hari.
Pertama, sustainable waste treatment atau pengolahan sampah berkelanjutan. Warga Swedia sudah terbiasa untuk memilah sampah menjadi beberapa kategori yaitu sampah makanan, koran, kemasan kaca, kemasan plastik, kemasan logam dan residu.
Sampah sisa makanan akan diolah secara biologis menjadi biogas, yang menjadi sumber bahan bakar. Sampah sisa makanan juga diolah menjadi pupuk organik, yang akan kembali ke alam.
Pemerintah Swedia menerapkan kebijakan mengurangi limbah plastik sekali pakai dengan mengenakan biaya tambahan untuk plastik di supermarket. Botol plastik dapat ditukarkan menjadi uang dengan nominal tertentu di mesin daur ulang botol yang tersedia di supermarket. Sistem penukaran botol ini dimungkinkan, karena setiap pembelian minuman akan dikenakan deposit untuk botolnya.
Kedua, sustainable technology. Terdapat banyak teknologi sehari-hari yang sudah didesain untuk menghemat penggunaan energi, misalnya lampu hemat energi dan mesin cuci ramah lingkungan .
Ketiga, sustainable living. Secara kultur, warga Swedia berprinsip hidup minimalis dan suka menghabiskan waktu di alam. Prinsip-prinsip gaya hidup berkelanjutan juga mendapat pengaruh dari budaya lagom. Lagom artinya segala sesuatu yang "sedang-sedang saja" dan tidak berlebihan. Itulah kenapa warga Swedia cenderung tidak over konsumsi baik makanan, pakaian maupun sumber daya alam.
Warga Swedia lebih suka menggunakan sepeda atau transportasi umum dibanding menggunakan kendaraan pribadi. Alhasil polusi udara di Swedia 2 kali lebih rendah dibandingan negara-negara OECD lainnya.
Keempat sustainable second hand. Gaya hidup minim sampah lain yang patut dicontoh adalah bagaimana warga Swedia tak segan untuk menggunakan barang bekas. Second hand store di Swedia cukup beragam dari yang online maupun offline. Beberapa toko pakaian bekas menawarkan sistem barter dengan menukarkan baju lama kita.
Kelima, sustainable diet. Pangan berkelanjutan merupakan konsep untuk menghasilkan bahan pangan yang dampaknya minim terhadap kerusakan lingkungan. Banyak warga Swedia yang menerapkan diet plant-based atau vegetarian dan banyak mengkonsumsi makanan organik.Â
Di Kota Lund terdapat suatu komunitas untuk menyelamatkan food waste. Aksi kolektif ini antara lain melalui meal plan, mengecek tanggal kadaluarsa dan berbagi makanan dengan teman, tetangga atau orang yang membutuhkan lainnya.
Sebagai penutup, saya sepakat dengan pengantar Ibu DK Wardhani di awal buku. Kita perlu belajar dari Swedia yang merupakan barometer sustainability dunia, namun tentunya harus kita sesuaikan dengan kearifan lokal yang ada di Indonesia.
Judul buku: Sustainable Me, Inspirasi Gaya Hidup Ramah Lingkungan ala Swedia; Penulis: Via Apriyani; Penerbit: Gramedia Pustaka Utama; Tahun terbit: 2020; Halaman: 184 halaman; ISBN:978-602-06-4274-1
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H