Di sisi lain, si anak BB ini tetap teguh kepada pendiriannya bahwa rumah tersebut bukan hanya tumpukan material saja, tetapi memiliki nilai emosional yang kuat dan tidak bisa tergantikan oleh apapun itu, bahkan uang. Baginya rumah itu adalah symbol keluarga yang harus dijaga dan dipertahankan. Dalam mediasi itu anak si BB menjelaskan bahwa menjual rumah itu tidak menjadi solusi terbaik.
Perselisihan ini menunjukkan adanya kompleksitas dalam penyelesaian sengketa hak waris, terutama adanya keterlibatan emosi dan kepentingan pribadi. Kepala desa pun merasa bingung serta dilema dalam menjadi mediator kali ini.
Kasus seperti ini menjadi sebuah pelajaran bahwa pentingnya perencanaan waris yang jelas, sehingga memudahkan dalam pembagian hak waris tersebut dan untuk menghindari konflik seperti kasus ini. Menurut KUHPerdata pasal 830 yang berbunyi, "Pewarisan hanya terjadi karena kematian," dalam kasus sengketa rumah, pasal ini digunakan untuk menentukan bahwa apakah warisan itu sudah sah untuk dibagi atau belum.
Dalam kasus yang saya angkat tadi sudah benar bahwa anak dari si BB juga mendapatkan hak warisnya karena dalam KUHPerdata pasal 832 ini menjelaskan mengenai ahli waris ialah mereka yang memiliki hubungan darah atau hubungan hukum tertentu. Pada KUHPerdata ini diperinci dan dijelaskan bahwa ada 4 (empat) golongan yang dapat menerima waris:
Golongan Ahli Waris I: Prioritas paling tinggi dalam pembagian waris---suami/istri yang hidup terlama, anak-anak pewaris.
Golongan Ahli Waris II: Jika pewaris tidak memiliki anak, keturunan, dan pasangan hidup---orang tua pewaris, saudara kandung pewaris dan keturunannya.
Golongan Ahli Waris III: Keluarga dalam garis keturunan ke atas---kakek, nenek, dan seterusnya.
Golongan Ahli Waris IV: Keluarga dalam garis keturunan ke samping hingga derajat ke-6. Golongan IV dapat mewarisi jika tidak ada ahli waris golongan I,II, dan III---paman, bibi, sepupu, keponakan, ataupun kerabat lainnya.
Dalam kasus yang saya angkat si CC dan si DD ini memiliki golongan ahli waris I di mana dalam skala prioritas mereka memiliki kesempatan paling tinggi dalam hierarkinya, begitu pula pada anak si BB, anak si BB ini juga memiliki golongan ahli waris I, karena dari ibunya yang awalnya anak kandung dari sang pemilik rumah. Ketika si BB ini meninggal, hak warisnya ini tidak hilang, tetapi secara otomatis berpindah ke anaknya si BB sebagai ahli waris pengganti. Karena dalam peraturan yang ada di hukum waris perdata, anak-anak dari ahli waris yang telah meninggal berhak dan dapat menggantikan posisi orang tua mereka sebagai penerima hak waris dari pewaris awal.
Inilah mengapa pada mediasi di atas si kepala bingung dan dilema karena dalam hierarkinya mereka bertiga (pihak yang bersengketa) ini memiliki prioritas yang sama yaitu ahli waris golongan I. Di mana kekuatan mereka sama-sama kuat yang membuat terjadinya konflik. Di satu sisi ingin rumah itu dijual lalu bagi hasil, di sisi lain ingin mempertahankan rumah itu karena memiliki nilai kenangan dan emosional yang tidak dapat digantikan oleh uang.
Seharusnya sang kepala desa ini meminta bantuan kepada mediator yang profesional, seperti ahli hukum, atau tokoh penting di daerah itu, untuk menjadi mediator dalam kasus ini. Mediator yang profesional memiliki pengalaman yang cukup untuk dapat melakukan mediasi secara netral dan objektif.