Buku ini bagai memiliki magnet yang menggugah rasa ingin tahu saya tentang gerakan warga untuk mendapatkan akses air bersih di Indonesia. Sampulnya merah menyala, seolah mencerminkan amarah terhadap pemerintah yang tak kunjung memberikan hak rakyat atas air.
Dari awal saya melihat buku ini di lini masa media sosial, saya langsung tertarik membacanya.Bunga rampai yang terdiri atas 8 bab tulisan ini ditulis oleh para akademisi, peneliti, aktivis dari beragam kampus di Indonesia hingga masyarakat sipil. Saya terbiasa melihat sektor air minum dari kaca mata engineer, sehingga buku ini membuka cakrawala saya mengenai banyak lapisan dari sosial, politik hingga antropologi.
Bahasa yang dipilih dalam buku ini masih sangat akademis. Tak mengherankan, karena buku ini merupakan spin-off dari penelitian “GroundUp: A practice-based analysis of groundwater governance for integrated water resources management in Semarang, Central Java”, sebuah penelitian yang dibiayai Dutch Research Council. Meski demikian, beberapa penulis tak segan menarasikan ide-idenya dengan bahasa yang lebih santai dan membumi.
Bab awal buku ditulis dengan memikat, menampilkan data dan riset mendalam terkait kondisi air minum di Indonesia. Tulisan favorit saya berjudul “Keluar dari Derita Kekeringan: Tata Kelola Air dan Solidaritas Warga dalam Mengelola Mata Air Rammang-Rammang Sulawesi Selatan” oleh Slamet Riadi. Penulis mampu meramu data statistik, riset dan hasil wawancara dengan harmonis dengan sesekali menyelipkan narasi berdialek bahasa Makassar atau Bugis.
“Air dalam batu gunung (karst) itu kalau musim kemarau biasa payau, karena ada pengaruh dari Sungai Pute yang tembusannya ke laut. Makanya di sini itu kalau keliling-kelilingki (berkeliling desa) ada lahan tambak yang dikelola sama warga” (halaman 101).
Tulisan lain yang tak kalah magis berjudul “Komodifikasi Situs Sakral dan Penyediaan Air Bersih di Bali” oleh Amrita Nugraheni Saraswaty. Peneliti dari Universitas Udayana ini menjelaskan konsep Patirthān, monumen masa Hindu-Budha di Jawa dan Bali yang menandakan wilayah tersebut dekat dengan sumber air. Dari sini kita bisa belajar bagaimana nenek moyang kita dahulu telah memiliki perspektif political ecology dalam pelestarian sumber daya air melalui situs-situs suci.
Latar belakang yang heterogen dari penulis membuat buku ini terasa penuh warna. Mayoritas tulisan sangat baik diramu dengan landasan keilmuan dan riset mumpuni. Namun sayangnya ada beberapa artikel yang kurang menggigit, baik dari nara bahasa maupun kedalaman penelitian yang hanya di permukaan.
Kritik Buku
Sebenarnya sangat jarang saya mengkritisi suatu buku dengan cukup keras. Namun sepertinya perlu untuk meluruskan beberapa narasi dalam buku. Kritik pertama berkaitan dengan nara bahasa. Sebagai pembaca saya terganggu dengan penulisan kalimat yang subjeknya kurang jelas sehingga membuat saya mengernyitkan dahi. Contohnya sebagai berikut:
“Pipa PDAM Tirta Bhagasi telah membangun instalasi pipa air bersih, dibantu oleh para pengembang yang mempunyai modal besar” (Halaman 149).
Hal fatal lain, pada halaman 151 penulis mencuplik sumber gambar dari https://id.images.search.yahoo.com/ . Ayolah, bahkan tugas kuliah anak semester 1 pun dilarang mencantumkan wikipedia sebagai rujukan resmi, apalagi ini sebuah buku yang diterbitkan penerbit besar.