Mohon tunggu...
Elzara Maharani
Elzara Maharani Mohon Tunggu... -

Ilmu Komunikasi 2014, Universitas Sumatera Utara want to be an author

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gadis Waktu

8 Maret 2015   14:50 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:59 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nama ku Icha Klarisa Winata. Aku belum pernah menunggu seseorang hingga selama ini. Aku menunggu sudah 3 tahun lamanya. Aku belum lelah, aku juga belum bosan, biarkan aku tetap menunggunya. Aku rela menunggu hingga puluhan tahun demi dia. Aku sangat mencintainya. Bukankah pecinta hujan rela menunggu hujan hingga berhenti? Bukankah pecinta senja rela menunggu senja yang entah kapan akan muncul? Otak ku menyuruh ku untuk menyerah, tapi hatiku berontak. Hatiku menolak untuk berhenti mencintainya. Kami awalnya tidak saling mengenal. Pertemuan pertama kami bahkan sangat singkat. Kami bertemu hanya karena tanpa sengaja mencari buku yang sama. Saat itu aku sedang mencari buku “Filosofi Kopi” karya penulis terkenal Dee. Sesekali aku melirik jam tanganku. Aku suka melakukan hal itu.

“nah, akhirnya aku menemukanmu” gumamku senang, namun saat aku hendak mengambil buku tersebut, ada sepasang tangan dari sampingku yang juga hendak mengambil buku tersebut. Aku meliriknya sebentar. Aku cepat-cepat meraih buku tersebut dan “yeah, aku mendapatkannya” ucapku senang. Pria yang tadi juga berusaha mengambil buku tersebut hanya bisa menghela napas karena kesal sambil melirik sinis kearahku lalu pergi. Aku melirik punggung itu, perlahan punggung itu menghilang dari penglihatanku. Aku segera membawa buku itu ke kasir dan membayarnya. Aku segera pulang karena sudah tak sabar ingin membaca buku tersebut. Sesampai dirumah, aku langsung berlari menaiki satu persatu anak tangga menuju kamarku. Aku menghempaskan badanku ke tempat tidur, aku masih ingat dengan sosok pria tadi. Aku sempat memperhatikan style-nya. Pria tinggi, berkacamata, rambutnya acak-acakan, dibungkus dengan kaos berlapis jaket, celana jeans dan sepatu kulit. Tiba-tiba sekelebat pertanyaan tentangnya berkeliaran dikepalaku. Apa dia suka membaca juga? Siapa namanya? Apa dia hanya mencari buku bacaan untuk adik perempuannya? Apa dia penggemar Dee yang hanya suka mengoleksi semua karya Dee? Apa dia sudah punya pacar? Aku bingung dengan pertanyaan terakhir, itu pertanyaan yang terlalu pribadi untuk dua orang yang belum saling kenal dan hanya bertemu satu kali, lebih tepatnya pertemuan singkat. Semua pertanyaan barusan hanya ada di kepalaku dan sampai sekarang aku belum menemukan jawabannya karena aku belum bertemu lagi dengannya. Dalam hati, aku diam-diam berharap tentang pertemuan kedua dan selanjutnya dengan sosok pria misterius tadi siang.

@@@

Perkenalkan nama ku Alvino Yudha Prasetyo. Aku belum pernah bertemu dengan seorang gadis yang sangat bahagia ketika berhasil meraih sebuah buku lebih cepat dariku. Aku bahkan belum pernah bertemu dengan seorang gadis yang suka melirik jam tangannya seolah waktu selalu mengejarnya. Awalnya aku ke toko buku untuk mencari buku pesanan adik perempuanku, namun ketika aku baru saja masuk ke toko buku, pandanganku langsung terfokus ke seorang gadis yang sedang sibuk melihat-lihat judul buku dengan jarinya menyusuri satu persatu buku yang ada di rak tepat di hadapannya. Aku diam-diam memperhatikannya dari jauh. Semakin aku memperhatikannya, aku semakin bingung dengan tingkahnya. Sudah hampir puluhan kali aku melihat dia melirik jam tangannya. Mengapa gadis itu bolak-balik melirik jam tangannya? Apa dia dikejar waktu? Mengapa dia terlalu santai mencari buku yang ia inginkan jika sedang dikejar waktu? Banyak pertanyaan yang berkeliaran dikepalaku saat memperhatikannya.

