Mohon tunggu...
Elyshia Alodia Binarto
Elyshia Alodia Binarto Mohon Tunggu... Lainnya - Siswa SMA Karangturi

Siswa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno Pilihan

Xenotransplantasi: Pengobatan Menggunakan Sel Punca Hewan

6 September 2022   19:35 Diperbarui: 6 September 2022   19:41 1652
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 Gambar 6. Sel punca hematopietic (Sumber: Ryan Etter / Getty Images)

Setiap makhluk hidup memiliki keunikannya masing-masing. Akan tetapi, makhluk hidup juga memiliki beberapa persamaan antara kelompok yang satu dengan lainnya. Salah satunya adalah makhluk hidup tersusun atas sel sebagai organisasi terkecil yang dapat mengatur kehidupan. 

Sel sendiri berasal dari bahasa latin, yaitu cella yang memiliki arti ruangan kecil. Untuk mempertahankan kehidupannya, makhluk hidup melakukan reaksi kimia yang sebagian besar terjadi dalam sel. Selain itu, sel memiliki kemampuan untuk berkomunikasi melalui sinyal yang dikirimkan pada sel lain agar dapat mengatur fungsi dan perkembangan tubuh.

Masing-masing sel memiliki fungsi yang berbeda. Namun, ada satu jenis sel yang belum memiliki suatu fungsi khusus, yaitu sel punca atau yang dikenal dengan nama stem cell. Sel ini dapat menyesuaikan, mengubah, memperbanyak diri, bahkan mengganti sel yang mengalami kerusakan sesuai dengan tempat sel tersebut berada. 

Secara singkat, sel punca mampu berdiferensiasi menjadi suatu tipe sel. Maka dari itu, sel ini sering digunakan di bidang kesehatan sebagai bahan transplantasi untuk pengobatan penyakit. 

Menurut data dari HRSA (Health Resouces and Services Administration), telah dilakukan 4,160 transplantasi sel punca di Amerika Serikat pada tahun 2020. 

Sedangkan di Eropa, telah dilakukan lebih dari 30,000 transplantasi stem cell di tahun 2017 dengan Jerman sebagai negara yang memiliki angka tertinggi. Dilihat dari data, dapat diketahui bahwa penggunaan transplantasi sel punca sudah cukup tinggi dengan tingkat keberhasilan yang mencapai 80%.

Gambar 2. Jumlah transplantasi sel punca pada berbagai negara di Eropa (Sumber: ec.europe.eu/Eurostat)
Gambar 2. Jumlah transplantasi sel punca pada berbagai negara di Eropa (Sumber: ec.europe.eu/Eurostat)

Sel punca tidak hanya ada pada manusia, tetapi juga terdapat pada hewan dan tumbuhan. Di dunia medis telah dikembangkan transplantasi yang menggunakan sel punca dari hewan. Transplantasi jenis ini disebut sebagai xenogeneic stem cell transplantation. Sistem transplantasi ini memberikan solusi untuk mengatasi kekurangan donor yang dapat mengakibatkan kematian bagi pasien. Akan tetapi, transplantasi ini memiliki beberapa risiko yang harus diperhatikan.

Saat ini, dunia medis telah berkembang pesat, bahkan menemukan berbagai cara untuk menangani penyakit sel plasma. Salah satunya dengan menggunakan sel punca atau stem cell. 

Selain itu, transplantasi stem cell juga dapat digunakan untuk mengganti sel yang rusak akibat kanker, stroke, diabetes, dan penyakit-penyakit degenerative. Alasan dibalik pengobatan ini adalah karakteristik sel punca, yaitu belum terspeasialisasi sehingga dapat diinduksi menjadi suatu sel dengan fungsi khusus. Selebihnya, sel punca mampu membelah diri dalam jangka waktu yang terbilang lama.

Permintaan stem cell jauh lebih tinggi daripada donor yang ada. Sebuah data dari Amerika Serikat mencatat bahwa sampai 10 pasien meninggal setiap hari ketika berada dalam daftar tunggu transplantasi organ. Maka dari itu, dibutuhkan solusi dengan melakukan transplantasi sel punca dari hewan yang disebut sebagai xenogeneic stem cell transplantation atau bisa disebut sebagai xenotransplasi. 

Menurut Food and Drug Administration, xenotransplantasi merupakan prosedur medis di mana terjadi implantasi dan infus ke pasien manusia yang berupa sel hidup, jaringan, serta organ dari hewan. 

Di tahun 2021, NYU Langone berhasil melakukan simulasi xenotransplantasi dari ginjal babi ke donor yang baru saja meninggal dengan dipertahankan oleh ventilator. Namun, percobaan pada manusia belum diizinkan, bahkan dilarang oleh beberapa negara karena tidak sesuai dengan etika dan melanggar hukum penganiayaan hewan. 

Di satu sisi, xenotransplantasi dapat menjadi solusi bagi masalah kekurangan donor organ, tapi kita harus tetap waspada dan melakukan riset lebih lanjut mengenai efek samping yang dapat ditimbulkan.

Gambar 3. Ginjal babi (Sumber: NYU Langone Health/AFP/Joe Carrotta)
Gambar 3. Ginjal babi (Sumber: NYU Langone Health/AFP/Joe Carrotta)

Dalam melakukan xenotransplantasi terdapat risiko bagi pasien, seperti penolakan organ. Prosedur xenotransplantasi dapat menyebabkan penolakan dalam beberapa tahap, yaitu hyperacute rejection, acute vascular, cellular rejection, dan chronic rejection. Untuk hyperacute rejection dan acute vascular, media yang digunakan adalah antibodi terhadap determinan oligosakarida pada endothelium vascular babi. 

Dengan perkembangan medis saat ini, hyperacute rejection sudah dapat diatasi dengan menggunakan babi transgenik yang mampu menghasilkan protein pengatur komplemen manusia sehingga menghambat dampak buruk dari aktivasi komplemen hasil mediasi antibodi pada organ babi. 

Pada salah satu perusahaan bioteknologi, telah dilakukan transplantasi transgenik organ babi dengan tingkat hyperacute rejection kurang dari 2%. Penolakan lainnya adalah acute vascular yang masih kurang dipahami oleh para ilmuwan. 

Hal ini menyebabkan belum ditemukannya solusi untuk mengatasi penolokan tersebut. Selain itu, cellular rejection dan chronic rejection bisa lebih kuat daripada antisipasi para ilmuwan. Maka dari itu, dibutuhkan konsentrasi obat imunosupresid yang berkelanjutan dalam pengembangan toleransi imun manusia terhadap organ babi. Dalam meminimalisir risiko xenotransplantasi, masih dibutuhkan penelitian dan pengembangan lebih lanjut agar prosedur ini bisa digunakan oleh manusia secara aman.    

Penelitian ekstensif diperlukan untuk menentukan apakah organ hewan dapat menggantikan fungsi dari organ manusia. Pada sebuah laporan dari Food and Drug Administration, disebutkan bahwa transplantasi ginjal babi ke primata hanya dapat berfungsi pada tingkatan tertentu karena tidak memenuhi fungsi eritropoietin. 

Selanjutnya, terdapat risiko terjadinya penyakit menular yang berisiko bagi masyarakat luas. Terdapat suatu kontroversi mengenai xenotransplantasi karena prosedur ini dapat menimbulkan epidemi penyakit menular baru. 

Salah satunya adalah retrovirus endogen babi yang terbukti mengeinfeksi sel manusia, tapi perkembangan sejak tahun 1997 mendukung bahwa belum ada bukti cukup tentang infeksi retrovirus endogen babi akibat dari xenotransplantasi. Akan tetapi, Food and Drug Administration tetap mengembangkan tes untuk retrovirus dan kontrol kualitas penyakit menular agar dapat menemukan langkah-langkah penyempurnaan xenotransplantasi.

Gambar 4. Retrovirus endogen (Sumber: drugtargetreview.com)
Gambar 4. Retrovirus endogen (Sumber: drugtargetreview.com)

Dalam prosedur transplantasi menggunakan sel punca hewan, terdapat beberapa jenis sel yang dapat digunakan, yaitu sel punca embrionik, sel punca dewasa, serta induced pluripotent stem cells. 

Penggunaan sel punca embrionik sangat kontroversional karena embrio dini harus dihancurkan terlebih dahulu untuk mendapatkannya sehingga dapat merusak potensi hidup. Sel tersebut memiliki pertumbuhan yang cepat dengan didukung oleh kapasitas hidup yang lama. Sel punca embrionik juga dapat memperbarui diri sendiri dan berdiferensiasi menjadi jenis sel lain. 

Meskipun telah dilakukan berbagai penelitian, tapi tidak ada uji klinik pada manusia yang berhasil dengan menggunakan sel punca embrionik karena kecenderungannya untuk menyebabkan kanker, penolakan organ, serta membentuk tipe sel acak. Tidak dapat dipungkiri bahwa sel punca embrionik memiliki kemampuan berdiferensiasi tanpa batasan, maka sel jenis ini tetap menjadi sumber potensial teoritis dalam pengobatan jaringan yang rusak.

Gambar 5. Sel punca mesenkimal (Sumber: Go Care)
Gambar 5. Sel punca mesenkimal (Sumber: Go Care)

Sel punca dewasa lebih aman digunakan dalam transplantasi, tapi memiliki kemampuan terbatas dalam membedakan jenis sel lain. Sel ini dibedakan menjadi sel punca mesenkimal, sel punca hematopoietic, dan sel punca dari janin. Sel punca mesenkimal adalah sekumpulan sel yang dapat berdiferensiasi menjadi sel osteogenic, kondrogenik, serta adipogenik dengan tetap mempertahankan stemness (kemampuan suatu sel untuk membelah diri dan berdiferensiasi) sesuai sel induknya. 

Sel tersebut dapat ditemukan di seluruh tubuh, terutama di sumsum tulang, jaringan lemak, dan organ. Sel ini akan berubah menjadi jaringan ikat dan dapat menurunkan peradangan. Selanjutnya adalah sel punca hematopoietic yang sudah digunakan dalam pengobatan pasien kanker darah dan gangguan sistem kekebalan tubuh. 

Sel yang ditemukan di sumsum tulang dan darah tali pusat ini, memiliki kemampuan untuk memperbarui diri, berdiferensiasi menjadi sel secara spesifik, keluar dari sumsum tulang menuju sirkulasi darah, serta menjalani kematian sel. Terakhir, sel punca dari janin yang memiliki fungsi multiguna dibanding sel punca dewasa lainnya. Di antara berbagai jenis, sel punca hematopoietic adalah jenis sel punca yang paling sering digunakan dalam dunia medis.

 Gambar 6. Sel punca hematopietic (Sumber: Ryan Etter / Getty Images)
 Gambar 6. Sel punca hematopietic (Sumber: Ryan Etter / Getty Images)
Beberapa penelitian melalui hewan telah dilakukan untuk menghasilkan pengobatan regenerative. Salah satunya pada tikus di mana ditemukan bahwa jarak evolusi antara donor dengan resipien akan memberikan efek pada daya hidup sel punca yang ditransplantasikan. Hal ini disebabkan oleh perbedaan spesies dan sifat dari jaringannya. 

Tikus memiliki sel punca embrionik pada sumsum tulang dan sel punca mesenkimal pada jaringan adiposa. Kelinci memiliki sel punca pada letak yang sama, tapi model hewan berupa kelinci sulit untuk mendeteksi penanda baik dalam ekspresi gen dan protein. 

Sedangkan model hewan yang memiliki kemiripan anatomi dan fisiologis dengan manusia adalah satwa primata yang memiliki sumber sel punca di sumsum tulang, darah tali pusat, matriks tali pusat, jaringan adiposa, serta darah perifer. Melalui berbagai model hewan, ilmuwan dapat melakukan simulasi pengobatan regenerative melalui sel punca sehingga dapat mengembangkan prosedur baru yang lebih aman untuk diterapkan pada manusia.

Sel punca merupakan jenis sel yang belum memiliki suatu fungsi khusus sehingga dapat berdiferensiasi menjadi tipe sel yang lain. Maka dari itu, sel punca sering digunakan untuk transplantasi sebagai pengobatan regenerative. 

Ada beberapa jenis sel punca, yaitu sel punca embrionik dan sel punca dewasa. Sel punca embrionik dapat berdiferensiasi menjadi berbagai macam sel, sedangkan sel punca dewasa memiliki kemampuan yang terbatas untuk membedakan jenis sel lain. 

Sel punca dewasa sendiri dibedakan menjadi sel punca mesenkimal, sel punca hematopoietic, dan sel punca dari janin. Namun, hanya sel punca hematopoietic yang telah diizinkan untuk digunakan sebagai bahan pengobatan oleh Food and Drug Administration. Hal ini disebabkan oleh tingginya risiko kanker dan penolakan organ sehingga dapat membahayakan kelangsungan hidup pasien.

Terdapat suatu permasalahan di mana permintaan sel punca lebih banyak daripada donor yang ada, bahkan mencapai 10 pasien meninggal setiap hari saat berada dalam daftar tunggu transplantasi organ. Maka dari itu, dibutuhkan solusi alternatif bagi persediaan donor transplantasi. 

Salah satunya adalah menggunakan sel dari hewan yang disebut dengan xenotransplantasi. Akan tetapi, teknik xenotransplantasi masih memiliki berbagai kekurangan, seperti menyebabkan penolakan organ dan risiko timbulnya penyakit menular baru. 

Selain itu, xenotransplantasi dianggap melanggar etika dan hukum penganiayaan hewan. Meskipun xenotransplantasi dapat menyelesaikan masalah permintaan donor, tapi prosedur ini masih memiliki berbagai risiko dan kontroversi.

Xenotransplantasi sel punca memiliki potensi besar dalam mengubah sistem pengobatan regenerative karena memberikan solusi bagi bermacam-macam penyakit sehingga dapat mendukung kesehatan manusia. 

Walaupun xenotransplantasi memiliki beberapa kekurangan, tapi pada berbagai kasus yang membutuhkan pertolongan urgen, prosedur ini bisa menjadi solusinya. Xenotransplantasi masih membutuhkan penelitian lebih lanjut agar dapat meminimalisir risiko yang dihasilkan. Maka dari itu, dibutuhkan pengembangan agar pengobatan ini bisa menjadi langkah yang aman bagi pasien.


DAFTAR PUSTAKA

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun