Saat kecil, jika ditanya apa hobimu? Membaca adalah jawaban yang selalu saya lontarkan secara konstan. Sayangnya, meski menyebut diri sebagai pembaca, entah berapa kali saya tertidur saat membaca buku. Barisan kata-kata dalam buku seolah berbaris menghipnotis untuk terlelap.
Sekarang saat saya sudah dewasa, rentang atensi saya makin memburuk. Kemampuan untuk melahap buku-buku tebal saya akui terus menurun. Oh, tentu saja secara defensif saya akan mengatakan bahwa media sosial lah penyebabnya. Argumen saya tentu saja mengacu pada artikel theoxfordblue.co.uk pada Maret 2023, bahwa video pendek mematikan rentang atensi kita. Saat ini kita menjadi lebih sulit untuk duduk dan melihat video panjang, karena video pendek lebih mudah dicerna. Adiksi terhadap video pendek merenggut rentang atensi kita. Hal ini selaras juga dengan menurunnya rentang konsentrasi saat mencerna buku, karena suguhan artikel clickbait dan pesan singkat lebih digemari.
Minimnya rentang konsentrasi, mengakibatkan saya kesulitan dalam menemukan intisari buku. Apalagi saat ini kita dengan mudah dapat meminta Artificial Intelligence (AI) untuk "membacakan" buku, bahkan merangkumnya!
Kembali Membaca dengan “Sadar”
Sekitar 3 tahun lalu entah karena gabut efek pandemi atau memang sudah saatnya saya mendapatkan enlightment, tiba-tiba saya seperti mendapatkan “Aha moment” untuk kembali membaca. Tak hanya sekedar membaca, saya berusaha untuk membaca dengan “sadar”. Membaca dengan tenang dan meresapi setiap sajian penulis.
Salah satu pemicu kembali saya menjadi book nerd yaitu saat mendengarkan podcast Beginu Kompas.com yang dipandu Mas Inu, dengan bintang tamu Maman Suherman. Kang Maman -begitu ia kerap disapa, begitu cintanya dengan membaca dan dunia literasi dan kini banyak memberikan donasi buku untuk perpustakaan di daerah terpencil. Penulis berusia 59 tahun ini menggaris bawahi bahwa membaca tak hanya membaca, namun membaca adalah proses untuk mencerahkan, memperkaya dan memberdayakan.
Mungkin konsep membaca dengan "sadar" ini lah yang membuat Kang Maman tetap setia untuk membaca meski sudah puluhan tahun aktif di dunia literasi. Konsep membaca dengan “sadar” artinya kita tak lagi mengejar kuantitas buku yang kita baca atau seberapa cepat kita bisa membabat bacaan. Membaca dengan “sadar” membawa kita kembali ke makna membaca itu sendiri. Membiarkan diri untuk tenggelam dalam imajinasi dan tutur kata sang penulis.
Sepertinya sudah sangat lama saya tak membaca dan hadir utuh dalam bacaan yang saya baca. Beda dengan dahulu saat saya duduk di kelas 5 SD membaca buku “Taman Rahasia” -yang menjadi hadiah karena rapor catur wulan saya bagus- dengan perasaan takjub membayangkan keindahan flora yang ada di sana.
Saat itulah, dengan perlahan saya kembali menjadi pembaca yang "sadar".
Membaca untuk Menulis
Dari podcast Kang Maman ada satu hal yang cukup menginspirasi saya, bahwa selain membaca dengan sadar ada satu hal lain yang dilakukan Kang Maman untuk menjadi bahan bakar kegemaran membaca, yaitu menulis resensi. Menulis resensi menjadi begitu menyenangkan bagi Kang Maman karena merupakan hobi yang dibayar. Pundi-pundi honor (yang tak seberapa) kemudian bisa ia putar kembali untuk membeli buku-buku baru lagi.
Resensi buku bukanlah hal baru, bahkan para founding fathers kita dulu adalah para peresensi buku yang ulung. Soekarno menyebut proses membuat resensi sebagai “tilikan” atau proses mengamati buku dengan sungguh-sungguh. Muhidin M. Dahlan dalam Inilah Resensi menyampaikan bahwa resensi buku tak hanya sekedar merangkum namun bisa sebagai alat untuk mengkritisi suatu karya.
"Meresensi adalah kerja memasuki buku secara intens dan memberikan umpan balik atas buku yang dibaca. Namun, meresensi tidak sekadar itu, ada siasat bekerja di sana."
Memulai Membuat Resensi
Perkenalan dengan resensi buku mulai saya dalami pada salah satu webinar Buibu Baca Buku (BBB) Book Club pada April 2024. Salah satu challenge dan isu yang dikampanyekan BBB adalah climate literacy. Puty Puar, founder BBB mengajak para ibu-ibu untuk kembali membaca dan membuat resensi terkait isu iklim. Isu iklim yang sepertinya "nun jauh di sana", ternyata bisa dibalut dengan kemasan membumi dengan resensi ringan di instagram. Postingan instagram dengan carousell dan video pendek -yang awalnya digadang-gadang menurunkan atensi- kini dikompromikan sebagai alat untuk meningkatkan minat baca utamanya ibu-ibu.
"Tak ada resensi buku tanpa lewat praktik membaca. Meresensi adalah menuliskan kembali apa yang tersirat maupun tersurat dalam buku yang dibaca." Muhidin M. Dahlan.
Berbekal ilmu nekat, saya mulai menulis resensi buku. Dan ternyata menulis resensi tidak semudah merangkum tulisan. Ok, mungkin ini pengaruh pendidikan saya di SD yang diminta mencatat dan merangkum, sehingga jiwa kritis saya amat sangat kurang.
Iqbal Aji Daryono pernah menyampaikan, bagaimana mau menulis dengan kedalaman yang kompleks jika kita hanya terbiasa melahap buku-buku praktis. Membuat resensi nyatanya mengasah critical thinking. Tak hanya sekedar membaca, saya pun harus mulai menelisik seperti apa latar penulis, atau apa pemicu penulis membuat statement A atau B. Sama seperti otot yang tak pernah dilatih, otak jadi kian tumpul jika tidak aktif berfikir. Nicholas Carr dalam bukunya The Shallows mengungkapkan keresahannya tentang bagaimana kemampuan berpikir manusia akan digantikan komputer.
Jadi, mari kita kembali membaca dengan "sadar", dan menuliskan refleksi dari setiap yang kita baca dalam resensi (walau sekedar postingan singkat di media sosial).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H