“nah, akhirnya aku menemukanmu” gumam gadis itu. Aku meliriknya. Aku mencoba membaca judul buku yang hendak ia raih. “Filosofi Kopi”. Buku yang aku cari, aku segera mendekatinya, aku langsung mengulurkan tanganku untuk meraih buku yang ada dihadapan kami. Aku sadar bahwa dia langsung melirik ku ketika dia menyadari aku juga berusaha meraih buku tersebut.

“yeah, aku mendapatkannya” ucap gadis itu keras sambil melirik ku. Lirikannya itu seolah mengatakan dia lebih hebat. Aku kalah cepat darinya. Dia tampak senang sekali seperti baru saja menemukan sebongkah emas yang bisa membuatnya menjadi kaya raya. Aku meliriknya sinis sebelum memutuskan untuk langsung pergi dari toko buku tersebut. Aku sesekali mengacak rambutku, aku suka melakukannya. Aku menyukai rambutku yang berantakan, aku bahkan tidak pernah memakai minyak rambut untuk merapikan rambutku. Aku lebih suka mengacaknya dengan jari tanganku. Aku melirik jam tanganku dan ya tiba-tiba aku teringat sesuatu. Ini buruk, aku tertarik dengan seorang gadis yang sangat suka melirik jam dan bodohnya aku lupa menanyakan nomor handphone-nya. Aku tertarik dengan gadis yang sosoknya baru kutemui. Entah mengapa aku langsung berlari masuk kembali ke toko buku tersebut. Mataku mulai mencari-cari sosoknya. Aku sudah mencarinya ke segala sudut toko buku. Aku tidak menemukannya. Aku mengacak rambutku, lagi. Bukankah ini hal yang buruk? Aku belum menanyakan nomor handphone-nya dan yang lebih penting adalah aku juga lupa menanyakan namanya. Bagaimana jika aku melihatnya lagi dan aku tidak bisa memanggilnya hanya karena aku tidak tahu namanya? Aku mulai mengajukan pertanyaan kepada diriku sendiri dan aku juga sedang berpikir untuk menjawabnya. Gadis itu sangat menyukai melirik jam tangannya, entah untuk apa. Baiklah sepertinya aku sudah menemukan nama yang tepat untuknya.

“Aku akan menamainya gadis waktu, jika bertemu lagi aku akan memanggilnya gadis waktu” gumam ku. Sejak itu aku mulai menamainya gadis waktu.

@@@

Setelah pertemuan pertama yang singkat beberapa hari lalu, sekarang aku semakin sering ke toko buku. Aku memang suka membaca buku dan tentu saja suka menghabiskan uang hanya untuk sebuah buku yang aku suka. Aku ingin mencari jawaban atas puluhan pertanyaan yang aku munculkan sendiri beberapa hari lalu setelah bertemu dengan pria misterius itu. Aku menamainya pria misterius karena dia memakai kacamata, entah itu kacamata untuk penderita rabun jauh atau hanya kacamata untuk bergaya. Aku mulai berfilosofi bahwa seseorang yang memakai kacamata itu misterius. Mengapa? Tentu saja misterius, karena dia menyembunyikan banyak hal yang orang lain tidak ketahui dibalik kacamatanya. Jangan mulai menerka-nerka apa yang dia sembunyikan dibalik kacamatanya, kalian bisa gila. Aku mencari sosok pria misterius yang beberapa hari lalu tanpa sengaja kutemui. Sayangnya aku belum menemukannya. Aku belum menyerah mencarinya. Aku melirik jam tanganku, melakukan hal yang aku sukai. Aku melangkah ke bagian rak komik. Satu langkah, dua langkah, tiga langkah dan langkahku terhenti saat aku melihat pria yang sedang berdiri mengotak-ngatik handphone-nya. Punggung dan rambut acak-acakan itu, pasti dia pria misterius yang beberapa hari lalu tak sengaja kutemui. Aku berjalan kearahnya, aku ingin segera menanyakan namanya. Sekali lagi langkahku terhenti, kali ini bukan karna melihat sosok pria misterius dihadapanku melainkan karna melihat seorang perempuan yang tiba-tiba menghampirinya.

“Apakah itu pacarnya?” Aku mulai mengajukan pertanyaan kepada diriku sendiri.

Aku hanya bisa menatap punggungnya darisini. Melihatnya yang sedang sibuk mengobrol dengan perempuan disebelahnya, sesekali mereka tertawa. Tiba-tiba dia memalingkan wajahnya kebelakang dan melirik kearahku. Aku dengan cepat memalingkan wajahku dan berjalan kearah rak buku yang lain.

“Gadis waktu” teriak pria misterius.

Entah mengapa aku langsung menoleh kearahnya saat mendengar suaranya.

“Hai, kita bertemu lagi. Aku ingin menanyakan satu hal kepadamu” tanyanya sambil mengacak rambutnya.

“Hai, pria misterius. Apa kau ingin bertanya tentang buku yang kita rebutkan beberapa hari lalu?” ucapku sambil melirik jam tangan ku.

“Haha, aku hanya ingin menanyakan satu hal yang aneh darimu. Kenapa kau suka melirik jam tangan mu? Bahkan kau baru saja melakukannya”

“Aku suka melakukannya, melirik jam tangan membuatku ingat bahwa waktu itu sangat penting” jawabku.

Pria misterius itu hanya mengacak rambutnya setelah mendengar jawaban ku. Entah mengapa aku suka melihatnya mengacak rambutnya sendiri. Aku memperhatikan penampilannya hari ini, penampilan casual. Tiba-tiba perempuan yang disebelahnya tadi memanggilnya.

“Ah iya, nama ku Alvino. Sepertinya dia sudah menemukan buku yang dia cari, lain kali kita mengobrol lagi ya, aku pergi duluan ya” ucapnya sambil berjalan pergi.

“Alvino, nama ku Icha bukan gadis waktu” teriak ku.

Dia segera menghentikan langkahnya lalu menoleh kebelakang saat aku berteriak.

“Aku lebih suka memanggilmu gadis waktu, ah iya aku suka melihatmu melirik jam tanganmu” ucapnya sambil tersenyum tipis.

Dia melanjutkan langkahnya menemui perempuan tadi. Aku menatap rambut acak-acakannya dan punggungnya yang perlahan menghilang dari penglihatanku.

@@@

Beberapa hari lalu saat aku pergi menemani adik perempuanku ke toko buku, aku bertemu lagi dengan gadis waktu. Aku tertarik dengannya, aku suka cara dia melirik jam tangannya. Tingkah anehnya itu mampu menghipnotis hatiku. Aku rasa aku mulai menyukainya. Aku sudah mengetahui namanya tapi ada hal bodoh yang kembali aku lakukan, aku lupa menanyakan nomor handphone-nya. Aku mengambil kacamata ku yang terletak diatas meja kecil dikamarku. Aku mengacak rambut ku. Aku melangkah pergi dari kamarku.

“dek, aku pergi keluar dulu ya. Kamu jangan kemana-mana” ucapku.

“iya bang vino, hati-hati ya” sahut adik ku.

Aku langsung pergi ke cafe yang berada di dekat toko buku itu. Sekarang aku sudah duduk di bagian pojok kanan cafe. Aku suka posisi tempat duduk ini, aku bisa melihat suasana diluar cafe dan posisi tempat duduknya berada tepat disamping pintu masuk sehingga aku bisa melihat orang yang keluar masuk cafe. Aku memang sering bersantai disini. Aku langsung memesan segelas cappucino dingin. Sambil menunggu pesananku, aku melihat suasana diluar cafe. Ada sosok gadis yang menyita perhatianku. Gadis itu sedang sibuk melirik jam tangannya. Apa mungkin itu si gadis waktu? Aku semakin penasaran, aku terus menatap kearahnya menunggu dia berhenti melirik jam tangannya dan melanjutkan langkahnya. Gadis itu melanjutkan langkahnya. Sekarang, aku bisa melihat wajahnya dengan jelas. Dia si Gadis waktu. Pandanganku terus mengikuti langkah kakinya dan berharap gadis itu masuk kedalam cafe ini. Dewi fortuna sedang berpihak padaku, gadis itu melangkah masuk kedalam cafe ini. Aku memanggilnya sambil melambaikan tanganku agar dia tau dimana posisiku.

“Gadis waktu” teriakku.

Gadis itu menoleh kearahku. Sekarang dia berjalan kearahku.

“Hai, Alvino” ucap Icha.

“Hai, Gadis waktu. Kita bertemu lagi untuk yang kesekian kalinya”

“Ah iya, pertemuan kita selalu tanpa rencana”

“Jangan-jangan kita berjodoh, haha” ucapku tertawa.

“Jodoh? Kau percaya dengan mitos-mitos yang mengatakan jika dua orang bertemu tanpa sengaja maka mereka berjodoh” tanyanya.

Pertanyaannya barusan membuatku berhenti tertawa.

“Percaya aja sih, kita bertemu tanpa sengaja bukan hanya sekali loh” jawabku.

“Aku tidak percaya dengan hal semacam itu” ucapnya sambil melirik jam tangannya.

“Sepertinya kita harus membuktikannya. Bagaimana jika kita membuat perjanjian?”

“Perjanjian?” tanyanya bingung.

“Iya, perjanjian. Kita tidak boleh bertemu selama 3 tahun, jika sudah selesai 3 tahun dan kita tanpa sengaja bertemu lagi, kau harus mengakui bahwa kita memang berjodoh dan kau harus percaya bahwa sebenarnya aku jatuh cinta saat pertama melihatmu di toko buku beberapa hari yang lalu” jawabku.

Dia hanya diam mendengar ucapanku. Sekarang dia mulai melakukan kebiasaannya melirik jam tangan. Hening.

“Bagaimana? Kau setuju?” tanyaku lagi memecahkan keheningan.

“Hem sebentar, jadi maksudmu aku harus menunggumu selama 3 tahun?”

“Kita bicara soal takdir yang selalu berperan mempertemukan kita tanpa sengaja, tapi jika kau juga jatuh cinta kepadaku, aku yakin kau akan bersedia menungguku selama 3 tahun” ucapku.

“Baiklah, aku setuju dengan perjanjian ini. Aku akan menunggu”

Aku hanya tersenyum tipis. Pertemuan ini sepertinya akan jadi pertemuan terakhir sebab aku juga tidak tau apakah tubuhku masih sanggup menahan penyakit yang sudah lama bersarang ditubuhku. Aku juga tidak tau apa aku masih sanggup menahan rasa sakit yang selalu menyiksaku. Aku menatap wajahnya, menikmati senyumannya yang mungkin tak akan bisa kulihat lagi. Kami mengobrol sampai lupa waktu. Sudah malam, aku mengantarkannya pulang kerumah. Aku memberanikan diri mengecup keningnya sebelum aku pulang kerumah. Diatampak malu.

“Makasih buat hari ini, sampai bertemu 3 tahun lagi. Hati-hati ya Alvino” ucapnya.

“Em.. iya sama-sama, aku pamit pulang ya” ucapku.

Aku langsung bergegas pulang. Aku berharap kita akan dipertemukan tanpa sengaja 3 tahun lagi.

@@@

3 Tahun kemudian..

Aku belum pernah menunggu seseorang hingga selama ini. Aku menunggu Alvino Yudha Prasetyo, pria yang tanpa sengaja kutemui. Kami selalu bertemu tanpa sengaja, hingga akhirnya kami membuat perjanjian tidak boleh bertemu sampai 3 tahun hanya untuk membuktikan kami berjodoh atau tidak. Bukankah ini sudah 3 tahun? Tetapi mengapa sampai detik ini aku belum bertemu dengannya? Aku mencintainya. Aku akan menunggunya sampai aku menemuinya. Aku masih suka melirik jam tanganku. Bukankah kau menyukai melihat aku melirik jam tanganku? Datanglah Alvino, temui aku jika kau benar mencintaiku. Aku merindukanmu. Kau pikir 3 tahun itu tidak lama. Bosan? Belum, aku belum bosan menunggumu. Lelah? Aku bahkan tidak pernah merasakannya. Aku merindukanmu. Aku merindukan rambut acak-acakanmu, aku merindukan senyuman tipismu dan yang terakhir aku merindukan menatap punggungmu. Aku tidak akan pernah berhenti menunggumu sampai aku menemukanmu. Aku ingin seperti pecinta hujan yang selalu setia menunggu hujan hingga berhenti. Aku ingin seperti pecinta senja yang tak kenal lelah menunggu senja muncul. Aku sekarang percaya dengan mitos itu. Sekarang aku sadar kita memang sengaja dipertemukan agar tidak ada diantara kita yang kesepian. Pertemuan pertama memang merupakan kebetulan, tapi pertemuan kedua dan selanjutnya tidak bisa dikatakan sebuah kebetulan. Aku akan selalu menunggumu disini, ditempat awal kita dipertemukan tanpa sengaja. Toko buku. Aku akan selalu menunggumu walau sosokmu tak kunjungdatang.

Selesai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun